tag:blogger.com,1999:blog-26746859993954183672024-03-08T12:00:02.271-08:00asuhan keperawatanrisda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.comBlogger29125tag:blogger.com,1999:blog-2674685999395418367.post-33788277529411157762010-02-20T08:00:00.000-08:002010-02-20T08:01:48.157-08:00KETOASIDOSIS DIABETIKUM<br /><br />Pengertian<br />Ketoasidosis diabetikum adalah kasus kedaruratan endokrinologi yang disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut. Ketoasidosis Diabetikum terjadi pada penderita IDDM (atau DM tipe II)<br /><br />Tanda dan Gejala<br /> Hiperglikemia<br /> Glukosuria berat<br /> Penumpukan keton bodies<br /> Asidosis Metabolik<br /> Diuresis osmotik, dengan hasil akhir dehidrasi dan penurunan elektrolit<br /> Hipotensi dan syock<br /> Koma/penurunan kesadaran<br /><br />Patofisiologi<br />Adanya gangguan dalam regulasi Insulin, khususnya pada IDDM dapat cepat menjadi Diabetik ketoasidosis manakala terjadi (1) Diabetik tipe I yang tidak terdiagnosa (2) Ketidakseimbangan jumlah intake makanan dngan insulin (3) Adolescen dan pubertas (4) Aktivitas yang tidak terkontrol pada diabetes (5) Stress yang berhubungan dengan penyakit, trauma, atau tekanan emosional.<br /><br />Gangguan Produksi atau gangguan reseptor Insulin<br /><br /><br />Penurunan proses penyimpanan glukosa dalam hati Penurunan kemampuan reseptor sel dalam uptake glukosa <br /> <br /> <br />Kadar glukosa darah >> Kelaparan tingkat seluler <br /> <br /> <br />Hiperosmolar darah Peningkatan proses glukolisis dan glukoneogenesis <br /> <br />Proses pemekatan <<<br />Glukosuria Shift cairan intraseluler * ekstaseluler <br /> Pembentukan benda keton <br />Poliuria <br /> Dehidrasi <br />Keseimbangan kalori negatif Rangsang metbolisme anaerobik <br /> <br />Polipagi dan tenaga << Asidosis <br /> <br /> Kesadaran terganggu <br />Nutrisi : kurang dari kebutuhan Gangguan kes. Cairan & elektolit <br /> <br /> Resiko tinggi cidera <br /><br />Pengkajian<br /><br />Identitas<br />Usia : anak-anak cenderung mengalami IDDM Tipe I<br /><br />Riwayat Penyakit Sekarang<br />Datang dengan atau tanpa keluhan Poliuria, Polidipsi, Poliphagi; lemas, luka sukar sembuh atau adanya koma/penurunan kesadaran dengan sebab tidak diketahui. Pada lansia dapat terjadi nepropati, neurophati atau retinophati, serta penyakit pembuluh darah.<br /><br />Riwayat penyakit Sebelumnya<br />Mungkin klien telah menderita penyakit sejak beberapa lama dengan atau tanopa menjalani program pengobatan. Penyakit paru, gangguan kardiovaskuler serta penyakit neurologis serta infeksi atau adanya luka dpat memeprberat kondisi klinis<br /><br />Riwayat Penyakit Keluarga<br />Penyakit Diabetik dikenal sebagai penyakit yang diturunkan (herediter) walaupun gejala tidak selalu muncul pada setiap keturunan atau timbnul sejak kecil (kongenital).<br />Genogram mungkin diperlukan untuk menguatkan diagnosis<br /><br />Data dasar Pengkajian<br /> Aktivitas / Istirahat<br />Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, kram otot, tonus otot menurun, gangguan tidur/istirahat<br />Tanda : Takikardia dan tachipnea pada saat istirahat atau aktivitas, letargi, disorientasi, koma, penurunan kekuatan otot<br /><br /> Integritas Ego<br />Gejala : Stress, tergantung orang lain, masalah finansial<br />Tanda : kecemasan, peka rangsang<br /><br /> Eliminasi<br />Gejala : Poliuria, nokturia, disuria, ISK baru/berulang, nyeri tekan abdomen, diare<br />Tanda : Urine encer pucat, kuning; poliuria (dapat menjadi oliguria), urine berkabut, bau bususk (infeksi) abdomen keras, terdapat ascites, Bising usus lemah/menurun; hiperaktif (diare)]<br /><br /> Makanan/cairan<br />Gejala : Hilangg nafsu makan, mual/muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan lebih dari beberapa hari/minggu, haus, <br />Tanda : Kulit kering bersisik, turgor jelek, kekakuan/distensi abdomen, muntah, pembesaran thiroid, bau halitosis (manis) bau buah (napas aseton)<br /><br /> Neurosensori<br />Gejala : Pusing/pening, sakit kepala, kesemuatan, kebas, kelemahan pada otot, parastesia, gangguan pengglihatan<br />Tanda : disorientasi, mengantuk, letargi, stupor/koma (tahap lanjut) gangguan memori (bau, masa lalu, kacau mental), refleks tendon dalam menurun, kejang<br /><br /> Nyeri/Kenyamanan<br />Gejala : Abdomen tegang/nyeri<br />Tanda : wajah meringis dan palpitasi, tampak sagnat berhati-nati<br /><br /><br /> Pernafasan<br />Gejala : Merasa kurang oksigen, batuk dengan atau tanpa sputum purulen<br />Tanda : Pernafasan cepat, batuk dengan/tanpa sputum<br /><br /> Keamanan<br />Gejala : Kulit kering, gatal, ulkus kulit<br />Gejala : Demam, diaforesis, kulit rusak, menurunnya rentang gerak, parastesia/paralisis otot, termasuk otot pernafasan (jika kadar kalium menurun tajam)<br /><br /> Seksualitas<br />Gejala : Kebas vagina, impotensi pada pria, kesulitan orgasme pada wanita<br /><br />Pemeriksaan Diagnostik<br />Glukosa darah : meningkat > 200 mg/dl atau lebih<br />Aseton plasma : Positif secara mencolok<br />As. Lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meninggkat<br />Elektrolit : Na normal/menurun; K normal/meningkat semu; F turun<br />Hemoglobin glikosilat : Meningkat 2-4 X normal<br />Gas Darah Arteri : pH rendah, penurunan HCO3 (asidosis metabolik) dengan kompensasi alkalosis respiratorik<br />Trombosit darah : Ht mungkin meningkat, leukositosis, hemokonsentrasi<br />Ureum/creatinin : meningkat/normal<br />Amilase darah : meningkat mengindikasikan pancreatitis akut<br /><br /><br />RENCANA KEPERAWATAN<br />Pola Nafas tidak efektif berhubungan dengan kompensasi asidosis metabolik<br />Tujuan : Pola nafas teratur, normopnea<br /> <br />Intervensi Rasional <br />Kaji pola nafas tiap hari Pola dan kecepatan pernafasan dipengaruhi oleh status asam basa, status hidrasi, status cardiopulmonal dan sistem persyarafan. Keseluruhan faktor harus dapat diidentifikasi untuk menentukan faktor mana yang berpengaruh/paling berpengaruh <br />Kaji kemungkinan adanya secret yang mungkin timbul Penurunan kesadaran mampu merangsang pengeluaran sputum berlebih akibat kerja reflek parasimpatik dan atau penurunan kemampuan menelan <br />Kaji pernafasan kusmaul atau pernafasan keton Paru-paru mengeluarkan asam karbonat melalui pernafasan yang menghasilkan kompensasi alkalosis respiratorik terhadap keadaan ketoasidosis. Pernafasn yang berbau keton berhubungan dengan pemecahan asam ketoasetat dan harus berkurang bila ketosis harus terkoreksi <br />Pastikan jalan nafas tidak tersumbat Pengaturan posisi ekstensi kepala memfasilitasi terbukanya jalan nafas, menghindari jatuhnya lidah dan meminimalkan penutupan jalan nafas oleh sekret yang munkin terjadi <br />Berikan bantuan oksigen Pernafasan musmaull sebagai kompensasi keasaman memberikan respon penurunan CO2 dan O2, Pemberian oksigen sungkup dalam jumlah yang minimal diharapkan dapat mempertahankan level CO2 <br /> <br />Kaji Kadar AGD setiap hari Evaluasi rutin konsentrasi HCO3, CO2 dan O2 merupakan bentuk evaluasi objektif terhadap keberhasilan terapi dan pemenuhan oksigen <br /><br /><br />Kekurangan Volume Cairan dan Elektolit<br />Tujuan : Keseimbangan cairan dan elektrolit tercapai dengan nilai laboratorium dalam batas normal.<br /> <br />Intervensi Rasional <br />Kaji riwayat pengeluaran berlebih : poliuri, muntah, diare Memperkirakan volume cairan yang hilang. Adanya proses infeksi mengakibatkan demam yang meningkatkan kehilangan cairan IWL <br />Pantau tanda vital Hipovolemia dapat dimanivestasikan dengan hipotensi dan takikardi. Perkiraan berat ringannya hipovolemia dapat dibuat ketika tekanan darah sistolik pasien turun lebih dari 10 mmHg dari posisi berbaring ke posisi duduk/berdiri <br />Kaji pernafasan kusmaul atau pernafasan keton Paru-paru mengeluarkan asam karbonat melalui pernafasan yang menghasilkan kompensasi alkalosis respiratorik terhadap keadaan ketoasidosis. Pernafasn yang berbau keton berhubungn dngan pemecvahan asam ketoasetat dan harus berkurang bila ketosis harus terkoreksi <br />Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membrana mukosa Indikator tingkat hidrasi atau volume cairan yang adekuat <br />Ukur BB tiap hari Memberikan hasil pengkajian yang terbaik dari status cairan yang sedang berlangsung dan selanjtunya dalam pemberian cairan pengganti <br />Pantau masukan dan pengeluaran, catat BJ Urine Memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti, fungsi ginjal, dan keefektifan terapi yang diberikan <br />Berikan cairan paling sedikit 2500 cc/hr Mempertahankan hidrasi dan volume sirkulasi <br />Catat hal-hal seperti mual, nyeri abdomen , muntah, distensi lambung Kekurangan cairan dan elektrolit mengubah motilitas lambung, yang seringkali akan menimbulkan muntah dan secara potensial akan menimbulkan kekurangan cairan atau elektrolit <br />Kolaborasi <br />Berikan NaCl, ½ NaCl, dengan atau tanpa dekstrose Tipe dan jumlah cairan tergantung pada derajad kekurangan cairan dan respon pasien individual <br />Berikan Plasma, albumin Plasma ekspander kadang dibutuhkan jika kekuranggan tersebut mengancam kehidupan atau tekanan darah sudah tidak dapat kembali normal dengan usaha rehidrasi yang telah dilakukan <br />Pantau pemeriksaan laboraorium : Ht, BUN/Creatinin, Na, K Na menurun mencerminkan perpindahan cairan dari intrasel (diuresis osmotik). Na tinggi mencerminkan dehidrasiberat atau reabsorbsi Na akibat sekresi aldosteron.<br />Hiperkalemia sebagai repon asidosis dan selanjutnya kalium hilang melalui urine. Kadar Kalium absolut tubuh kurang <br />Berikan Kalium atau elektrolit IV/Oral Kalium untuk mencegah hipokalemia harus ditambahkan IV. Kalium fosfat dapat diberikan untuk menngurangi beban Cl berlebih dari cairan lain <br />Berikan Bikarbonat Diberikan dengan hati-hati untuk memperbaiki asidosis <br />Pasang selang NG dan lakukan penghisapan Mendekompresi lambung dan dapat menghilanggkan muntah <br /><br />Nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh<br />Tujuan : Berat badan stabil dan tingkat kekuatan energi tetap<br /> <br />Intervensi Rasional <br />Timbang BB tiap hari Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat termasuk absorbsi dan utilisasinya <br />Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan teraupetik <br />Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen, perut kembung, mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna, pertahankan keadaan puasa sesuai indikasi Hiperglikemia dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat menurunkan motilitas/fungsi lambung (distensi dan ileus paralitik) yang akan mempengaruhi pilihan intervensi <br />Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransi melalui oral Pemberian makanan peroral lebih baik jika pasien sadar dan fungsi gastrointestinal baik <br />Identifikasi makanan yang disukai/dikehendaki Jika makanan yang disuai dapat dimasukkan dalam perencanaan makan <br />Libartkan keluarga/pasien dalam perencanaan makanan Meningkatkan rasa keterliatan keluarga; memeberikan informasi pda keluarga untuk memahami kebutuhan nutrisi klien <br />Observasi tanda hipoglikemia : penuruann kesasadaran, kulit lembab/dingin, nadi cepat, lapar, sakit kepala, peka rangsang Karena metabolisme karbohidrat mulai terjadi (gula darah akan berkurang, dan sementara tetap diberikan insulin maka hipoglikemia mungkin terjadi tanpa memperhatikan perubahan tingkat kesadaran. Ini harus ditangani dengan cepat dan ditangani melalui protokol yang direncanakan <br />Kolaborasi <br />Lakukan pemeriksaan gula darah denggan menggunakan finger stick Analisa di tempat tidur terhadap gula darah lebih akurat dibandingkan dengan reduksi urine <br />Pantau pemeriksaan laboratorium seperti glikosa darah, aseton, pH dan HCO3 Gula darah akan menurun perlahan dengan pengantian cairan dan terapi insulin terkontrol. Dengan pemberian insulin optimal, glukosa akan masuk dalam sel dan digunakan untuk sumber kalori. Jika hal ini terjadi kadar aseton akan menurun dan asidosis dapat dikoreksi <br />Berikan pengobatan insulin secara teratur dengan IV intermiten/ kontinyu (5 – 10 IU/jam) sampai glukosa darah 250 mg/dl Insulin reguler memiliki awitan cepat karenanya dnegan cepat pula membantu memindahkann glukosa dalam sel. Pemberian melalui IV merupakan rute pilihan utama karena absorbsi jaringan subkutan tidak menentu/lambat. <br />Lakukan konsultasi dengan ahli diet Bermanfaat dalam perhitungan dan penyesuaian diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien, menjawab pertanyaan dan dapat pula membantu pasien atau orang terdekat untuk mengembangkan rencana makananrisda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2674685999395418367.post-24813037979165131782010-02-20T07:58:00.000-08:002010-02-20T07:59:45.385-08:00H E M O D I A L I S <br /><br />Dialisis adalah : Difusi partikel larut dari suatu kompartmen darah melewati membran semiperniabel. <br />Pada hemodialisa darah adalah salah satu kompartmennnya dan dialisat adala bagian yang lain.<br />Prinsip HD : Menempatkan darah berdampingan dengan cairan dialisat (pencuci) <br /> yang di pisahkan satu membran (selaput) semipermiabel.<br />Membran ini dapat di lalui oleh air dan sat tertentu (zat sampah). Proses ini disebut DIALIZIZ, yaitu berpindahnya air atau zat bahan melalui membran semipermiabel.<br />Proses difsui : Berpindahnya zat karena adanya perbedaan kadar di dalam darah, <br /> makin banyak ayang berpindah ke dialisit.<br />Proses Ultrafiltrasi : Berpindahnya zat dan air karena perbedaan hidrostatik di dalam <br /> darah dan dialisat.<br />Proses Osmosis : Berpindahnya air karena tenaga kimiawi yaitu perbedaan osmolalitas dan dialisat. <br />Luas permukaan membran dan daya saring membran mempengaruhi jumlah zat dan air yang berpindah.<br /><br />I. KOMPONEN DAN CARA KERJA HEMODIALISA<br />A. MENYIAPKAN DAN MEMULAI HD<br />A. Menyiapkan Mesin HD<br />1. Mesin Hemodialisa<br /> Listrik<br /> Air yang diolah / dimurnikan dengan cara :<br /> filtrasi<br /> softening<br /> deionisai<br /> reverense osmosis<br /> Saluran pembuangan cairan (drainage)<br />- rinse<br />- desinfeksi & pemanasan<br />- dialyse.<br />2. Sirkulat Dialisat<br />Pencampuran Dialisat : <br />Yaitu dialisat pekat (concetrate) dan air yang sudah di olah dengan perbandingan 1 : 34.<br />- Batch system : Dialisis sudah di campur lebih dahulu sebelum HD dimulai.<br />- Propotionong system : - Asetat <br /> - Bikarbonat .<br />Yaitu dialysat yang pekat dan air yang sudah di olah, di campur secara otomatis konstan selama HD oleh pompa proportioning dengan perbandingan campuran : <br />Dialisat pekat : Air = 1 : 34.<br />Campuran ini di pompakan sekali saja kompartemen dialisit, kemudian di buang.<br />• Komposisi dialisat <br />- Natrium = 135 – 145 meg / 1<br />- Kalium = 0 – 4,0 meg / 1<br />- Calsium = 2,5 – 3,5 meg / 1<br />- Magnesium = 0,5 – 2,0 meg / 1<br />- Khlorida = 98 – 112 meg / 1<br />- Asetat atau bikarbonat = 33 – 25 meg / 1.<br />- Dextrose = 2500 mg / 1<br />Catatan : dialisat tanpa kalium (potassium Free) = kalium = 0.<br /><br />3. Sirkulasi<br />1. Dialiser ( ginjal buatan)<br />• Kapiler (Hollow Fiber)<br />• Paralel Plate<br />• Coil.<br />Sediaan dialiser : -. Pemakaian baru atau pertaa.<br /> -. Basah<br />-. Kering<br />2. Selang darah : Artei dan vena (AVBL)<br /> Priming<br />Pengisian pertama sirkulasi Ekstrakorporeal<br />Tujuan : <br />1. Mengisi = Filing<br />2. Membilas = Rinsing<br />3. Membashi atau melembabkan = Soaking<br />Perlengkapan :<br />1. Dialiser ( ginjal buatan)<br />2. AVBL<br />3. Set Infus<br />4. NaCl (cairan fisiologis) 500 cc ( 2-3 Kolf)<br />5. Spuit 1 cc<br />6. Heparin injeksi ( + 2000 Unit)<br />7. Klem<br />8. Penapung cairan ( Wadah)<br />9. Kapas Alkohol<br />Prosedur :<br />1. Keluarkan alat dari pembungkusnya ( Dialiser, AVBL, slang infus, Nacl )<br />2. Tempatkan dialiser pada tempatnya (Holder) dengan posisi inlet diatas (merah) dan outlet dibawah (Biru)<br />3. Hubungkan slang dialisat ke dialiser :<br /> Inlet dari bawah (to Kidney)<br /> Uotlet dari atas (from kidney)<br /> Kecepatan dialisat (QD) + 500 cc/menit)<br /> Berikan tekanan negatif + 100 mmHg<br /> Biarkan proses ini berlangsung 10 menit. (soaking)<br />4. PROSEDUR<br />1. Keluarkan peralatan dari pembungkusnya (dialiser,AVHL,selang infus, Naci)<br />2. Tempatkan dialiser pada tempatnya (Holder) dengan posisi inlet di atas (merah) outlet di bawah (biru).<br />3. Hubungkan selang dialisat ke dialiser<br />• Inlet dari bawah (to kidney)<br />• Outlet dari atas (from kidney) <br />• Kecepatan dialiasat (qd) = 500cc / menit<br />• Berikan tekanan negativ (negative pressure) + 100 mmhg.<br />• Biarkan proses ini berlangsung selama 10 menit (soaking)<br />4. Pasang ABL, tempatkan segmen pumb pada pompa darah (blood pump) dengan baik.<br />5. Pasang VBL dan bubble trap (perangkap udara) dengan posisi tegak (vertical).<br />6. dengan teknik aseptic, buka penutup ( pelindung yang terdapat di ujung ABL dan tempatkan pada dialiser) (inlet) . Demikian juga dengan VBL. <br />7. Hubungkan selang monitor tekanan arteri (arterial Pressure) dan selang monitor tekanan vena (venous pressure).<br />8. Setiap 1000 cc NaCL, masukan 2000 * Heparin kedalam kolf (2000*/11).<br />Cairan ini gunasny untuk membilas dan mengisi sirkulasi ekstrakorporeal.<br />Siapkan NaCL 1 kolf lagi (500 cc) untuk di gunakan selama HD bilamana di perlukan, dan sebagai pembilas pada waktu pengakiran HD.<br />9. Hubungkan NaCL melalui set infus ke ABL, yakinkan bahwa set infus bebas dari udara dengan cara mengisinya terlebih dahulu.<br />10. Tempatkan ujung VBL ke dalam penampung. Hindarkan kontaminasi dengan penampung dan jangan sampai terendam cairan yang keluar.<br />11. Putar dialiser dan peralatannya sehingga inlet di bawah,outlet di atas (posisi terbalik) <br />12. Buka semua klem termasuk klem infus.<br />13. Lkukan pengisian dan pembilasan sirkulasi ekstrakorporeal dengan cara : <br />• Jalankan pompa darah dengan kecepatan (qb) + 100cc/Mnt<br />• Perangkap udara (bubble tra[) di isi ¾ bagian <br />• Untuk mengeluarkan udara lakukan tekanan secara intermiten dengan menggunakan klem pada VBL (tekanan tidak boleh lebih dari 200 mmHg).<br />14. Teruskan priming sampai NaCL habis 1 liter dan sirkulasi bebas dari udara yang sudah kolf yang baru (500 cc). <br />15. Ganti kolf NaCL yang sudah kosong dengan kolf yang baru (500cc).<br />16. Matikan pompa darah, klem kedua ujung AVBL, kemudian hubungkan kedua ujung dengan konektor,semua klemdi buka.<br />17. Lakukan sirkulasi selama 5 menit dengan qb + 200 cc / mnt <br />18. Matikan pompa darah, kembalikan dialiser ke posisi semula.<br />19. Periksa fungsi peralatan yang lain sebelum HD di mulai, seperti misalnya: <br /> Temperatur dialisat <br /> Konduktifitas<br /> Aliran (flow)<br /> Monitor tekanan<br /> Detector udara dan kebocoran darah.<br />5. MEMULAI HD<br /> Persiapan pasien<br />- Timbang berat bada pasien (bila memungkinkan) <br />- Tidur terlentang dan berikan posisi yang nyaman.<br />- Ukur tekanan darah atau, nadi, suhu, pernafasan.<br />- Observasi kesadaran dan keluhan pasien dan berikan perawatan mental.<br />- Terangkan secara gratis besar prosedur yang akan di lakukan.<br />1. Menyiapkan sarana hubungan sirkulasi<br />• Perlengkapan <br />1. Jarum punksi :<br />- jarum metal (AV. Fistula G.16,15,14) 1 – 1 ¼ inch.<br />- Jarum dengan katheter (IV Catheter G.16,15,14) 1 – 1 ¼ inchi.<br />2. NaCL (untuk pengenceran)<br />3. Heparin injeksi <br />4. Anestesi local (lidocain, procain)<br />5. Spuit 1 cc,5 cc, 20 cc, 30 cc.<br />6. Kassa <br />7. Desinfektan (alcohol bethadin)<br />8. Klem arteri (mosquito) 2 buah.<br />9. Klem desimfektam <br />10. Bak kecil + mangkuk kecil<br />11. Duk (biasa,split, bolong)<br />12. Sarung tangan <br />13. Plester<br />14. pengalas karet atau plastik<br />15. Wadah pengukur cairan<br />16. botol pemeriksa darah<br />• Persiapan<br />1. Tentukan tempat punksi atau periksa tempat shut atau katheter di pasang dan di buka balutan.<br />2. Alas dengan pengalas karet / plastik.<br />3. Atur posisi <br />4. Kumpulkan peralatan dan dekatkan ke pasien<br />5. Siapkan heparin injeksi <br />PROSEDUR<br />• Punksi Fistula (Cimino)<br />1. Pakai sarung tangan <br />2. Desinfeksi daerah daerah yang akan di punksi dengan bethadin dan alcohol<br />3. Letakan duk sebagai pengalas dan penutup <br />4. Punksi outlet (vena), yaitu jalan masuknya darah ke dalam tubuh K/P lakukan anesteshi local <br />5. Ambil darah untuk pemeriksaan lab (bila diperlukan)<br />6. Bolus heparin injeksi yang sudah diencerkan dengan NaCL (dosis awal)<br />7. Fiksasi dan tempat punksi di tutup kasa. <br />• Shunt (Scribner)<br />1. Desinfeksi kanula, konektor dan daerah dimana shunt terpasang.<br />2. Letakan duk sebagai pengalas dan penutup <br />3. Klem kedua kanula (arteri dan vena),sebelumnya di alas dengan kassa<br />4. Lepaskan /buka konektor<br />5. Cek kedua kanula apakan alirannya lancar <br />6. Ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium (bila di perlukan).<br />7. Bolus Heparin injeksi yang sudah di encerkan dengan NaCL (dosis awal).<br />8. Fiksasi dan tutup daeah exit site.<br />9. Konektor di bersihkan dengan NaCL dan di simpan dalam bak. <br />• Punksi femoral<br />1. Desinfeksi daerah lipatan paha dan daerah outle akan di puksi.<br />2. Letakan duk sebagai pengalas dan penutup.<br />3. Punksi outlet (vena) yaitu jalan masuknya darah ke dalam tubuh, k/p lakukan anesteshi local.<br />4. Ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium (bila di perlukan)<br />5. Bolus heparin injeksi yang sudah di encerkan dengan NaCL (dosis awal).<br />6. Fiksasi dan tempat punksi di tutup dengan kassa<br />7. Punksi inlet (vena femoralis), yaitu tempat jalan kelurnya darah dari tubuh, dengan cara lakukan anesteshi infiltrasi sambil mencari vena femoralis.<br />8. Vena femoralis di punksi secara perkutaneous dengan jarum punksi (AV Fistula).<br />9. Fiksasi.<br />2. Mengalirkan darah kedalam sirkulasi ekstrakorporeal<br />• Hubungkan ABL dengan inlet (Punksi Inlet atau canula arteri). Ujung ABL disuci hamakan terlebih dahulu.<br />• Tempat ujung VBL didalam wadah pengukur. Perhatikan jangan sampai terkontaminasi.<br />• Buka klem AVBL, canula arteri, klem slang infus ditutup, klem canula vena tetap tertutup.<br />• Darah dialirkan kedalam sirkulasi dengan menggunakan pompa darah (QB + 100 cc / menit) dan cairan priming terdorong keluar.<br />• Cairan priming ditampung diwadah pengukur.<br />• Biarkan darah memasuki sirkulasi sampai cairan buble trap VBL berwarna merah mudah. <br />• Pompa darah dimatikan, VBL di klem.<br />• Ujung VBL disuci hamakan, kemudian dihubungkan dengan canula vena (perhatikan : Harus bebas udara) . Klem VBL dan canula vena dibuka.<br />• Pompa darah dihidupkan kembali dengan QB + 150 cc/menit .<br />• Fiksasi canula arteri dan vena, AVBL tidak mengganggu pergeraan.<br />• Hisupkan pompa heparin ( dosis maintenance.)<br />• Buka klem Slang monitor tekanan (AVP)<br />• Hidupkan detector udara, kebocoran (Air dan Blood Leak detector)<br />• Ukur tekanan darah, Nadi dan pernapasan.<br />• Observasi Kesadaran dan keluhan pasien<br />• Cek mesin dan sirkulasi dialisa.<br />• Programkan HD.<br />• Lakukan pencatatan (Isi formulir HD)<br />• Rapikan peralatan.<br /> <br />MASALAH / KOMPLIKASI YANG BERHUBUNGAN DENGAN PASIEN DAN MASALAH / KOMPLIKASI MEKANIS SELAMA HEMODIALISIS DAN PENATALAKSANAANNYA<br /><br />1. Masalah / Komplikasi yang berhubungan dengan pasien<br />a. Gangguan keseimbangan cairan.<br />(1) Hypervolemia (Fluid over load)<br />Tanda dan Gejala :<br />• Berat badan naik secara berlebihan<br />• Sesak napas atau napas pendek, kadang – kadang batuk berdarah.<br />• Oedema.<br />• Hipertensi<br />• Vena leher membesar / melebar (melembung)<br />• Ronchi paru – paru.<br />Penatalaksanaan :<br />• Ultrafiltrasi Sequential (SU)<br />• Berat badan diturunkan dengan menggunakan UF tinggi (TMP tinggi, pilih dialiser dengan kuff tinggi)<br />• Sesak berikan Oksigen.<br />• Membatasi cairan yang masuk (Intake) melalui IV maupun oral (cairan priming jangan dimasukan wash out jangan dimasukan, dorong pakai udara.)<br />• Observasi penurunan berat badan supaya mencapai DW ( Kalau perlu timbang berat badan di tengah HD)<br />(2) Hypovolemia (Fluid Depresention)<br />Tanda dan Gejala :<br />• Berat badan menurun secara berlebihan.<br />• Oedema, kadang – kadang mata cekung.<br />• Hipotensi<br />• Turgor (Elastisitas) menurun<br />• Lemas kadang kadang gemetar.<br />• Vena leher rata<br />• Mulut dan lidah kering , kadang – kadang suara serak atau parau.<br />Penatalaksanaan<br />• HD tanpa penurunan berat badan / tanpa UF<br />• TMP = 0., pilih dialiser dengan Kuff rendah.<br />• Membatasi cairan yang keluar (Cairan priming tidak perlu dikeluarkan)<br />• Menambah cairan yang masuk melalui IV dan peroral.<br />• Observasi berat badan (timbang BB ditengah HD)<br /><br />b. Gangguan Keseimbangan Elektrolit<br />(1) Hiperkalemia<br />Tanda dan gejala :<br />• Kadar Kalium darah tinggi<br />• Perubahan Gambaran EKG<br />• Gelisah<br />• Lemas<br />• Kadang – kadang sesak<br />• Denyut jantung cepat<br />Penatalaksanaan :<br />• HD tanpa kalium<br />• Monitor EKG (gelombang T tinggi)<br />• Membatasi intake kalium.<br />• Periksa kalium darah pre, on dan post Hemodialisa<br />• Penyuluhan kesehatan tentang diit.<br />• Tindakkan darurat atau emergency.<br />• Pemberian infus atau drip 10 Unit Ringer Insulin. ( 1 ampul Bicnat, 205 Dextrose)<br />(2) Hipokalemia<br />Tanda dan gejala :<br />• Tekanan darah turun mendadak<br />• Lemas, berkeringat, pandangan berkunang – kunang (Gelap).<br />• Kadang – kadang mual atau muntah, sesak.<br />Penatalaksanaan :<br />• Posisi tidur horizontal atau rata tanpa bantal.<br />• QB dan TMP diturunkan<br />• Berikan oksigen bila sesak.<br />• Hati – hati dalam pemberian cairan secara intravena.<br />• Memberikan pengobatan untuk menaikan Tekanan darah (Vasopresor)<br />(C) Hipertensi Akut<br />Tanda dan Gejala :<br />• Tekanan darah naik mendadak<br />• Kadang – kadang menegeluh sakit kepala<br />Penatalaksanaan :<br />• QB dan TMP diiturunkan<br />• Observasi tekanan darah dan nadi.<br />• Berikan obat untuk penurunan tekanan darah.<br />(d) Kedinginan / Menggigil / Demam<br />Tanda dan Gejala :<br />• Mengeluh kedinginan<br />• Suhu tubuh naik ( kadang – kadang)<br />• Lemas, kadang – kadang muntah, berkeringat.<br />Penatalaksanaan :<br />• Memasang selimut tebal<br />• Berikan buli – buli panas ( Hati – hati)<br />• Suhu diukur, kalau perlu dikompres.<br />• Memberikan obat – obatan (anti histamin, Antipiretik)<br />• Bila mengigilnya hebat. Beri obat penenang, Darah diperiksa dan diukur<br />(e) Mual dan Muntah <br />Tanda dan gejala :<br />• Mengeluh mual<br />• Nyeri daerah uluhati<br />Penatalaksanaan :<br />• QB dan TMP diturunkan.<br />• Memberikan obat anti mual dan muntah .<br />• Kalau perlu beri cairan<br />(f) Sakit kepala :<br />Penatalaksanaan :<br />• QB dan TMP diiturunkan.<br />• Memberikan obat analgesik dan sedativa.<br />(g) Nyeri dada (angina)<br />Penatalaksanaan :<br />• QB dan TMP diturunkan<br />• Berikan Oksigen<br />• Berikan ISN<br />(h) Kramp otot<br />Penatalaksanaan :<br />• QB dan TMP diturunkan<br />• Diatasi secara manual, bila memungkinkan pasien berdiri atau m,enginjakkan telapak kaki.<br />• Memberikan kalsium Glukonat Injeksi.<br />• Pijat<br />(i) Anemia<br />Penatalaksaan :<br />• Memeriksa Hb dan Ht<br />• Mencegah perdarahan atau kontrol perdarahan.<br />• Mengurangi pemeriksaan Lab yang tidak perlu.<br />• Memberikan obat penambah darah.<br />• Makan cukup<br />(J) Kejang<br />Penyebab : Hipertensi berat, emboli udara, Disequlibrium yang berat<br />Penatalaksanaan :<br />• QB dan TMP diturunkan.<br />• Berikan oksigen.<br />• Berikan obat penenang bila tekanan darah memungkinkan.<br />• Pertahankan jalan napas.<br />• Bila muntah kepala dimiringkan.<br />• Perhatikan atau kontrol anggota gerak dimana shunt dan fistula terpasang. Kalau perlu HD distop sementara.<br />(k) Emboli Udara<br />Tanda dan gejala :<br />• Pasien dengan Posisi duduk<br />a. Pasien biasanya berteriak dan memegang telinga karena suara udara yang masuk dengan cepat ke otak.<br />b. Kejang.<br />c. Sesak, muka merah atau biru.<br />d. Twiching otot.<br />e. Tidak sadar ( kadang – kadang)<br />f. Udara atau outlet (venous Line) masuk kepasien sebagai venous line kosong atau penuh busa.<br />• Pasien dengan posisi terlentang :<br />o Pernpasan dalam, batuk, sianosis<br />o Pernapasan tertahan.<br />o Kadang – kadang tidak sadar.<br />o Nadi lemah.<br />o Mur – mur jantung<br />o CO menurun<br />Penatalaksanaan :<br />o Posisi trendelenberg<br />o Berbaring kesisi kiri badan<br />o QB dan TMP diturunkan.<br />o Berikan Oksigen.<br />o Pertahankan jalan napas.<br /><br /><br />(l) Infeksi<br />Penyebab :<br />• Shunt dan fistula yang terkontaminasi<br />• Spesis (darah) karena shunt dan fistula yang terinfeksi atau dialiser dan AVBL, atau mesin yang terkontaminasi <br />Gejala dan tanda – tanda : <br />• Tempat yang terinfeksi bengkak,merah, panas, sakit.<br />• Suhu tinggi<br />Penatalaksanaan : <br />• Antibiotika<br />Pencegahan<br />• Bekerja dengan teknik aseptic dan anti septic .<br /> (m) Hepatitis <br /> Penyebab : <br />• Transfusi<br />• Kontak peorangan <br />• Peralatan yang terkontaminasi<br />Tanda dan gejala : <br />• HbSAg +<br />• Kadar SGOT/PT, billirubin tinggi (jangka lama).<br />• Hilang nafsu makan<br />• Lemas, makas, rasa sakit/ngilu pada tulang, persendian.<br />• Pelunakan/pembesaran pada perabaan hepar.<br />Penatalaksanaan :<br />Istirahat dan gizi yang baik SERTA ISOLASI<br />Pencegahan :<br />• Teknik bekerja yang bai oleh seluruh staf <br />• Sikap/kebiasaan yang baik dari seluruh staf <br />• Darah yang akan di tranfusikan harus di cek lebih dahulu apakah HbsAg<br />• Peralatan yang bersihrisda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2674685999395418367.post-62156449560213725572010-02-20T07:56:00.000-08:002010-02-20T07:58:38.805-08:00ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN GLAUKOMA<br /><br />PENGERTIAN<br />Gaukoma adalah sejumlah kelainan mata yang mempunyai gejala peningkatan tekanan intra okuler (TIO), dimana dapat mengakibatkan penggaungan atau pencekungan papil syaraf optik sehingga terjadi atropi syaraf optik, penyempitan lapang pandang dan penurunan tajam pengelihatan (Martinelli, 1991).<br /><br />PATOFISIOLOGI<br />Aqueus humor secara kontinue diproduksi oleh badan silier (sel epitel prosesus ciliary bilik mata belakang untuk memberikan nutrien pada lensa. Aqueua humor mengalir melalui jaring-jaring trabekuler, pupil, bilik mata depan, trabekuler mesh work dan kanal schlem. Tekana intra okuler (TIO) dipertahankan dalam batas 10-21 mmHg tergantung keseimbangan antara produksi dan pegeluaran (aliran) AqH di bilik mata depan.<br /><br />Peningaktan TIO akan menekan aliran darah ke syaraf optik dan retina sehingga dapat merusak serabut syaraf optik menjadi iskemik dan mati. Selanjutnya menyebabkan kesrusakan jaringan yang dimula dari perifir menuju ke fovea sentralis. Hal ini menyebabkan penurunan lapang pandang yang dimulai dari derah nasal atas dan sisa terakhir pada temporal<br /><br />GLAUKOMA DIBEDAKAN MENJADI 2 MACAM YAITU:<br />1. Galukoma sudut terbuka /simplek (kronis)<br />Sudut bilik depan terbuka normal, ada hambatan aliran AgH tidak secepat produksi, bila berlagnsung secara terus menerus, maka menyebabkan degenerasi syaraf optik, sel gangglion, atropi iris dan siliare. Gejala yang timbul adalah: mata terasa berat, pening, pengelihatan kabur, halo di sekitar cahaya, kelainan lapang pandang , membesarnya titik buta.<br /><br />2. Glaukoma sudut tertutup/sudut sempit (akut)<br />Terjadi penyempitan sudut dan perubahan iris ke anterior, terjadi penekanan kornea dan menutup sudut mata, AqH tidak bisa mengakir keluar, bilik mata depan menjadi dangkal. Gejala yang timbul adalah: nyeri selam beberapa jam dan hilang kalau tidur sebentar, TIO >75 mmhg, halo disekitar cahaya, headache, mual, muntah, bradikardi, pengelihatan kabur dan berkabut serta odema pada kornea.<br />PENGKAJIAN<br /><br />RIWAYAT ATAU ADANYA FAKTOR RISIKO:<br />-Riwayat keluarga positif<br />-Umur penderita >40 tahun<br />-Riwayat penyakit mata: tumor mata, hemoragi intraokuler, uveitis<br />-Riwayat operasi mata<br />-Riwayat gangguan pengelihatan<br />-Penggunaan obat-obatan: antihistamin, kortikosteroid<br />PEMERIKSAAN FISIK<br />-Melaporkan kehilangan pengelihatan perifer lambat<br />-Awitan tiba-tiba dari nyeri berat pada mata sering disertai sakit kepala, mual dan muntah<br />-Keluhan-keluhan sinar halo pelangi, pengelihatan kabur dan penurunan persepsi sinar.<br /><br />PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK<br />-Tonometri digunakan untuk pemeriksaan TIO<br />-Gonioskopi digunakan untuk melihat secara langsung ruang anterior untuk membedakan antara glaukoma sudut tertututp dengan glaukoma sudut terbuka<br />-Oftalmoskopi digunakan untuk melihat secara langsung diskus optik dan struktur mata internal<br /><br />DIAGNOSA KEPERAWATAN<br /><br />1. Penurunan sensori-persepsi visual b.d. kerusakan serabut syaraf oleh karena peningkatan TIO<br />2. Nyeri b.d peningkatan TIO<br />3. Kurang pengetahuan :tentang proses penyakit, status klinik saat ini b.d kurang informasi tentang penyakit glaukoma.<br />4. Cemas b.d penurunan pengelihatan aktual.<br />5. Potensial injuri b.d penurunan lapang pandang<br />6. Ketidakmampuan dalam perawatan diri b.d.penurunan pengelihatan<br /><br />RENCANA KEPERAWATAN<br />Penurunan sensori pengelihatan b.d. kerusakan serabut syaraf karena peningkatan TIO<br />Ditandai:<br />Data subyektif:<br />- Menyatakan pengelihatan kabur<br />- Menyatakan adanaya sambaran seperti kilat (halo)<br /><br />Data obyektif:<br />- Visus menurun<br />- TIO meningkat<br /><br />Kriteria Evaluasi<br />- Klien dapat meneteskan obat dengan benar<br />- Kooperatif dalam tindakan<br />- Menyadari hilangnya pengelihatan secara permanen<br />- Tidak terjadi penurunan visus lebih lanjut<br /><br />INTERVENSI RASIONAL<br />1.Kaji dan catat ketajaman pengelihatan<br />2.Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak.<br /><br />3.Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan:<br />-Orientasikan thd lingkungan.<br />-Letakan alat-alat yang sering dipakai dalam jangkuan pengelihatan klien.<br />-Berikan pencahayaan yang cukup.<br />-Letakan alat-alat ditemapat yang tetap.<br />-Berikan bahan-bahan bacaan dengan tulisan yang besar.<br />-Hindari pencahayaan yang menyilaukan.<br />-Gunakan jam yang ada bunyinya.<br />4.Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien.<br />5.Anjurkan pada alternatif bentuk rangsangan seperti radio. TV. 1. Menetukan kemampuan visual<br />2.Memberikan keakuratan thd pengelihatan dan perawatan.<br /><br /><br />3.Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />4. Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan pengelihatan menurun.<br /><br />Cemas berhubungan dengan penurunan pengelihatan, kurangnya pengetahuan.<br />Ditandai:<br />Data subyektif:<br />- Menyatakan perasaan takut<br />- Sering menanyakan tentang penyakitnya<br />- Mengakui kurangnya pemahaman<br /><br />Data obyektif:<br />- Suara gemetar<br />- Tampak gugup<br />- Nadi meningkat<br />- Berkeringat dingin<br /><br />Kriteria evaulasi<br />- Berkurangnya perasaan gugup<br />- Mengungkapkan pemahaman tentang rencana tindakan<br />- Posisi tubuh rileks.<br /><br />INTERVENSI RASIONAL<br />1.Hati-hati menyampaikan hilangnya pengelihatan secara permanen<br />2.Berikan kesemapatan klien mengekspresikan tentang kondisinya.<br />3.Pertahankan kondisi yang rileks.<br />4.Jelaskan tujuan setiap tindakan<br />5.Siapakn bel di tempat tidur dan intruksikan klien memberikan tanda bila mohon bantuan.<br />6. pertahankan kontrol nyeri yang efektif 1.Kalau klien belum siap, akan menambah kecemasan.<br />2.Pengekspresikan perasaan membantu klien mengidentifikasi sumber cemas.<br />3.Rileks dapat menurunkan cemas.<br />4.Dengan penjelasan akan memberikan informasi yang jelas.<br />5.Dengan memberikan perhatian akan menambah kepercayaan klien.<br />6.Nyeri adalah sumber stressrisda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2674685999395418367.post-87823074917222934802010-02-20T07:53:00.000-08:002010-02-20T07:56:23.775-08:00LAPORAN KASUS<br />ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN <br />KARSINOMA LARING<br /><br /><br />LAPORAN PENDAHULUAN<br />ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN KARSINOMA LARING<br /><br />A. Pengertian<br />Secara anatomi tumor laring dibagi atas tiga bagian yaitu supra glotik, tumor pada plika ventrikularis, aritenoid, epiglotis dan sinus piriformis (Glotis : tumor pada korda vokalis , Subglotis : tumor dibawah korda vokalis).<br /><br />B. Patofisiologi<br />Karsinoma laring banyak dijumpai pada usia lanjut diatas 40 tahun. Kebanyakan pada orang laki-laki.Hal ini mungkin berkaitan dengan kebiasaan merokok, bekerja dengan debu serbuk kayu, kimia toksik atau serbuk, logam berat. Bagaimana terjadinya belum diketahui secara pasti oleh para ahli.Kanker kepala dan leher menyebabkan 5,5% dari semua penyakit keganasan.Terutama neoplasma laringeal 95% adalah karsinoma sel skuamosa.Bila kanker terbatas pada pita suara (intrinsik) menyebar dengan lambat.Pita suara miskin akan pembuluh limfe sehingga tidak terjadi metastase kearah kelenjar limfe.Bila kanker melibatkan epiglotis (ekstrinsik) metastase lebih umum terjadi.Tumor supraglotis dan subglotis harus cukup besar, sebelum mengenai pita suara sehingga mengakibatkan suara serak.Tumor pita suara yang sejati terjadi lebih dini biasanya pada waktu pita suara masih dapat digerakan.<br /><br />C. Gambaran klinik<br />Paling dini adalah berupa suara parau atau serak kronik, tidak sembuh-sembuh walaupun penderita sudah menjalani pengobatan pada daerah glotis dan subglotis. Tidak seperti suara serak laringitis, tidak disertai oleh gejala sistemik seperti demam.Rasa tidak enak ditenggorok, seperti ada sesuatu yang tersangkut. Pada fase lanjut dapat disertai rasa sakit untuk menelan atau berbicara.Sesak napas terjadi bila rima glotis tertutup atau hampir tertutup tumor 80%. Sesak napas tidak timbul mendadak tetapi perlahan-lahan. Karena itu penderita dapat beradaptasi, sehingga baru merasakan sesak bila tumor sudah besar (terlambat berobat). Stridor terjadi akibat sumbatan jalan napas.Bila sudah dijumpai pembesaran kelenjar berarti tumor sudah masuk dalam stadium lanjut.Bahkan kadang-kadang tumornya dapat teraba, menyebabkan pembengkakan laring.<br />Bila tumor laring mengadakan perluasan ke arah faring akan timbul gejala disfagia, rasa sakit bila menelan dan penjalaran rasa sakit kearah telinga.Apabila dijumpai kasus dengan jelas diatas, khususnya dengan keluhan suara parau lebih dari dua minggu yang dengan pengobatan tidak sembuh, diderita orang dewasa atau tua, sebaiknya penderita segera dirujuk.<br /><br />D. Stadium<br />Tergantung keadaan tumor (T), pembesaran kelenjar regional ( N ), dan metastasis jauh ( M ).<br />Stadium : I : T1 No Mo<br />II : T2 No Mo<br />III : T3 No Mo, T2 N1 Mo, T3 N1 Mo<br />IV : T4 No Mo, semua T N2 M1, semua T semua N dan M.<br /><br />E. Diagnostic studies<br />Pemeriksaan laring dengan kaca laring atau laringoskopi langsung dapat menunjukkan tumor dengan jelas.Tempat yang sering timbul tumor dapat dilihat pada gambar.Sinar X dada,scan tulang, untuk mengidentifikasi kemungkinan metastase. Darah lengkap, dapat menyatakan anemi yang merupakan masalah umum. Laringografi dapat dilakukan dengan kontras untuk pemeriksaan pembuluh darah dan pembuluh limfe., Kemudian laring diperiksa dengan anestesi umum dan dilakukan biopsi pada tumor.Gigi yang berlubang, sebaiknya dicabut pada saat yang sama.<br />F. Medical Managament<br />Pada kasus karsinoma laring dapat dilakukan pengobatan dengan radiasi dan pengangkatan laring (Laringektomi).Pengobatan dipilih berdasar stadiumnya.Radiasi diberikan pada stadium 1 dan 4.Alasannya mempunyai keuntungan dapat mempertahankan suara yang normal, tetapi jarang dapat menyembuhkan tumor yang sudah lanjut,lebih-lebih jika sudah terdapat pembesaran kelenjar leher.Oleh karena itu radioterapi sebaiknya dipergunakan untuk penderita dengan lesi yang kecil saja tanpa pembesaran kelenjar leher.Kasus yang ideal adalah pada tumor yang terbatas pada satu pita suara, dan masih mudah digerakkan. Sembilan dari sepuluh penderita dengan keadaan yang demikian dapat sembuh sempurna dengan radioterapi serta dapat dipertahankannya suara yang normal.Fiksasi pita suara menunjukkan penyebaran sudah mencapai lapisan otot. Jika tumor belum menyebar kedaerah supraglotik atau subglotik, lesi ini masih dapat diobati dengan radioterapi, tetapi dengan prognosis yang lebih buruk.<br />Penderita dengan tumor laring yang besar disertai dengan pembesaran kelenjar limfe leher, pengobatan terbaik adalah laringektomi total dan diseksi radikal kelenjar leher.Dalam hal ini masuk stadium 2 dan 3. Ini dilakukan pada jenis tumor supra dan subglotik.Pada penderita ini kemungkinan sembuh tidak begitu besar, hanya satu diantara tiga penderita akan sembuh sempurna.Laringektomi diklasifikasikan kedalam :<br />1. Laringektomi parsial. Tumor yang terbatas pada pengangkatan hanya satu pita suara dan trakeotomi sementara yang di lakukan untuk mempertahankan jalan napas. Setelah sembuh dari pembedahan suara pasien akan parau.<br />2. Hemilaringektomi atau vertikal. Bila ada kemungkinan kanker termasuk pita suara satu benar dan satu salah.Bagian ini diangkat sepanjang kartilago aritenoid dan setengah kartilago tiroid.Trakeostomi sementara dilakukan dan suara pasien akan parau setelah pembedahan.<br />3. Laringektomi supraglotis atau horisontal. Bila tumor berada pada epiglotis atau pita suara yang salah, dilakukan diseksi leher radikal dan trakeotomi. Suara pasien masih utuh atau tetap normal.Karena epiglotis diangkat maka resiko aspirasi akibat makanan peroral meningkat.<br />4. Laringektomi total. Kanker tahap lanjut yang melibatkan sebagian besar laring, memerlukan pengangkatan laring, tulang hihoid, kartilago krikoid,2-3 cincin trakea, dan otot penghubung ke laring.Mengakibatkan kehilangan suara dan sebuah lubang ( stoma ) trakeostomi yang permanen. Dalam hal ini tidak ada bahaya aspirasi makanan peroral, dikarenakan trakea tidak lagi berhubungan dengan saluran udara – pencernaan.Suatu sayatan radikal telah dilakukan dileher pada jenis laringektomi ini.Hal ini meliputi pengangkatan pembuluh limfatik, kelenjar limfe di leher, otot sternokleidomastoideus, vena jugularis interna, saraf spinal asesorius, kelenjar salifa submandibular dan sebagian kecil kelenjar parotis (Sawyer, 1990).Operasi ini akan membuat penderita tidak dapat bersuara atau berbicara. Tetapi kasus yang dermikian dapat diatasi dengan mengajarkan pada mereka berbicara menggunakan esofagus (Esofageal speech), meskipun kualitasnya tidak sebaik bila penderita berbicara dengan menggunakan organ laring.Untuk latihan berbicara dengan esofagus perlu bantuan seorang binawicara.<br /> <br />G. Dasar data pengkajian keperawatan<br />Data pre dan posoperasi tergantung pada tipe kusus atau lokasi proses kanker dan koplikasi yang ada.<br /><br />INTEGRITAS EGO <br />Gejala : Perasaan takut akan kehilangan suara,mati, terjadi atau berulangnya kanker. Kuatir bila pembedahan mempengaruhi hubungan keluarga, kemampuan kerja dan keuangan.<br />Tanda : Ansietas, depresi, marah dan menolak operasi.<br /><br />MAKANAN ATAU CAIRAN<br />Gejala :Kesulitan menelan.<br />Tanda : Kesulitan menelan, mudah tersedak, sakit menelan, sakit tenggorok yang menetap.Bengkak, luka. Inflamasi atau drainase oral, kebersihan gigi buruk. Pembengkakan lidah dan gangguan gag reflek.<br /><br />HIGIENE<br />Tanda : kemunduran kebersihan gigi. Kebutuhan bantuan perawatan dasar.<br /><br />NEUROSENSORI<br />Gejala : Diplopia (penglihatan ganda), ketulian.<br />Tanda : Hemiparesis wajah (keterlibatan parotid dan submandibular). Parau menetap atau kehilangan suara (gejala dominan dan dini kanker laring intrinsik). Kesulitan menelan. Kerusakan membran mukosa.<br /><br />NYERI ATAU KENYAMANAN<br />Gejala : Sakit tenggorok kronis, benjolan pada tenggorok. Penyebaran nyeri ke telinga, nyeri wajah (tahap akhir, kemungkinan metastase). Nyeri atau rasa terbakar dengan pembengkakan (kususnya dengan cairan panas), nyeri lokal pada orofaring. Pascaoperasi : Sakit tenggorok atau mulut (nyeri biasanya tidak dilaporkan kecuali nyeri yang berat menyertai pembedahan kepala dan leher, dibandingkan dengan nyeri sebelum pembedahan).<br />Tanda : Perilaku berhati-hati, gelisah, nyeri wajah dan gangguan tonus otot.<br /><br />PERNAPASAN<br />Gejala : Riwayat merokok atau mengunyah tembakau. Bekerja dengan debu serbuk kayu, kimia toksik atau serbuk, dan logam berat. Riwayat penyakit paru kronik. Batuk dengan atau tanpa sputum. Drainase darah pada nasal.<br />Tanda : Sputum dengan darah, hemoptisis, dispnoe ( lanjut ), dan stridor.<br /><br />KEAMANAN<br />Gejala : Terpajan sinar matahari berlebihan selama periode bertahun-tahun atau radiasi.Perubahan penglihatan atau pendengaran.<br />Tanda : Massa atau pembesaran nodul.<br /><br />INTERAKSI SOSIAL<br />Gejala : masalah tentang kemampuan berkomunikasi, dan bergabung dalam interaksi sosial.<br />Tanda : Parau menetap,perubahan tinggi suara, bicara kacau, enggan untuk bicara,dan menolak orang lain untuk memberikan perawatan atau terlibat dalam rehabilitasi.<br /> <br />H. Prioritas keperawatan pre dan post operasi<br />PREOPERASI<br />1. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang pra dan pascaoperasi dan takut akan kecacatan.<br />Batasan Karakteristik : Mengungkapkan keluhan khusus, merasa tidak mampu, meminta informasi, mengungkapkan kurang mengerti dan gelisah, menolak operasi.<br />Goal : Cemas berkurang atau hilang.<br />Kriteria Hasil : Mengungkapkan perasaan dan pikirannya secara terbuka, melaporkan berkurangnya cemas dan takut, mengungkapkan mengerti tentang pre dan posoprasi, secara verbal mengemukakan menyadari terhadap apa yang diinginkannya yaitu menyesuaikan diri terhadap perubahan fisiknya.<br />Rencana Tindakan :<br />1. Jelaskan apa yang terjadi selama periode praoperasi dan pascaoperasi, termasuk tes laboratorium praoperasi, persiapan kulit, alasan status puasa,obat-obatan praoperasi,obat-obatan posoperasi, tinggal di ruang pemulihan, dan program paskaoprasi. Informasikan pada klien obat nyeri tersedia bila diperlukan untuk mengontrol nyeri.Rasional pengetahuan tentang apa yang diperkirakan membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerjasama pasien.<br />2. Jika laringektomi total akan dilakukan, konsultasikan dulu dengan pasien dan dokter untuk mendapatkan kunjungan dari anggota klub laringektomi.Atur waktu untuk berdiskusi dengan terapi tentang alternatif metoda-metoda untuk rehabilitasi suara.Rasional mengetahui apa yang diharapkan dan melihat hasil yang sukses membantu menurunkan kecemasan dan memungkinkan pasien berpikir realistik.<br />3. Izinkan pasien untuk mengetahui keadaan pascaoperasi : satu atau dua hari akan dirawat di UPI sebelum kembali ke ruangan semula, mungkin ruangan penyakit dalam atau ruangan bedah.Mungkin saja akan dipasang NGT. Pemberian makan per sonde diperlukan sampai beberapa minggu setelah pulang hingga insisi luka sembuh dan mampu untuk menelan (jika operasi secara radikal di leher dilaksanakan).Alat bantu jalan napas buatan (seperti trakeostomi atau selang laringektomi) mungkin akan terpasang hingga pembengkakan dapat diatasi.Manset trakeostomi atau selang T akan terpasang di jalan napas buatan, untuk pemberian oksigen yang telah dilembabkan atau memberikan udara dengan tekanan tertentu. Rasional pengetahuan tentang apa yang diharapkan dari intervensi bedah membantu menurunkan kecemasan dan memungkinkan pasien untuk memikirkan tujuan yang realistik.<br />4. Jika akan dilakukan laringektomi horizontal atau supraglotik laringektomi, ajarkan pasien dan latih cara-cara menelan sebagai berikut:<br />Ketika makan duduk dan tegak lurus ke depan dengan kepala fleksi, letakan porsi kecil makanan di bagian belakang dekat tenggorok, tarik napas panjang dan tahan (ini akan mendorong pita suara bersamaan dengan menutupnya jalan masuk ke trakea), menelan dengan menggunakan gerakan menelan,batukan dan menelan kembali untuk memastikan tidak ada makanan yang tertinggal di tenggorok. Rasional karena epiglotis sudah diangkat pada jenis laringektomi seperti ini, aspirasi karena makanan per oral merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. Belajar bagaimana beradaptasi dengan perubahan fisiologik dapat menjadikan frustrasi dan menyebabkan ansietas.Berlatih secara terus – menerus dapat membantu mempermudah belajar dan beradaptasi terhadap perubahan tersebut<br /><br /><br />2. Menolak operasi berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang prosedur pre dan paskaoperasi, kecemasan, ketakutan akan kecacatan dan ancaman kematian. <br />Karakteristik data : kurang kerjasama dan menolak untuk dioperasi,menanyakan informasi tentang persiapan pre dan prosedur posoperasi.<br />Goal : Klien akan bersedia dioperasi.<br />Kriteria hasil : Mengungkapkan perasaan dan pikirannya secara terbuka, mengatakan mengerti pre dan posoperasi, mengatakan berkurangnya kecemasan, klien dioperasi.<br />Rencana tindakan :<br />1. Kaji faktor-faktor yang menyebabkan klien menolak untuk dioperasi.<br />2. Anjurkan keluarga untuk memberikan suport seperti dukungan spiritual.<br />3. Direncanakan tindakan sesuai diagnosa keperawatan no.1.<br />POST OPERASI<br />1. Mempertahankan jalan napas tetap terbuka, ventilasi adekuat.<br />2. Membantu pasien dalam mengembangkan metode komunikasi alternatif.<br />3. Memperbaiki atau mempertahankan integritas kulit.<br />4. Membuat atau mempertahankan nutrisi adekuat.<br />5. Memberikan dukungan emosi untuk penerimaan gambaran diri yang terganggu.<br />6. Memberikan informasi tentang proses penyakit atau prognosis dan pengobatan.<br />TUJUAN PEMULANGAN<br />1. Ventilasi atau oksigenasi adekuat untuk kebutuhan individu.<br />2. Komunikasi dengan efektif.<br />3. Komplikasi tercegah atau minimal.<br />4. Memulai untuk mengatasi gambaran diri.<br />5. Proses penyakit atau prognosis dan program terapi dapat dipahami.<br /> <br />DIAGNOSA KEPERAWATAN<br />I. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan pengangkatan sebagian atau seluruh glotis, gangguan kemampuan untuk bernapas, batuk dan menelan, serta sekresi banyak dan kental.<br />Batasan karakteristik : sulit bernapas, perubahan pada frekwensi atau kedalaman pernapasan,penggunaan otot aksesori pernapasan, bunyi napas tidak normal,sianosis.<br />Goal : Klien akan mempertahankan jalan napas tetap terbuka.<br />Kriteria hasil : bunyi napas bersih dan jelas, tidak sesak, tidak sianosis,frekwensi napas normal.<br />Rencana tindakan :<br />Mandiri<br />1. Awasi frekwensi atau kedalaman pernapasan.Auskultasi bunyi napas. Selidiki kegelisahan, dispnea, dan sianosis. Rasional perubahan pada pernapasan, adanya ronki,mengi,diduga adanya retensi sekret.<br />2. Tinggikan kepala 30-45 derajat. Rasional memudahkan drainase sekret, kerja pernapasan dan ekspansi paru.<br />3. Dorong menelan bila pasien mampu. Rasional mencegah pengumpulan sekret oral menurunkan resiko aspirasi. Catatan : menelan terganggu bila epiglotis diangkat atau edema paskaoperasi bermakna dan nyeri terjadi.<br />4. Dorong batuk efektif dan napas dalam. Rasional memobilisasi sekret untuk membersihkan jalan napas dan membantu mencegah komplikasi pernapasan.<br />5. Hisap selang laringektomi atau trakeotomi, oral dan rongga nasal. Catat jumlah, warna dan konsistensi sekret. Rasional mencegah sekresi menyumbat jalan napas, khususnya bila kemampuan menelan terganggu dan pasien tidak dapat meniup lewat hidung.<br />6. Observasi jaringan sekitar selang terhadap adanya perdarahan. Ubah posisi pasien untuk memeriksa adanya pengumpulan darah dibelakang leher atau balutan posterior.Rasional sedikit jumlah perembesan mungkin terjadi. Namun perdarahan terus-menerus atau timbulnya perdarahan tiba-tiba yang tidak terkontrol dan menunjukkan sulit bernapas secara tiba-tiba.<br />7. Ganti selang atau kanul sesuai indikasi. Rasional mencegah akumulasi sekret dan perlengketan mukosa tebal dari obstruksi jalan napas. Catatan : ini penyebab umum distres pernapasan atau henti napas pada paskaoperasi.<br />KOLABORASI<br />8. Berikan humidifikasi tambahan, contoh tekanan udara atau oksigen dan peningkatan masukan cairan.Rasional fisiologi normal ( hidung) berarti menyaring atau melembabkan udara yang lewat.Tambahan kelembaban menurunkan mengerasnya mukosa dan memudahkan batuk atau penghisapan sekret melalui stoma.<br />9. Awasi seri GDA atau nadi oksimetri, foto dada. Rasional pengumpulan sekret atau adanya ateletaksis dapat menimbulkan pneumonia yang memerlukan tindakan terapi lebih agresif.<br /><br />II. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan defisit anatomi (pengangkatan batang suara) dan hambatan fisik (selang trakeostomi).<br />Karakteristik data :Ketidakmampuan berbicara, perubahan pada karakteristik suara.<br />Goal : Komunikasi klien akan efektif .<br />Kriteria hasil : Mengidentifikasi atau merencanakan pilihan metode berbicara yang tepat setelah sembuh.<br />Rencana tindakan :<br />Mandiri <br />1. Kaji atau diskusikan praoperasi mengapa bicara dan bernapas terganggu,gunakan gambaran anatomik atau model untuk membantu penjelasan.Rasional untuk mengurangi rasa takut pada klien.<br />2. Tentukan apakah pasien mempunyai gangguan komunikasi lain seperti pendengaran dan penglihatan.Rasional adanya masalah lain mempengaruhi rencana untuk pilihan komunikasi.<br />3. Berikan pilihan cara komunikasi yang tepat bagi kebutuhan pasien misalnya papan dan pensil, papan alfabet atau gambar, dan bahasa isyarat.Rasional memungkingkan pasien untuk menyatakan kebutuhan atau masalah. Catatan : posisi IV pada tangan atau pergelangan dapat membatasi kemampuan untuk menulis atau membuat tanda.<br />4. Berikan waktu yang cukup untuk komunikasi.Rasional kehilangan bicara dan stres menganggu komunikasi dan menyebabkan frustrasi dan hambatan ekspresi, khususnya bila perawat terlihat terlalu sibuk atau bekerja.<br />5. Berikan komunikasi non verbal, contoh sentuhan dan gerak fisik. Rasional mengkomunikasikan masalah dan memenuhi kebutuhan kontak dengan orang lain.<br />6. Dorong komunikasi terus-menerus dengan dunia luar contoh koran,TV, radio dan kalender. Rasional mempertahankan kontak dengan pola hidup normal dan melanjutkan komunikasi dengan cara lain.<br />7. Beritahu kehilangan bicara sementara setelah laringektomi sebagian dan atau tergantung pada tersedianya alat bantu suara. Rasional memberikan dorongan dan harapan untuk masa depan dengan memikirkan pilihan arti komunikasi dan bicara tersedia dmungkin.<br />8. Ingatkan pasien untuk tidak bersuara sampai dokter memberi izin.Rasional meningkatkan penyembuhan pita suara dan membatasi potensi disfungsi pita permanen.<br />9. Atur pertemuan dengan orang lain yang mempunyai pengalaman prosedur ini dengan tepat. Rasional memberikan model peran, meningkatkan motivasi untuk pemecahan masalah dan mempelajari cara baru untuk berkomunikasi.<br />KOLABORASI<br />10. Konsul dengan anggota tim kesehatan yang tepat atau terapis atau agen rehabilitasi (contoh patologis wicara, pelayanan sosial, kelompok laringektomi) selama rehabilitasi dasar dirumah sakit sesuai sumber komunikasi (bila ada). Rasional Kemampuan untuk menggunakan pilihan suara dan metode bicara (contoh bicara esofageal) sangat bervariasi, tergantung pada luasnya prosedur pembedahan, usia pasien, dan motivasi untuk kembali ke hidup aktif. Waktu rehabilitasi memerlukan waktu panjang dan memerlukan sumber dukungan untuk proses belajar.<br /><br />III. Kerusakan integritas kulit atau jaringan berhubungan dengan bedah pengangkatan, radiasi atau agen kemoterapi, gangguan sirkulasi atau suplai darah,pembentukan udema dan pengumpulan atau drainase sekret terus-menerus.<br />Karakteristik data : kerusakan permukaan kulit atau jaringan, kerusakan lapisan kulit atau jaringan.<br />Goal : Menunjukkan waktu penyembuhan yang tepat tanpa komplikasi.<br />Kriteria hasil : integritas jaringan dan kulit sembuh tanpa komplikasi<br />Rencana tindakan :<br />1. Kaji warna kulit, suhu dan pengisian kapiler pada area operasi dan tandur kulit.Rasional kulit harus berwarna merah muda atau mirip dengan warna kulit sekitarnya. Sianosis dan pengisian lambat dapat menunjukkan kongesti vena, yang dapat menimbulkan iskemia atau nekrosis jaringan.<br />2. Pertahankan kepala tempat tidur 30-45 derajat. Awasi edema wajah (biasanya meningkat pada hari ketiga-kelima pascaoperasi).Rasional meminimalkan kongesti jaringan paskaoperasi dan edema sehubungan dengan eksisi saluran limfe.<br />3. Lindungi lembaran kulit dan jahitan dari tegangan atau tekanan. Berkan bantal atau gulungan dan anjurkan pasien untuk menyokong kepala atau leher selama aktivitas. Rasional tekanan dari selang dan plester trakeostomi atau tegangan pada jahitan dapat menggangu sirkulasi atau menyebabkan cedera jaringan.<br />4. Awasi drainase berdarah dari sisi operasi, jahitan dan drein.Rasional drainase berdarah biasanya tetap sedikit setelah 24 jam pertama. Perdarahan terus-menerus menunjukkan masalah yang memerlukan perhatian medik.<br />5. Catat atau laporkan adanya drainase seperti susu. Rasional drainase seperti susu menunjukkan kebocoran duktus limfe torakal (dapat menyebabkan kekurangan cairan tubuh dan elektrolit).Kebocoran ini dapat sembuh spontan atau memerlukan penutupan bedah.<br />6. Ganti balutan sesuai indikasi bila digunakan. Rasional balutan basah meningkatkan resiko kerusakan jaringan atau infeksi. Catatan : balutan tekan tidak digunakan diatas lembaran kulit karena suplai darah mudah dipengaruhi.<br />7. Bersihkan insisi dengan cairan garam faal steril dan peroksida (campuran 1 : 1) setelah balutan diangkat. Rasional mencegah pembetukan kerak , yang dapat menjebak drainase purulen, merusak tepi kulit, dan meningkatkan ukuran luka. Peroksida tidak banyak digunakan karena dapat membakar tepi dan menggangu penyembuhan.<br />8. Bersihka sekitar stoma dan selang bila dipasang serta hindari sabun dan alkohol.Tunjukkan pada pasien bagaimana melakukan perawatan stoma atau selang sendiri dalam membersihkan dengan air bersih dan peroksida, menggunakan kain bukan tisu atau katun. Rasional mempertahankan area bersih meningkatkan penyembuhan dan kenyamanan. Sabun dan agen kering lainnya dapat menimbulkan iritasi stoma dan kemungkinan inflamasi.Bahan lain selain kain dapat meninggalkan serat pada stoma yang dapat mengiritasi atau terhisap ke paru.<br />KOLABORASI<br />9. Berikan antibiotik oral, topikal dan IV sesuai indikasi. Rasional mencegah atau mengontrol infeksi.<br /><br />IV. Perubahan membran mukosa oral berhubungan dengan dehidrasi, kebersihan oral tidak adekuat, kanker oral, penurunan produksi saliva sekunder terhadap radiasi atau prosedur pembedahan dan defisit nutrisi.<br />Karakteristik data : Xerostomia ( mulut kering ), ketidaknyamanan mulut, saliva kental atau banyak, penurunan produksi saliva, lidah kering,pecah dan kotor,bibir inflamasi, tidak ada gigi.<br />Goal : menunjukkan membran mukosa oral baik atau integritas membran mukosa baik.<br />Kriteria Hasil : mulut lembab atau tidak kering, mulut terasa segar, lidah normal, bersih dan tidak pecah, tidak ada tanda inflamasi pada bibir.<br />Rencana tindakan :<br />Mandiri<br />1. Inspeksi rongga oral dan perhatikan perubahan pada saliva.Rasional kerusakan pada kelenjar saliva dapat menurunkan produksi saliva, mengakibatkan mulut kering. Penumpukan dan pengaliran saliva dapat terjadi karena penurunan kemampuan menelan atau nyeri tenggorok dan mulut.<br />2. Perhatikan perubahan pada lidah, bibir, geligi dan gusi serta membran mukosa. Rasional pembedahan meliputi reseksi parsial dari lidah, platum lunak, dan faring. Pasien akan mengalami penurunan sensasi dan gerakan lidah, dengan kesulitan menelan dan peningkatan resiko aspirasi sekresi, serta potensial hemoragi. Pembedahan dapat mengankat bagian bibir mengakibatkan pengaliran saliva tidak terkontrol. Geligi mungkin tidak utuh ( pembedahan ) atau mungkin kondisinya buruk karena malnutrisi dan terapi kimia. Gusi juga dapat terinflamasi karena higiene yang buruk, riwayat lama dari merokok atau mengunyah tembakau atau terapi kimia. Membran mukosa mungkin sangat kering, ulserasi,eritema,dan edema.<br />3. Hisapan rongga oral secara perlahan atau sering. Biarkan pasien melakukan pengisapan sendiri bila mungkin atau menggunakan kasa untuk mengalirkan sekresi. Rasional saliva mengandung enzim pencernaan yang mungkin bersifat erosif pada jaringan yang terpajan. Karena pengalirannya konstan, pasien dapat meningkatkan kenyamanan sendiri dan meningkatkan higiene oral.<br />4. Tunjukkan pasien bagaimana menyikat bagian dalam mulut, platum, lidah dan geligi dengan sering. Rasional menurunkan bakteri dan resiko infeksi, meningkatkan penyembuhan jaringan dan kenyamanan.<br />5. Berikan pelumas pada bibir; berikan irigasi oral sesuai indikasi. Rasional mengatasi efek kekeringan dari tindakan terapeutik; menghilangkan sifat erosif dari sekresi.<br /><br /><br />V. Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah, pembengkakan jaringan,adanya selang nasogastrik atau orogastrik.<br />Karakteristik data : Ketidaknyamanan pada area bedah atau nyeri karena menelan, nyeri wajah, perilaku distraksi, gelisah, perilaku berhati-hati.<br />Goal : Nyeri klien akan berkurang atau hilang.<br />Kriteria hasil : klien mengatakan nyeri hilang, tidak gelisah, rileks dan ekpresi wajah ceria.<br />Rencana tindakan :<br />1. Sokong kepala dan leher dengan bantal.Tunjukkan pada pasienbagaimana menyokong leher selama aktivitas.Rasional kelemahan otot diakibatkan oleh reseksi otot dan saraf pada struktur leher dan atau bahu. Kurang sokongan meningkatkan ketidaknyamanan dan mengakibatkan cedera pada area jahitan.<br />2. Dorong pasien untuk mengeluarkan saliva atau penghisap mulut dengan hati-hati bila tidak mampu menelan. Rasional menelan menyebabkan aktivitas otot yang dapat menimbulkan nyeri karena edema atau regangan jahitan.<br />3. Selidiki perubahan karakteristik nyeri, periksa mulut, jahitan tenggorok untuk trauma baru.Rasional dapat menunjukkan terjadinya komplikasi yang memerlukan evaluasi lanjut atau intervensi.Jaringan terinflamasi dan kongesti dapat dengan mudah mengalami trauma dengan penghisapan kateter dan selang makanan.<br />4. Catat indikator non verbal dan respon automatik terhadap nyeri. Evaluasi efek analgesik. Rasional alat menentukan adanya nyeri dan keefektifan obat.<br />5. Anjurkan penggunaan perilaku manajemen stres, contoh teknik relaksasi, bimbingan imajinasi. Rasional meningkatkan rasa sehat, dapat menurunkan kebutuhan analgesik dan meningkatkan penyembuhan.<br />6. Kolaborasi dengan pemberian analgesik, contoh codein, ASA, dan Darvon sesuai indikasi. Rasional derajat nyeri sehubungan dengan luas dan dampak psikologi pembedahan sesuai dengan kondisi tubuh.Diharapkan dapat menurunkan atau menghilangkan nyeri.<br /><br />VI. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan jenis masukan makanan sementara atau permanen, gangguan mekanisme umpan balik keinginan makan, rasa, dan bau karena perubahan pembedahan atau struktur, radiasi atau kemoterapi.<br />Karakteristik data : tidak adekuatnya masukan makanan,ketidakmampuan mencerna makanan, menolak makan, kurang tertarik pada makanan,laporan gangguan sensasi pengecap, penurunan berat badan, kelemahan otot yang diperlukan untuk menelan atau mengunyah.<br />Goal : Klien akan mempertahankan kebutuhan nutrisi yang adekuat.<br />Kriteria hasil : Membuat pilihan diit untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dalam situasi individu, menunjukkan peningkatan BB dan penyembuhan jaringan atau insisi sesuai waktunya.<br />Rencana tindakan : <br />1. Auskultasi bunyi usus. Rasional makan dimulai hanya setelah bunyi usus membik setelah operasi.<br />2. Pertahankan selang makan, contoh periksa letak selang : dengan mendorongkan air hangat sesuai indikasi. Rasional selang dimasukan pada pembedahan dan biasanya dijahit.Awalnya selang digabungkan dengan penghisap untuk menurunkan mual dan muntah. Dorongan air untuk mempertahankan kepatenan selang.<br />3. Ajarkan pasien atau orang terdekat teknik makan sendiri, contoh ujung spuit, kantong dan metode corong, menghancurkan makanan bila pasien akan pulang dengan selang makanan. Yakinkan pasien dan orang terdekat mampu melakukan prosedur ini sebelum pulang dan bahwa makanan tepat dan alat tersedia di rumah. Rasional membantu meningkatkan keberhasilan nutrisi dan mempertahankan martabat orang dewasa yang saat ini terpaksa tergantung pada orang lain untuk kebutuhan sangat mendasar pada penyediaan makanan.<br />4. Mulai dengan makanan kecil dan tingkatkan sesuai dengan toleransi. Catat tanda kepenuhan gaster, regurgitasi dan diare.Rasional kandungan makanan dapat mengakibatkab ketidaktoleransian GI, memerlukan perubahan pada kecepatan atau tipe formula.<br />5. Berikan diet nutrisi seimbang (misalnya semikental atau makanan halus) atau makanan selang (contoh makanan dihancurkan atau sediaan yang dijual) sesuai indikasi. Rasional macam-macam jenis makanan dapat dibuat untuk tambahan atau batasan faktor tertentu, seperti lemak dan gula atau memberikan makanan yang disediakan pasien.<br /><br />VII. Gangguan citra diri berhubungan dengan kehilangan suara,perubahan anatomi wajah dan leher.<br />Karakteristik data :perasaan negatif tentang citra diri, perubahan dalam keterlibatan sosial, ansietas, depresi, kurang kontak mata.<br />Goal : Mengidentifikasi perasaan dan metode koping untuk persepsi negatif pada diri sendiri.<br />Kriteria hasil : menunjukkan adaptasi awal terhadap perubahan tubuh sebagai bukti dengan partisipasi aktivitas perawatan diri dan interaksi positip dengan orang lain.Berkomunikasi dengan orang terdekat tentang perubahan peran yang telah terjadi.Mulai mengembangkan rencana untuk perubahan pola hidup. Berpartisipasi dalam tim sebagai upaya melaksanakan rehabilitasi.<br />Rencana tindakan :<br />1. Diskusikan arti kehilangan atau perubahan dengan pasien, identifikasi persepsi situasi atau harapan yang akan datang.Rasional alat dalam mengidentifikasi atau mengartikan masalah untuk memfokuskan perhatian dan intervensi secara konstruktif.<br />2. Catat bahasa tubuh non verbal, perilaku negatif atau bicara sendiri. Kaji pengrusakan diri atau perilaku bunuh diri. Rasional dapat menunjukkan depresi atau keputusasaan, kebutuhan untuk pengkajian lanjut atau intervensi lebih intensif.<br />3. Catat reaksi emosi, contoh kehilangan, depresi, marah. Rasional pasien dapat mengalami depresi cepat setelah pembedahan atau reaksi syok dan menyangkal. Penerimaan perubahan tidak dapat dipaksakan dan proses kehilangan membutuhkan waktu untuk membaik.<br />4. Susun batasan pada perilaku maladaptif, bantu pasien untuk mengidentifikasi perilaku positip yang akan membaik. Rasional penolakan dapat mengakibatkan penurunan harga diri dan mempengaruhi penerimaan gambaran diri yang baru.<br />5. Kolaboratif dengan merujuk pasien atau orang terdekat ke sumber pendukung, contoh ahli terapi psikologis, pekerja sosial, konseling keluarga. Rasional pendekatan menyeluruh diperlukan untuk membantu pasien menghadapi rehabilitasi dan kesehatan. Keluarga memerlukan bantuan dalam pemahaman proses yang pasien lalui dan membantu mereka dalam emosi mereka. Tujuannya adalah memampukan mereka untuk melawan kecendrungan untuk menolak dari atau isolasi pasien dari kontak sosial.<br /> <br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Doenges, M. G. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3 EGC, Jakarta.<br /><br />Dunna, D.I. Et al. (1995). Medical Surgical Nursing ; A Nursing Process Approach 2 nd Edition : WB Sauders.<br /><br />Lab. UPF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan tenggorokan FK Unair, Pedoman Diagnosis Dan Terapi Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetom FK Unair, Surabaya.<br /><br />Makalah Kuliah THT. Tidak dipublikasikan<br /><br />Prasetyo B, Ilmu Penyakit THT, EGC Jakarta<br /><br />Rothrock, C. J. (2000). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. EGC : Jakarta.<br /><br />Sjamsuhidajat & Wim De Jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.<br /><br />Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. (1998). Buku Ajar Ilmu penyakit THT. FKUI : Jakarta.risda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2674685999395418367.post-65980873628195829352010-02-19T20:30:00.000-08:002010-02-19T20:33:55.688-08:00<blockquote></blockquote>PERAWATAN PERIOPERASI<br /><br />LATIHAN NAFAS DALAM DAN BATUK PADA PREOPERASI<br /><br />Pengertian :<br />Suatu tindakan pendidikan kesehatan yang diajarkan kepada klien sebelum operasi (dalam periode preoperasi).\<br /><br />Tujuan :<br />• Mencegah terjadinya komplikasi paru-paru akibat pemberian anestesi<br />• Membantu paru-paru berkembang dan mencegah terjadinya akumulasi sekresi yang terjadi setelah anestesi.<br /><br />Prosedur kerja<br />Metode latihan nafas dalam dan batuk mengikuti hal-hal dibawah ini :<br />a. Tidur dengan posisi semi fowler atau fowler penuh dengan lutut fleksi, abdomen relak dan dada ekspansi penuh.<br />b. Letakan tangan diatas perut.<br />c. Bernafas pelan melalui hidung dengan membiarkan dada ekspansi dan rasakan perut mengempis dengan tangan yang ada diatasnya.<br />d. Tahan nafas selama 3 detik.<br />e. Keluarkan nafas melalui bibir yang terbuka sedikit secara pelan-pelan (abdomen/perut kontraksi dengan inspirasi).<br />f. Tarik dan keluarkan nafas 3 kali, kemudian setelah inspirasi diikuti dengan batuk yang kuat/keras bila untuk mengeluarkan secret.<br />g. Istirahat<br />h. Ulangi tahap c dan g<br /><br />Hal yang diperhatika perawat<br />• Jika ada insisi dibagia thorax dan abdomen, pasien dapat di pasang gurita atau di tekan dengan bantal untuk mengurang pergerakan saat batuk.<br />• Lakukan latihan ini segera setelah operasi bila keadaan memungkinkan. Untuk pasien yang mempunyai masalah pernafasan misalnya penyakit pernafasan kronis diperlukan latihan ini setiap jam.<br /><br />LATIHAN KAKI<br />Pengertian :<br />Suatu tindakan latihan persiapan fisik yang diajarkan ke pasien pada saat periode sebelum operasi (pre operasi).<br /><br />Tujuan :<br />• Memperlancar peredaran darah<br />• Mencegah vena statis<br />• Mempertahankan tonus otot<br /><br />Prosedur pelaksanaan<br />Ajarkan pada pasien tiga bentuk latihan yang berisi tentang kontraksi dan relaksasi otot quadriceps (vastus intermedius, vastus lateralis, rectus femoris dan vastus medialis) dan otot gastroknemius.<br />A. Lakukan dorsifikasi dan flantar fleksi pada kaki. Latihan kadang-kadang diberiakan seperti dalam keadaan memompa. Gerakan ini akan membuat kontrksi dan relaksasi pada otot betis.<br />Latihan kaki menolong mencegah terjadinya thrombophlebitis dan vena statis.<br />B. Fleksi dan ekstensi pada lutut dan penekanan kembali lutut kedalam bed. Instruksi pasien untuk memulai latihan segera setelah operasi sesuai dengan kemampuannya.<br />C. Naikkan dan turunkan kaki dari permukaan bed. Ekstensikan lutut untuk menggerakan kaki. Latihan ini menimbulkan kontraksi dan relaksasi otot quadriceps. Awasi pasien dalam melakukan latihan kurang lebih satu jam setiap bangun tidur, dengan catatan frekuensi latihan tergantung kondisi pasien. Jelaskan pada pasien bahwa dengan kontraksi otot akan memperlancar peredaran darah.<br /><br /><br />PERSIAPAN KULIT UNTUK PEMBEDAHAN (MENCUKUR)<br /><br />Pengertian :<br />Pencukur rambut dilakukan untuk menghilangkan rambut tubuh yang menjadi tempat mikroorganisme dan menghambat pandangan lengan pembedahan.<br /><br />Tujuan :<br />• Mencegah terjadinya infeksi<br />• Menurunkan angka terjadinya injuri saat operasi.<br /><br />Persiapan alat :<br />• Alat cukur listrik<br />• Gunting<br />• Handuk<br />• Bola kapas<br />• Aplikator (jika diperlukan)<br />• Larutan antiseptik (tidak menjadi keharusan)<br />• Lampu portable<br />• Selimut mandi<br /><br /><br /><br />Prosedur :<br />1) Inspeksi kondisi umum kulit bila terjadi lesi, iritasi, atau tanda infeksi, pencukuran seharusnya tidak dilakukan.<br />Kondisi ini meningkatkan kemungkinan terhadap infeksi luka pasca operasi<br />2) Tinjau kembali pesanan dokter untuk memastikan area yang akan dipotong. (tinjau prosedur ruang operasi sesuai kebijakan institusi) area luas untuk pemotongan rambut tergantung pada tempat insisi, tempat pembedahan, dan pilihan dokter.<br />3) Jelaskan mengenai prosedur dan rasionalisasinya untuk pemotongan rambut diatas permukaan yang luas.<br />Meningkatkan kerja sama dan meminimalkan ansietas karena klien dapat berpikir insisi akan seluas tempat pemotongan rambut.<br />4) Cuci tangan<br />Mengurangi transmisi infeksi.<br />5) Tutup pintu ruangan atau tirai tempat tidur memberikan privasi pada klien<br />6) Atur posisi tempat tidur yang sesuai(tempat tidur di tinggikan) menghindari bekerja sambil membungkuk dalam waktu yang lama.<br />7) Atur posisi pasien senyaman mungkin dengan posisi pembedahan<br />Pemotongan rambut dan persiapan kulit dapat memrlukan waktu beberapa menit. Perawat harus memiliki kemudahan akses untuk area yang sulit dicapai.<br />8) Keringkan area yang dipotong dengan handuk.<br />Menghilangkan lembaban, yang mempengaruhi kebersihan potongan dari pemotongan.<br />9) Pegang pemotongan pada tangan dominan, sekitar 1 cm diatas kulit, dan gunting rambut pada arah tumbuhnya.<br />Mencegah penarikan rambut dan abrasi kulit<br />10) Atur selimut sesuai kebutuhan.<br />Mencegah pemajangan bagian tubuh yang tidak perlu<br />11) Dengan ringan, sikat rambut yang tercukur dengan handuk<br />Menghilangkan rambut yang terkontaminasi dan meningkatkan kenyamanan klien memperbaiki penglihatan terhadap area yang dipotong<br />12) Bila memotong area diatas permukaan tubuh (missal umbilicus atau lipat paha) bersihkan lipatan dengan aplikator berujung kapas yang telah dicelupkan ke arah larutan antiseptik, kemudian dikeringkan.<br />Menghilangkan secret, kotoran, dan sisa potongan rambut, yang menjadi tempat pertumbuhan mikroorganisme.<br />13) Berikan klien bahwa prosedur telah selesai. Menghilangkan ansietas klien<br />14) Bersihkan dan rapikan peralatan sesuai kebijakan institusi, buang sarung tangan. Pembuangan peralatan yang kotor sesuai tempatnya mencegah penyebaran infeksi dan mengurangi resiko cidera.<br />15) Inspeksi kondisi kulit setelah menyelesaikan pemotongan rambut<br />Menentukan bila terdapat sisa rambut atau bila kulit terpotong<br />16) Dokumentasikan prosedur, area yang dipotong atau dicukur, dan kondisi kulit sebelum dan sesudah tindakan pada catatan perawatan<br />Mendokumentasikan prosedur yang dilakukan dan kondisi kulit sebelum pembedahan.<br /><br />Hal yang perlu diperhatikan perawat<br />Lakukan kewaspadaan ekstra bila klien memiliki kecenderungan perdarahan sebelumnya seperti pada leukemia, anemia aplikasi, atau hemofilia atau telah menerima terapi anti koagulan.<br />Bila klien memiliki kecenderungan perdarahan atau pada terapi antikoagulan, pencukuran kering mungkin dianjurkan.<br /><br /><br />Penyuluhan klien<br />• Jelaskan tujuan pencukuran, dan pentingnya untuk keselamatan klien.<br />• Klien harus memahami bahwa pencukuran permukaan kulit lebih luas dari pada area pembedahan yang sesungguhnya.<br /><br /><br />MERAWAT LUKA<br /><br />MERAWAT LUKA TERDIRI DARI :<br />1. Mengganti balutan kering<br />2. mengganti balutan basah ke kering<br />3. irigasi luka<br />4. perawatan dekubitus<br /><br />pengertian :<br />suatu penanganan luka yang terdiri dari membersihkan luka, menutup dan membalut luka sehingga dapat membantu proses penyembuhan luka.<br /><br />Tujuan :<br />• menjaga luka dari trauma<br />• immobilisasi luka<br />• mencegah perdarahan<br />• mencegah kontaminasi oleh kuman<br />• mengabsorbsi drainase<br />• meningkatkan kenyamanan fisik dan psikologis<br /><br />Indikasi perawatan luka :<br />• balutan kotor dan basah akibat eksternal<br />• ada rembesan eksudat<br />• ingin mengkaji keadaan luka<br />• dengan frekuensi tertentu untuk mempercepat debridement jaringan nekrotik.<br /><br />1) Mengganti Balutan Kering/Luka Jahit Post Operasi<br />Tujuan :<br />Balutan kering melindungi luka dengan draenase minimal terhadap kontaminasi mikroorganisme.<br /><br />Indikasi :<br />Untuk luka bersih tak terkontaminasi dan luka steril.<br /><br />Persiapan alat :<br />• Set balutan steril dalam bak instrumen steril<br />o Sarung tangan steril<br />o Pinset 3 (2 anatomis, 1 sirurgis)<br />o Gunting (menyesuaikan kondisi luka)<br />o Balutan kasa dan kasa steril<br />o Kom untuk larutan antiseptik atau larutan pembersih<br />o Salep antiseptik (bila dipesankan)<br />o Depress<br />o Lidi waten<br />• Larutan pembersih yang diresepkan oleh dokter<br />• Gunting perban<br />• Larutan garam fisiologis<br />• Sarung tangan sekali pakai<br />• Plester, pengikat, atau balutan sesuai kebutuhan<br />• Kantung tanah air untuk sampah(bengkok 2 berisi lisol dan kosong)<br />• Selimut mandi<br />• Perlak pengalas<br />• Pengangkat perekat (tidak menjadi keharusan)<br />• Alat pengukur luka (tidak menjadi keharusan)<br /><br />Prosedur pelaksanaan<br />1) Jelaskan prosedur pada klien dengan menggambarkan langkah-langkah perawatan luka.<br />Menghilangkan ansietas klien dan meningkatkan pemahaman proses penyembuhan.<br />2) Susun semua peralatan yang diperlukan di meja dekat tempat tidur (jangan membuka peralatan)<br />Menjegah kesempatan merusak teknik steril dengan kelalaian tak disengaja pada peralatan yang diperlukan.<br />3) Ambil kantung sekali pakai dan buat lipatan diatasnya. Letakan kantung dalam jangkauan area kerja anda/letakkan bengkok dekat pasien.<br />Mencegah kontaminasi tak disengaja pada bagian atas luar permukaan kantung. Jangan menyebrangi area steril untuk membuang balutan kotor.<br />4) Tutup ruangan atau tirai disekitar tempat tidur. Tutup semua jendela yang terbuka. Memberikan klien privasi dan mengurangi udara yang dapat mentransmisikan mikroorganisme.<br />5) Bantu klien pada posisi nyaman dan selimut mandi pasien hanya untuk memamparkan tempt luka. Intruksikan pasien untuk tidak menyentuh area luka atau peralatan steril.<br />Gerakan tiba-tiba dari klien selama pengantian balutan dapat menyebabkan kontaminasi luka atau peralatan. Penutupan memberikan jalan masuk pada luka dan meminimalkan pemaparan yang tidak perlu<br />6) Cuci tangan secara menyeluruh<br />Menghilangkan mikroorganiosme yang tinggal dipermukaan kulit dan mengurangi transmisi patogen pada jaringan yang terpapar<br />7) Pasang perlak pengalas<br />8) Gunakan sarung tangan bersih sekali pakai dan lepaskan plester, ikatan, atau balutan dengan pingset.<br />Sarung tangan mencegah trasmisi organisme dari balutan kotor pada tangan anda<br />9) Lepaskan plester dengan melepaskan ujung dan menariknya dengan perlahan, sejajar pada kulit dan mengarah pada balutan, (bila masih terdapat plester pada kulit, ini dapat dibersihkan dengan aseton/bensin)<br />Mengurangi tegangan pada jahitan atau tepi luka.<br />10) Dengan sarung tangan atau pinset, angkat balutan, pertahankan permukaan kotor jauh dari penglihatan klien.<br />Penampilan draenasi dapat mengganggu klien secara emosional. Pengangkatan balutan dengan hati-hati dari balutan mencegah penarikan tak disengaja pada drain<br />11) Bila balutan lengket pada luka, lepaskan dengan memberikan larutan steril atau NaCl.<br />Mencegah kerusakan perumukaan epidermal<br />12) Observasi karakter dan jumlah drainase pada balutan<br />Memberikan perkiraan hilangnya drainase dan pengkajian kondisi Luka<br />13) Buang balutan pada bengkok, lepaskan sarung tangan dengan menarik bagian dalam keluar. Buang di tempat yang tepat. (bengkok lisol).<br />Prosedur mengurangi transmisi mikroorganisme untuk orang lain.<br />14) Buka bak instrumen balutan steril atau secara individual tertutup bahan steril. Tempatkan pada di meja samping pasien. Balutan, gunting, dan pinset harus tetep pada bak instrumen steril atau dapat ditempatkan pada penutup steril yang terbuka digunakan sebagai area steril atau diatas kasa steril.<br />Balutan steril dan bahan tetap steril saat atau dalam permukaan steril. Persiapan semua bahan mencegah merusak teknik selama mengganti balutan actual.<br />15) Bila penutup atau kemasan kasa steril menjadi basah akibat larutan antiseptik, ulangi persiapan bahan.<br />Cairan bergerak melalui bahan dengan aksi kapiler. Mikroorganisme menjalar dari lingkungan tidak steril di atas meja atau linen tempat tidur menembus kemasan balutan ke balutan itu sendiri.<br />16) Kenakan sarung tangan steril<br />Memungkinkan anda memegang balutan steril, instrumen, dan larutan tanpa menyebabkan kontaminasi.<br />17) Inspeksi luka. Perhatikan kondisinya, letak drein, integritas jahitan atau penutupan kulit, dan karakter drainase. (palpasi luka, bila perlu dengan bagian tangan non dominan, yang tidak akan menyentuh bahan steril).<br />Menentukan status penyembuhan luka. (kontak dengan permukaan kulit atau dreinase mengkontaminasi sarung tangan).<br />18) Bersihkan luka dengan larutan antiseptik yang diserapkan atau larutan garam fisiologis. Pegang kasa yang basahi dalam larutan dengan pinset. Gunakan satu kasa untuk. Setiap kali usapan. Bersihkan dari area yang kurangterkontaminasi ke area terkontaminasi. Gerakan dalam tekanan progresif menjauh dari insisi atau tepi luka.<br />Penggunaan pinset mencegah kontaminasi jari yang memakai sarung tangan. Arah tekanan pembersihan mencegah introduksi organisme ke dalam luka.<br />19) Gunakan kasa baru untuk mengeringi luka atau insisi. Usap dengan cara seperti pada langkah 18<br />Mencegah kelembaban pada tempat luka, yang akhirnya dapat menjadi tempat tumbuh mikroorganisme.<br /><br /><br />20)Berikan salep antibiotik bila dipasankan, gunakan teknik seperti langkah pada pembersihan. Jangan di oleskan ditempat drainase<br />Pengolesan yang di arahkan langsung pada balutan atau drainase dapat menghambat drainase.<br />21) Pasang kasa steril kering pada insisi atau letak luka<br />• Pasang satu kasa setiap kali.<br />Mencegah pemasangan balutan besar yang dapat mengganggu gerakan klien, dan memastikan penutupan luka keseluruhan.<br />• Pasang kasa sebagai lapisan kontak.<br />Meningkatkan absorbsi tepat terhadap drainase<br />• Bila terpasang drain, ambil gunting dan potong kasa kotak untuk dipasangkan disekitarnya.<br />Balutan sekitar drain mengamankan letak drain dan mengobservasi drainase<br />• Pasang kasa lapisan kedua sebagai absorben<br />Melindungi luka dari masuknya mikroorganisme.<br />22)Gunakan plester di atas balutan, amankan dengan ikatan atau balutan.<br />Memberikan dukungan pada luka dan menjamin penutupan lengkap dengan pamaparan minimal pada mikroorganisme.<br />23)Lepaskan sarung tangan dan buang pada tempat yang telah disediakan<br />24)Buang semua bahan dan Bantu klien kembali pada posisi nyaman.<br />Lingkungan yang bersih meningkatkan kenyamanan klien.<br />25)Cuci tangan<br />Mengurangi transmisi mikroorganisme.<br />26)Dokumentasikan penggantian balutan, termasuk pernyataan respon klien, observasi luka, balutan dan drainase.<br />Dokumentasi yang akurat dan tepat waktu memberitahukan personal adanya perubahan personel adanya perubahan pada kondisi luka dan status klien.<br /><br />Hal yang diperhatikan perawat<br />• Saat melepaskan atau memasang balutan, perhatikan untuk tidak mengubah posisi atau menarik drain.<br />• Bila luka kering dan utuh, penyembuhan mungkin optimal dengan pemaparannya pada udara. Hubungi dokter untuk intruksi penghentian penggantian balutan luka.<br />• Alat pelindung mata harus dipakai bila terdapat resiko kontaminasi okuler, seperti cipratan dari luka.<br /><br />Penyuluhan klien<br />Klien sering pulang dengan balutan yang mongering. Klien atau keluarganya diintruksikan tentang teknik mencuci tangan, pembersihan luka, dan pembuangan balutan kotor yang tepat. Tindakan ini memerlukan teknik yang steril.<br /><br />Pertimbangan pediarti<br />Bila balutan memang benar-benar diperlukan pada bayi atau anak kecil, perawat harus memasukkan aktivitas bermain ke dalam rencana keperawatannya sehingga kesempatan anak untuk melepaskan balutan akan minimal.<br /><br />Pertimbangan Geriatri<br />Kulit klien lansia normalnya tidak elastis dan tipis. Oleh karenanya lakukan perawatan khusus, ketika melepaskan plester.<br /><br /><br />MENGGANTI BALUTAN BASAH KE KERING<br /><br />Pengertian :<br />Balutan basah kering adalah tindakan pilihan untuk luka yang memerlukan debridemen.<br /><br />Indikasi :<br />Luka bersih terkontaminasi dan luka infeksi yang memerlukan debridemen.<br /><br />Tujuan :<br />• Membersihkan luka terinfeksi dan nekrotik<br />• Mengabsorbsi semua eksudat dan debris luka<br />• Membantu menarik kelembaban dari luka ke dalam balutan.<br /><br />Persiapan Alat :<br />• Set balutan steril dalam bak instrumen steril :<br />o Sarung tangan steril<br />o Guting dan pinset steril (2 anatomis dan 1 sirurgis)<br />o Depress<br />o Lidi waten<br />o Balutan kasa dan kasa steril<br />o Kom untuk larutan antiseptik atau pembersih<br />o Salep antiseptik (tidak menjadi keharusan)<br />• Larutan pembersih yang diresepkan oleh dokter<br />• Normal salin<br />• Sarung tangan sekali pakai<br />• Plester, pengikat, atau perban sesuai kebutuhan<br />• Kantung tahan air untuk sampah atau bengkok (1 berisi lisol, 1 kosong)<br />• Selimut mandi<br />• Aseton/bensin (tidak menjadi keharusan)<br />• Bantalan tahan air/perlak pengalas<br />• Gunting perban<br /><br />Prosedur palaksanaan<br />1) Jelaskan prosedur pada klien dengan menggambarkan langkah-langkah perawatan luka.<br />Menghilangkan ansietas klien dan meningkatkan pemahaman proses penyembuhan<br />2) Susun semua peralatan yang diperlukan di meja dekat tempat tidur(jangan membuka perlatan)<br />Mencegah kesempatan merusak teknik steril dengan kelalaian tak disengaja pada peralatan yang di perlukan.<br />3) Ambil kantung sekali pakai dan buat balutan diatasnya. Letakkan kantung dalam jangkauan area kerja anda/letakkan bengkok didekat pasien.<br />Mencegah kontaminasi tak disengaja pada bagian atas luar permukaan kantung. Jangan menyebrangi area steril untuk membuang balutan kotor.<br />4) Tutup ruangan atau tirai di sekitar tampat tidur. Tutup semua jendela yang terbuka.<br />Memberikan klien privasi dan mengurangi udara yang dapat mentransmisikan mikroorganisme.<br />5) Bantu pasien pada posisi nyaman dan selimut madi pasien hanya untuk memaparkan temapt luka. Intruksikan pasien untuk tidak menyentuh area luka atau peralatan steril.<br />Gerakan tiba-tiba dari klien selama penggantian balutan dapat menyebabkan kontaminasi luka atau peralatan. Penutupan memberikan jalan masuk pada luka dan meminimalkan pemaparan yang tidak perlu.<br />6) Cuci tangan secara menyeluruh<br />Menghilangkan mikroorganisme yang tinggal di permukaan kulit dan mengurangi transmisi patogen pada jaringan yang terpapar.<br />7) Letakkan bantalan tahan air di bawah klien/perlak pengalas.<br />Mencegah mengotori linen tempat tidur.<br />8) Kenakan sarung tangan bersih sekali pakai dan lepaskan plester, ikatan atau perban.<br />Sarung tangan mencegah transmisi organisme infeksius dari balutan dari balutan kotor tangan pada anda.<br />9) Lepaskan plester dengan melaskan ujungnya dan menarik secara perlahan, sejajar dengan kulit dan kearah balutan (bila masih terdapat sisa perekat dikulit, dapat dihilangkan dengan aseton/bensin)<br />Mengurangi tegangan pada jahitan atau tepi luka.<br />10) Dengan tangan yang telah menggunakan sarung tangan atau pinset, angkat balutan, permukaan bawah balutan yang kotor jauhkan dari penglihatan klien.<br />Catatan : bila terpasang drain, lepaskan satu lapis setiap kali.<br />Penampilan balutan dapat menganggu klien secara emosional. Pengambilan balutan dengan hati-hati mencegah penarikan drain secara tidak sengaja.<br />11) Bila balutan merekat pada jaringan dibawahnya, jangan dibasahi. Perlahan bebaskan balutan dari eksudat yang mongering. Ingatkan klien tentang penarikan dan ketidaknyamanan.<br />Pembalutan basah dan kering dibuat untuk luka bersih terkontaminasi atau luka terinfeksi dengan debridemen jaringan nekrotik dan eksudat.<br />12) Observasi karakter dan jumlah drainase pada balutan.<br />Menghilangkan pikiran kehilangan drainase dan pengkajian kondisi luka.<br />13) Buang balutan kotor pada wadah yang telah di sediakan, hidari kontaminasi permukaan luar wadah. Lepaskan sarung tangan sekali pakai dengan menarik bagian dalam keluar. Buang pada tempat yang telah disediakan<br />Mengurangi transmisi mikroorganisme ke orang lain.<br />14) Siapkan peralatan balutan steril. Tuangkan larutan yang diresapkan ke dalam kom steril dan tambahkan kasa berlubang kecil.<br />Lapiskan kasa yang bersentuhan dengan luka harus terbasahi secara menyeluruh untuk meningkatkan kemampuan absorbsi balutan.<br />15) Enakan sarung tangan<br />Memungkinkan anda memegang balutan steril, instrumen, dan larutan tanpa mengkontaminasi dengan mikroorganisme.<br />16) Inspeksi luka. Perhatikanlah kondisinya, letak drain, integritas jahitan atau penutupan kulit, dan krakteristik drainase. (palpasi luka, bila perlu, dengan bagian non dominan anda yang tidak akan menyentuh peralatan steril).<br />Menentukan status penyembuhan luka. (kontak dengan permukaan kulit atau drainase mengkontaminasi sarung tangan).<br />17) Bersihkan luka dengan larutan antiseptik atau larutan normal salin. Pegang kasa yang telah dibasahi dengan larutan menggunakan pinset. Gunakan satu kasa untuk setiap tekanan pembersihan. Bersihkan dari area yang kurang terkontaminasi ke area yang paling terkontaminasi. Bergerak dalam tekanan progresif menjauh dari garis insisi ataupun tepi luka.<br />Penggunaan pinset mencegah terjadinya kontaminasi jari anda yang menggunakan sarung tangan. Arah pembersihan mencegah introduksi organisme ke dalam luka.<br />18) Pasang kasa yang basah tepat pada permukaan luka. Bila luka dalam dengan perlahan buat kasa seperti kemasan dengan menekuk tepi kasa dengan pinset. Secara perlahan masukkan kasa ke dalam luka sehingga semua permukaan luka kontak dengan kasa basah.<br />Kasa basah mengabsorbsi drainase dan melekat pada debris. Pemasangan kasa sehingga secara merata didistribusikan pada permukaan luka.<br />19) Pasang kasa steril kering diatas kasa basah.<br />Lapisan kering bekerja sebagai lapisan absorben untuk menarik kelembaban dari permukaan luka.<br />20)Tutup dengan kasa, asang lester di atas bantalan atau amankan dengan, perban, atau pengikat.<br />Kasa atau bantalan melindungi luka dari masuknya mikroorganisme.<br />Memberikan penyangga pada luka dan menjamin penutupan luka dengan sempurna untuk meminimalkan pemajanan terhadap mikroorganisme<br />Meningkatkan perasaan sejahtera klien<br />21) Bantu klien pada posisi nyaman.<br />Meningkatkan transmisi mikroorganisme.<br />22) Cuci tangan<br />Mengurangi transmisi mikroorganisme<br />23)Catat pada catatan perawatan dari observasi luka, balutan drainase, dan respon klien.<br />Dokumentasi akurat dan tepat waktu memberitahukan personil adanya perubahan kondisi luka dan status klien.<br />Hal yang di perhatikan perawat<br />• Pengangkatan balutan dan pemasangan kembali balutan basah kering yang baru dapat menyebabkan klien merasa nyeri.<br />• Perawat harus memberikkan analgesik dan waktu penggantian balutan sesuai dengan puncak efek obat.<br />• Pelindung mata harus digunakan bila terdapat resiko adanya kontaminasi okuler, seperti percikan dari luka.<br /><br />Penyuluhan klien<br />Klien bisanya tidak dipulangkan ke rumah semantara masih diperlukan panggantian bahan balutan basah kering. Klien dapat diajarkan tentang parawatan luka untuk mengantisipasi penggunaan balutan kering di rumah.<br /><br />Pertimbangan pediarti<br />Ada baiknya untuk menguatkan balutan basah kering dengan gulungan kasa untuk mencegah lepas secara tidak sengaja oleh anak usia bermain yang aktif. Kapanpun mungkin, kuatkan balutan tetapi tidak mengikat anak.<br /><br />Pertimbangan Geriatri<br />Kulit klien lansia normalny tipis dan tidak elastis. Gunakan perawatan khusus, dalam melepaskan plester.<br /><br />IRIGASI LUKA<br /><br />Pengertian :<br />Suatu tindakan pembersihan secara mekanis dengan larutan isotonic atau pengangkatan fisik terhadap jaringan debris, benda asing atau eksudat dengan kasa atau dengan spuit.<br /><br />Tujuan :<br />• Menghilangkan esudat dan debris, benda asing dari luka yang lambat sembuh.<br />• Memberikan panas pada area yang sakit.<br />• Untuk meningkatkan penembuhan atau memudahkan pengolesan obat luka<br /><br />Peralatan :<br />• Bak instrumen steril berisi : pensit 2, kasa steril, gunting, lidi waten<br />• Larutan irigasi (200 sampai 500 ml sesuai pesanan) dihangatkan pada suhu tubuh (37-40 derajat C).<br />• Spuit irigasi steril (kateter karet merah steril sebagai penghubung untuk luka dalam lubang kecil)<br />• Kom balutan steril dan peralatan untuk mengganti balutan<br />• Bantalan tahan air/perlak pengalas<br />• Jeli pelumas dan spatel lidah (tidak menjadi keharusan)<br />• Bengkok<br />• Pinset/forcep<br />• Sarung tangan steril dan bersih<br /><br />Prosedur pelaksanaan :<br />1) Jalaskan prosedur pada klien. Gambarkan sensasi yang akan di rasakan selama irigasi. Ansietas klien akan di kurangi melalui kesadaran tentang apa yang akan terjadi selam prosedur dan perasaan apa yang dirasakan<br /><br />2) Susun peralatan di samping tempat tidur.<br />Mencegah merusak prosedur<br />3) Posisikan klien sehingga larutan irigasi akan mengalir dari bagian atas tepi luka ke bagian dalam kom yang diletakkan di bawah luka<br />Aliran cairan dipengaruhi gravitasi dari area yang kurang terkontaminasi e area yang terkontaminasi.<br />4) Letakkan perak pengalas di bawah luka klien<br />Mencegah mengotori linen tempat tidur.<br />5) Cuci tangan<br />Mengurangi transmisi mikroorganisme.<br />6) Kenakan sarung tangan bersih sakali pakai dan lepaskan plester, ikatan atau perban. Sarung tangan mencegah transmisi organisme infeksius dari balutan kotor ke tangan anda.<br />7) Lepaskan plester dengan melepaskan ujungnya dan menariknya perlahan, sejajar dengan kulit dan ke arah balutan. (bila perekat masih tersisa di kulit, dihilangkan dengan menggunakan larutan aseton/bensin).<br />Mengurangi tegangan pada garis jahitan atau tepi luka.<br />8) Dengan tangan anda yang telah memakai sarung tangan atau pinset, angkat balutan, pertahankan bagian bawah yang kotor jauh dari<br />penglihatan klien. Lepaskan satu demi satu balutan.<br />Penampilan drainase dapat menggangu klien secara emosional. Pengangkatan balutan dengan hati-hati mencegah tertariknya drain secara tak sengaja.<br />9) Bila balutan lengket ke luka, lepaskan dengan meneteskan normal salin steril mencegah kerusakan permukaan epidermal.<br />10) Observasi karakter dan jumlah drainage pada balutan.<br />Memberikkan perkiraan hilangnya drainage dan pengkajian perawatan luka.<br />11) Buang balutan kotor pada wadah yang telah di sediakan, hindari kontaminasi dengan permukaan luar wadah. Lepaskan sarung tangan dengan menarik bagian dalam keluar. Buang di tempat yang telah disediakan.<br />Mengurangi transmisi mikroorganisme pada orang lain.<br />12) Siapkan peralatan steril. Buka kom dan tuangkan larutan (volume bervariasi tergantung ukuran luka dan banyaknya drainage). Buka spuit dan siapkan bak instrumen. Pakai sarung tanagn steril.<br />Mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam luka.<br />13) Letakkan bengkok bersih menempel kulit klien di bawah insisi atau letak luka.<br />Menampung larutan pengirigasi yang terkontaminasi.<br />14) Hisap larutan ke dalam spuit. Saat memegang ujung spuit tepat di atas luka. Irigasi dengan perlahan tetapi secara kontinue dengan tekanan yang cukup untuk mendorong drainage dan debris. Hindari menyemburkan atau menyemprotkan larutan. Irigasi tepat di atas luka.<br />Irigasi secara mekanik mengangkat drainage dan debris. Lokalisasi atau depresi di dasar luka dapat dengan mudah menampung debris.<br />15) Lanjutkan irigasi sampai larutan jernih yang mengalir ke dalam bengkok memastikan bahwa semua debris telah terbuang.<br />16) Dengan kasa steril, keringkan tepi luka. Bersihkan dengan progresif menekan dari garis insisi atau tepi luka.<br />Mengeringkan basah yang berlebihan, yang dapat menjadi media untuk pertumbuhan mikroorganisme atau sebagai pengirigasi kulit.<br />17) Pasang balutan steril<br />Balutan steril mencegah infeksi dan meningkatkan penyembuhan luka.<br />18) Bantu klien untuk posisi yang nyaman.<br />Meningkatkan kenyamanan klien.<br />19) Bereskan peralatan dan cuci tangan.<br />Mengontrol transfer mikroorganisme.<br />20) Catat pada catatan perawat volume dan tipe larutan, karakteristik drainage, penampilan luka, dan respon klien.<br />Pencatatan tepat waktu akan memberikan dokumentasi terapi akan kemajuan penyembuhan luka.<br /><br />Hal yang di perhatikan perawat<br />• Bila terpasang drain, lepaskan lapisan balutan satu persatu sehingga tidak terjadi penarikan drain tidak disengaja.<br />• Jangan paksa menyemprotkan irigasi ke dalam luka yang tidak tampak. Anda dapat merusak jaringan.<br />• Pelindung mata harus dipakai bila terdapat resiko kontaminasi okuler, seperti cipratan dari luka.<br /><br />Penyuluhan klien<br />Klien biasanya tidak dipulangkan ke rumah bila masih di perlukan irigasi. Namun demikian, instruksikan klien tentang prosedur irigasi luka sehingga ia dapat memantau kemajuan penyembuhannya. Selain itu, instruksi dini membantu klien dan keluarganya menyiapkan kepulangan dan keperawatan rumah yang diperlukan.<br /><br />Pertimbangan pediatric<br />Bila anak tidak mampu untuk tidak diam selama prosedur, ada baiknya untuk meminta bantuan perawat lain atau orang tua untuk melakukan aktivitas bermainan seperti membaca, menyanyi, atau membacakan cerita. Berhati-hatilah dalam menggunakan restrain.<br /><br /><br />MENGANGKAT JAHITAN<br /><br />Pengertian :<br />Suatu tindakan melepaskan jahitan yang biasanya di lakukan hari ke 5-7 (atau sesuai dengan penyembuhan luka yang terjadi).<br /><br />Tujuan :<br />• Mempercepat proses penyembuhan luka<br />• Mencegah terjadinya infeksi akibat adanya corpus alenium<br /><br /><br /><br />Persiapan alat :<br />1) Set angkat jahitan steril berisi pinset sirugis 2, anatomis 1, gunting hatting up, lidi waten, kasa dalam bak instrumen steril<br />2) Bengkok berisi lisol 2-3 %<br />3) Kapas balut<br />4) Korentang<br />5) Gunting plester<br />6) Plester<br />7) Bensin<br />8) Alcohol 70 %<br />9) Bethadin 10 %<br />10) Kantung balutan kotor/bengkok kosong<br /><br />Prosedur pelaksanaan<br />1) Memberi tahu dan menjelaskan pada pasien mengenai prosedur yang akan dilakukan.<br />2) Mendekatkan alat ke dekat pasien<br />3) Membantu pasien mengatur posisi sesuai kebutuhan, sehingga luka mudah dirawat<br />4) Perawat mencuci tangan<br />5) Meletakkan set angkat jahit di dekat pasien atau di daerah yang mudah dijangkau.<br />6) Membuka set angkat jahitan secara steril<br />7) Membuka balutan dengan hati-hati dan balutan di masukkan kedalam kantong balutan kotor.<br />8) Bekas-bekas plester dibersihkan dengan kapas bensin<br />9) Mendesinfeksi sekitar luka operasi dengan alkohol 70 % dan mengolesi luka operasi dengan betadhin solution 10 %.<br />10) Melepaskan jahitan satu persatu selang seling dengan cara : menjepit simpul jahitan dengan pinset sirurgis dan ditarik sedikit ke atas kemudian menggunting benang tepat dibawah simpul yang berdekatan dengan kulit atau pada sisi lain yang tidak ada simpul.<br />11) Mengolesi luka dan sekitarnya dengan bethadin solution 10 %<br />12) Menutup luka dengan kasa steril kering dan di plester<br />13) Merapikan pasien<br />14) Membersihkan alat-alat dan mengembalikan pada tempatnya<br />15) Perawat mencuci tangan<br />16) Mencatat pada catatan perawatan.<br /><br />Hal yang diperhatikan perawat<br />• Cermat dalam menjaga kesterilan<br />• Mengangkat jahitan sampai bersih tidak ada yang ketinggalan<br />• Peka terhadap privasi klien<br />• Teknik pengangkatan jahitan disesuaikan tipe jahitan<br />3. PERAWATAN DEKUBITUS<br /><br />Pengertian :<br />Perawatan luka yang terjadi karena tekanan yang terus menerus pada bagian-bagian tubuh sehingga sirkulasi darah ke daerah tersebut terganggu dan mengakibatkan nekrose jaringan tubuh.<br /><br />Penyebab Dekubitus :<br />1) Tekanan yang lama/terus menerus pada posisi yang sama<br />2) Iritasi jaringan tubuh yang disebabkan oleh feces urine atau keringat<br />3) Kain alas tempat tidur yang tidak licin.<br /><br />Tujuan :<br />• Merangsang peredaran darah<br />• Memberikan perasaan nyaman pada penderita<br />• Mempercepat penyembuhan luka<br /><br />Persiapan alat :<br />• Baskom<br />• Sabun<br />• Air<br />• Agen pembersih atau agen topical yang diresepkan<br />• Balutan yang dipasankan<br />• Pelindung kulit<br />• Lidi waten<br />• Plester hipoalergik atau balutan adesif (hipalik)<br />• Sarung tangan<br />• Alat pengukur luka (tidak menjadi keharusan)<br /><br />Prosedur pelaksanaan<br />1) Cuci tangan dan gunakan sarung tangan<br />Mengurangi transmisi patogen yang berasal dari darah. Sarung tangan harus digunakan saat memegang bahan-bahan berair dari cairan tubuh<br />2) Tutup pintu ruangan atau gorden tempat tidur<br />Mempertahankan privasi klien.<br />3) Baringkan klien dengan nyaman dengan area luka dekubitus dan kulit sekitar mudah dilihat.<br />Area dapat di akses untuk membersihkan luka dan kulit sekitar<br />4) Kaji luka dekubitus dan kulit sekitar untuk menentukan derajat luka kondisi kulit dapat mengindikasikan kerusakan jaringan progresif.<br />• Perhatikan warna, kelembaban dan penampilan kulit sekitar luka kelembaban terus menerus menyebabkan maserasi<br />• Ukur diameter luka yang dapat di gunakan<br />Memberikan suatu pengukuran obyektif ukuran luka. Dapat menentukan tipe balutan yang dipilih : area permukaan panjang dan lebar.<br />• Ukur kedalaman luka dekubitus denganmenggunakan aplikator berujung kapas atau alat lain yang memungkinkan pengukuran kedalaman luka pengukuran kedalaman adalah penting untuk menentukan volume luka meskipun permukaan area sangat adekuat menunjukan kehilangan jaringan pada ulkus derajat satu dan dua, volume lebih adekuat menunjukan kehilangan jaringan pada luka dengan derajat lebih dalam 3 sampai 4.<br />• Ukur kedalaman lubang kulit dengan nekrosis jaringan. Gunakan aplikator berujung kapas steril dan dengan lembut tekantepi luka<br />Lubang menunjukan kehilangan jaringan dibawahnya lebih besar dari kulit.<br />Lubang mengidikasikan nekrosis jaringan progresif.<br />5) Cuci kulit sekitar luka dengan lembut dengan air hangat dan sabun. Cuci secara menyeluruh dengan air.<br />Pembersihan permukaankulit mengurangi jumlah bakteri yang menetap. Sabun dapat mengiritasi kulit.<br />6) Dengan perlahan keringkan kulit secara menyeluruh dengan menekan-nekankan dengan handuk<br />Kelembabaan tererus menerus menyebabakan maserasi lapisan kulit<br />7) Gunakan sarung tangan steril<br />Teknik aseptic harus dipertahankan membersihkan, mengukur dan memasang balutan (periksa kebijakan institusional mengenai menggunaan sarung tanagn bersih atau steril)<br />8) Bersihkan luka secara menyerluruh dengan cairan normal salin atau agen pembersih<br />Menghilangkan debris yang terkelupas dari luka. Sebelumnya dibutuhkan perendaman dengan enzim untuk pengakatan.<br />• Gunakan semprit irigasi untuk luka yang dalam<br />9) Gunakan agen topikal bila diresepkan :<br />Enzim-enzim :<br />• Pertahan sarung tangan steril oleskan sejumlah kecil salep enzim pada telapak tangan<br />Tidak memerlukan salep yang terlalu banyak. Lapisan yang tipis mengabsorbsi dan kerja lebih efektif. Kelebihan obat dapat mengiritasi kulit sekitarnya. Gunakan hanya pada area yang nekrotik<br />• Ratakan obat dengan menggosok telapak tangan kuat-kuat<br />Membuat salep lebih mudah dioleskan pada luka<br />• Oleskan salep dengan tipis secara merata diatas luka nekrotik. Jangan oleskan enzim pada kulit sekitar luka<br />Penyebaran salep yang tepat menjamin kerja yang efektif. Enzim dapat menyebabkan luka bakar, parestesia dan dermatitis pada kulit sekitar<br />• Basahi kasa balutan dengan cairan garam faal dan tempelkan langsung pada luka<br />Melindungi luka, mempertahankan permukaan lembab mengurangi waktu yang diperlukan untuk penyembuhan. Sel kulit secara normal hidup dalam lingkungan yang lembab<br />• Tutup kasa yang basah dengan satu lapis kasa kering dan dan plester dengan baik mencegah bakteri masuk kedalam balutan yang lembab.<br />Atiseptik :<br />• Luka dalam : berikan salep antiseptik pada tangan dengan sarung tangan dominan dan oleskan secara merata salep disekitar luka (hindari penyebaran kontaminasi bila area terinfeksi).<br />Salep antiseptik menyebabkan iritasi jaringan minimal. Semua permukaan luka harus tertutup untuk mengontrol pertumbuhan bakteri secara efektif.<br />• Pasang bantalan kasa steril diatas luka dan plester dengan kuat<br />Melindungi luka dan mencegah hilangnya salep selam berbalik atau merubah posisi.<br />Agen hidrogel :<br />• Tutup permukaan luka dengan hidrogel menggunakan aplikator steril atau sarung tangan.<br />Mempertahankan lembabapan luka sambil mengabsorbsi kelebihan drainage. Mungkin digunakan sebagai karier untuk agen topikal<br />• Pasang kasa kering yang halus diatas gel untuk menutupi luka dengan sempurna menahan hidrogel diatas permukaan luka adalah absorben.<br />Kalsium alginat :<br />• Bungkus luka dengan alginat menggunakan aplikator atau sarung tangan.<br />Mempertahankan kelembaban luka saat mengabsorbsi kelembaban drainage<br />• Gunakan kasa kering yang halus atau hidrokoloid diatas alginat<br />Mempertahankan alginat diatas permukaan luka.<br />10) Ubah posisi klien dengan nyaman tidak pada luka dekubitus<br />Menghindari lepasnya balutan tanpa disengaja<br />11) Lepaskan sarung tangan dan bereskan peralatan yang basah, cuci tangan mencegah tranmisi mikroorganisme<br />12) Catat penampilan luka dan perawatan (tipe agen topikal yang digunakan, balutan yang diginakan dan respon klien pada catatan perawat).<br />Observasi dasar dan insfeksi berikutnya menunjukan kemajuan penyembuhan mencatat perawatan.<br />13) Dokumentasi adanya penyimpangan penampilan luka<br />Penyimpangan kondisi dapat mengindikasikan kebutuhan untuk terapi tambahan.<br /><br />Hal yang diperhatikan perawat :<br />• Luka awal cenderung untuk mempunyai batas tidak teratur sejalan dengan berlalunya waktu menjadi halus dan membulat.<br />• Bila luka besar irigasi, dengan air jernih steril dan semprit irigasi dapat membantu kebersihan luka.<br /><br />Pertimbangan penyuluhan :<br />Semua individu yang ikut serta dalam perawatan luka klien harus diajarkan tentang metode yang tepat untuk memberikan perawatan luka.<br /><br />D. RENDAM DUDUK<br /><br />Pengertian :<br />Merendam daerah anus dan sekitarnya serta daerah genetalia.<br /><br />Tujuan :<br />• Memberi pengobatan,<br />• Untuk membersihkan luka,<br />• Untuk mengurangi rasa sakit<br /><br />Indikasi :<br />a. Pasien dengan peradangan<br />b. Luka terbuka yang kotor pada derah anus dan genetalia<br />c. Dismenore<br /><br />Persiapan alat :<br />1) Bak rendam duduk<br />2) Termometer air<br />3) Peniti<br />4) Handuk<br />5) Plester<br />6) Gunting<br />7) Bak steril tertutup berisi kain kasa dan pinset<br />8) Cairan obat yang diperlukan, misalnya PK 4 / 1000<br />9) Selimut mandi<br />10) Sampiran<br />11) Perlak pengalas<br /><br />Prosedur pelaksanaan :<br />a. Klien diberi tahu tentang tindakan yang akan dikerjakan.<br />b. Alat-alat disiapkan dan diletakan dekat klien.<br />c. Sampiran di pasang<br />d. Perawat mencuci tangan<br />e. Bak rendam duduk disiapkan kemudian diisi cairan obat sebanyak 1/3 bagian.<br />f. Ukur suhu cairan dengan menggunakan termometer air dengan suhu 40-43 derajat C.<br />g. Pasang selimut mandi sampai menutupi seluruh bokong pasien, pakaian bawah pasien dilepaskan.<br />h. Pakaian pasien bagian atas dilipat dan di beri peniti agar tidak terendam air.<br />i. Pasien diminta duduk diatas bak selam 10-15 menit.<br />j. Bila sudah selesai, bokong pasien dikeringkan dengan handuk.<br />k. Tutup luka dengan menggunakan kasa steril dan pinset kemudian luka diplester (lihat dan terapkan teknik perawatan luka)<br />l. Pakian bawah pasien dirapikan kembali, selimut mandi diangkat.<br />m. Pasien dianjurkan untuk beristirahat kembali ditempat tidur.<br />n. Alat-alat dibereskan dan dibersihkan<br />o. Perawat cuci tangan<br />p. Dokumentasi keperawatan.risda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2674685999395418367.post-5410887145052570922010-02-19T20:28:00.000-08:002010-02-19T20:29:14.488-08:00INFEKSI DALAM KEHAMILAN<br /> Secara umum infeksi dalam kehamilan berdasarkan penyebabnya dikelompokan menjadi tiga penyebab, yaitu :<br />1. Infeksi Virus ; meliputi varisella zooster, influenza, parotitis, rubeola, virus pernafasan, enterovirus, parfovirus, rubella, sitomegalovirus.<br />2. Infeksi bakteri ; meliputi Streptokokus grup A, Streptokokus grup B, Listeriosis, Salmonella, Shigella, Mourbus Hansen.<br />3. Infeksi protozoa; meliputi Toksoplasmosis, Amubiasis, amubiasis, infeksi jamur.<br />1.Varicella – zooster <br />Walaupun masih diperdebatkan, terdapat bukti bahwa infeksi vaeisella bertambah parah selama kehamilan. Paryani dan Arvin (1986) melaporkan bahwa 4 dari 43 wanita hamil yang terinfeksi atau sekitar 10%, mengalami pneumonitis. Dua dari wanita ini memerlukan ventilator dan satu meninggal. Infeksi herpes zooster pada ibu hamil lebih sering terjadi pada pasien yang lebih tua atau mengalami gangguan kekebalan (immunocompromised).<br /><br />Pencegahan <br />Pemberian imunoglobulin varisela-zooster (VZIG) akan mencegah atau memperlemah infeksi varisella pada orang rentan yang terpajan apabila diberikan dalam 96 jam dengan dosis 125 U per 10 kg, i.m.<br />Efek pada janin <br />Cacar air pada wanita hamil selama paruh pertama gestasi dapat menyebabkan malformasi kongenital akibat infeksi transplasenta, berupa korioretinitis, atrofi korteks serebri, hidronefrosis dan defek kulit serta tulang tungkai. <br />Resiko tertinggi terletak pada usia gestasi antara 13 dan 20 minggu. Pajanan pada usia kehamilan yang lebih belakangan menyebabkan lesi varisella kongenital, dan bayi kadang-kadang mengalami herpes zooster pada usia beberapa bulan (Chiang dkk, 1995). Janin yang terpajan virus tepat sebelum dan saat persalinan ketika antibodi ibu belum terbentuk, mengalami ancaman serius, bayi akan mengalami infeksi viseral dan susunan syaraf pusat diseminata, yang sering kali mematikan. <br />2.Influenza<br />Penyakit ini disebabkan oleh virus dari famili Orthomyxoviridae, meliputi influenza tipe A dan tipe B. Influenza A lebih serius dari pada B. Penyakit ini tidak mengancam nyawa bagi orang dewasa sehat, kecuali apabila timbul pneumonia, prognosis menjadi serius. Haris (1919) melaporkan angka kematian kasar ibu hamil sebesar 27 %, yang meningkat menjadi 50% apabila terjadi pneumonia.<br />Pencegahan <br />Center for Disease Control and Prevention(1998) menganjurkan vaksinasi terhadap influenza bagi semua wanita hamil setelah trimester pertama. Berapa pun usia gestasi, wanita dengan penyakit medis kronik, misalnya dibetes atau jantung, divaksinasi. Amantadin berespon baik dan spesifik terhadap virus-virus influenza A apabila diberikan dalam 48 jam setelah awitan gejala. <br />Efek pada janin<br />Belum ada bukti kuat bahwa virus influenza A menyebabkan malformasi kongenital atau kelainan pada bayi.<br />3.Parotitis<br />Parotitis adalah penyakit infeksi pada orang dewasa yang jarang dijumpai yang disebabkan oleh paramiksovirus RNA. Virus terutama menginfeksi kelenjar liur, tetapi juga dapat mengenai gonad, meningen, pankreas dan organ lain. Parotitis selama kehamilan tidak lebi parah dibanding pada orang dewasa tidak hamil dan tidak terdapat bukti bahwa virus bersifat teratogenik (Ouhilal, 2000). Vaksin Jeryl-Lynn (virus hidup yang dilemahkan) dan vaksin MMR kontraindikasi bagi wanit haml. <br />Efek pada janin<br />Tidak ada bukti kuat bahwa infeksi parotitis meningkatkan angka kematian janin maupun anomali mayor pada janin. Parotitis kongenital sangat jarang dijumpai.<br />4.Rubeola (campak)<br />Virus tampaknya tidak bersifat teratogenik, tetapi terjadi peningkatan frekuensi abortus dan BBLR pada kehamilan dengan penyulit campak (Siegel dan Fuerst, 1966). Apabila seorang wanita menderita campak sesaat sebelum melahirkan , timbul resiko infeksi serius yang cukup besar pada neonatus, terutama pada bayi preterm. Imunisasi pasif dapat dicapai dengan pemberian globulin serum imun 5 ml i.m dalam 3 hari setelah terpajan. Vaksinasi aktif tidak diberikan selama kehamilan, tetapi wanita yang rentan secara rutin divaksinasi postpartum. <br />5.Rubella<br />Rubela atau campak Jerman, yaitu suatu penyakit yang biasanya tidak begitu penting pada keadaan tidak hamil,pernah menjadi penyebab langsung hasil-akhir kehamilan yang jelek dan bahkan lebih serius lagi, penyebab malformasi kongenital berat. Hubungan antara rubela maternal dan malformasi kongenital serius, pertama-tama dikenali oleh Gregg (1942), seorang ahli oftalmologi Australia.<br />Pencegahan <br />Untuk memberantas penyakit infeksi ini sama sekali, pendekatan berikut dianjurkan untuk mengimunisasikan populasi dewasa, khususnya populasi wanita usia reproduktif:<br />• Pendidikan bagi para petugas pelayanan kesehatan dan masyarakat luas mengenai bahaya infeksi rubella.<br />• Vaksinasi bagi para ibu yang rentan sebagai bagian dari perawatan medis dan obstetrik rutin<br />• Vaksinasi bagi semua wanita yang datang ke klinik keluarga berencana<br />• Pengenalan dan vaksinasi bagi wanita yang belum memiliki kekebalan sesudah <br />• melahirkan bayi atau mengalami abortus<br />• Vaksinasi bagi wanita yang tidak hamil dan mempunyai kerentanan yang diketahui lewat pemeriksaan serologi sebelum perkawinan<br />• Jaminan imunitas bagi semua petugas rumab sakit yang dapat terpapar pasien rubela <br />• atau yang meng¬alami kontak dengan ibu hamil <br />Vaksinasi rubela dianjurkan agar tidak dilakukan sesaat sebelum kehamilan atau pada saat kehamilan, mengingat vaksin tersebut merupakan virus hidup yang dilemahkan.<br />The Centers for Disease Control (1987b) telah mempertahankan pencatatan sejak tabun 1971 untuk memantau efek vaksinasi terhadap janin. Sampai tahun 1986, 1.176 wanita yang rentan terhadap infeksi rubela telab diimunisasi dalam waktu 3 bulan sejak pembuahan dan untungnya tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pemberian vaksin tersebut menimbulkan malformasi pada bayi atau janin. Kasus¬ kasus di mana wanita yang rentan diimunisasi selama keha¬milannya harus dilaporkan ke bagian pencatatan ini (Centers for Disease Control, Atlanta, Georgia, 404-329-1870).<br />Diagnosis<br />Diagnosis rubela kadangkala sulit ditegakkan. Bukan hanya gambaran klinisnya yang serupa dengan penyakit lain, namun juga kasus-kasus subklinis dengan viremia dan infeksi pada embrio serta janin tidak tcrdapat. Tidak adanya anti¬ bodi terhadap rubela menunjukkan defisiensi imunitas. Adanya antibodi menandakan respon imun terhadap viremia rubela, yang mungkin sudah diperoleh di suatu tempat sejak beberapa minggu atau bertahun-tahun sebelumnya. Jika antibodi rubela maternal terlihat pada saat terpapar rubela atau sebelumnya, maka kekhawatiran ibu bisa diten-teramkan karena kemungkinan janin terkena infeksi tersebut sangat kecil. Orang yang tidak kebal dan mendapatkan viremia akan memperlihatkan titer antibodi yang puncaknya terjadi 1 hingga 2 minggu sesudah dimulainya gejala ruam, atau 2 hingga 3 minggu sesudah onset viremia, mengingat viremia secara klinis terlihat lebih dabulu sebagai penyakit yang nyata sekitar 1 minggu sebelumnya. Karena itu kece¬patan respon antibodi dapat mempersulit diagnosis, kecuali bila serum sudah diantbil dahulu dalam waktu beberapa hari sesudah dimulainya gejala ruam. Jika, misalnya, spesimen pertama diambil 10 hari sesudah ruam, maka de¬teksi antibodi tidak akan berhasil membedakan antara kedua kemungkinan ini: (1) bahwa penyakit yang baru saja terjadi benar-benar rubela; atau (2) bahwa penyakit tersebut bukan rubela, namun orang tersebut sudah kebal terhadap rubela.<br />Terlihatnya IgM yang spesifik pada ibu hamil menunjukkan suatu infeksi primer dalam waktu beberapa bulan.<br />Tes yang paling sering digunakan adalah HI (hemaglutination inhibition) tes. Pada tes ini terlihat rubela antibodi menghalangi aglutinasi dari sel darah merah oleh virus rubela. Pereriksaan ini membutuhkan waktu dan teknik yang kompleks sehingga digantikan dengan dengan teknik pemeriksaan yang lain. Metode yang baru berupa ELISA (enzyme linked immunoabsorbent assay), PHA (passive agglutination), IFA (Immunofluoresence assay), RIA (radioimmunoassay), dan radial immunodiffusion tes.<br />Sindrom Rubella Kongenital<br />Pada rubela seperti halnya pada infeksi virus yang lain, konsep tentang bayi yang terinfeksi versus bayi yang terjangkit harus dipahami. Rubela merupakan teratogen yang poten, dan 80 % dari ibu yang mendapatkan infeksi rubela serta ruam dalam usia kehamilan 12 minggu akan mempunyai janin dengan infeksi kongenital (Miller dkk., 1982).<br />Pada kehamilan minggu ke-13 hingga ke-14, insiden ini besarnya 54 persen, dan pada akhir trimester kedua 25 persen. Dengan semakin tinggi usia kehamilan, semakin kecil kemungkinan bagi infeksi tersebut untuk menimbulkan kelainan kongenital. Sebagai contoh, cacat rubela terlihat pada semua bayi yang terbukti menderita infeksi intrauteri sebelum usia gestasional 11 minggu, namun hanya 35 persen bayi yang terinfeksi pada usia gestasional 13 hingga 16 minggu. Meskipun tidak terlihat cacat pada 63 anak yang terinfeksi setelah usia gestasional 16 minggu, namun anak-anak tersebut diikuti perkembangannya dalam waktu 2 tahun, dan extended rubella syndrome dengan panensefalitis progresif dan diabetes tipe 1 mungkin baru terlihat secara klinis setelah usia dua puluh atau tiga pulub tahun. Kernungkinan sepertiga dari bayi yang asimtomatik pada saat lahir akan memperlihatkan cedera pertumbuhan tersebut (American College of Ob¬stetricians and Gynecologists, 1988).<br />Sindroma rubela kongenital mencakup satu atau lebih abnormnalitas berikut:<br />1. Kelainan mata, termasuk katarak, glaukoma, mi¬kroftalmia dan berbagai abnormalitas lainnya<br />2. Penyakit jantung, termasuk patent ductus arte¬riosus defek septum jantung dan stenosis arteri <br />3. Pulmonalis<br />4. Cacat pendengaran<br />5. Cacat sistem saraf pusat termasuk meningoensefalitis<br />6. Retardasi pertumbuhan janin<br />7. Trombositopenia dan anemia<br />8. Hepatosplenomegali dan ikterus<br />9. Pneumonitis interstisialis difusa kronis<br />10. Perubahan tulang<br />11. Abnormalitas kromosom<br />6. Sitomegalovirus<br />Sitomegalovirus merupakan organisme yang ada di mana-¬mana serta pada hakekatnya menginfeksi sebagian besar manusia, bukti adanya infeksi janin ditemukan di antara 0,5 –2 % dari semua neonatus. Sesudah terjadinya infeksi primer yang biasanya asimtomatik, 10 % infeksi pada janin menimbulkan simtomatik saat kelahiran dan 5-25 % meninggalkan sekuele. Pada beberapa negara infeksi CMV 1 % didapatkan infeksi in utro dan 10-15 % pada masa prenatal(5) Virus tersebut menjadi laten dan terdapat reaktivasi periodik dengan pelepasan virus meskipun ada antibodi di dalam serum. Antibodi humoral diproduksi, namun imunitas yang diperanta¬rai oleh sel tampaknya merupakan mekanisme primer untuk terjadinya kesembuhan, dan keadaan kekebalan yang terganggu baik terjadi secara alami maupun akibat pemakaian obat-obatan akan meningkatkan kecenderungan timbulnya infeksi sitomegalovirus yang serius. Diperkirakan bahwa berkurangnya surveilans imun yang diperantarai oleh sel, menyebabkan janin-bayi tersebut berada dalam risiko yang tinggi untuk terjadinya sekuele pada infeksi ini.<br />Infeksi Maternal<br />Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kehamilan meningkatkan risiko terjadinya infeksi sitomegalovirus maternal. Infeksi kebanyakan asimptomatik, tetapi 15 % mempunyai mononucleosis like syndrome dengan gejala: demam, paringitis, limpodenopathy, dan polyartritis. Jadi, infeksi primer yang ditularkan kepada janin pada sekitar 40 persen kasus, lebih sering berkaitan dengan morbiditas parah (Stagno dkk., 1986). Meskipun infeksi transplasental tidak universal, janin yang terinfeksi lebih besar kemungkinannya disertai dengan infcksi maternal selama paruh-pertama kehamilan. Sebagaimana virus herpes lainnya, imunitas maternal terhadap sitomegalovirus tidak mencegah timbulnya rekurensi (reaktivasi) dan juga tidak mencegah terjadinya infeksi kongenital. Dalam kenyataannya, mengingat sebagian besar infeksi selama kehamilan bersifat rekuren, mayoritas neonatus yang terinfeksi secara kongenital dilahirkan dari wa¬nita-wanita ini. Untungnya, infeksi kongenital yang terjadi akibat infeksi rekuren lebih jarang disertai dengan sekuele yang terlihat secara klinis dari pada infeksi kongenital yang disebabkan oleh infcksi primer.<br />Infeksi Kongenital<br />Infeksi sitomegalovirus kongenital yang disebut penyakit inklusi sitomegalik, menimbulkan suatu sindrom yang mencakup berat badan lahir rendah, mikrosefalus, kalsifikasi intrakranial, korioretinitis, retardasi mental serta motorik, gangguan sensorineural, hepatosplenomegali, ikterus, anemia hemolitik dan purpura trombositopenik. Angka mortalitas di antara bayi yang terinfeksi secara kongenital ini dapat mencapai 20 – 30 %, dan lebih 90 % bayi yang berhasil hidup ternyata mendcrita retardasi mental, gangguan pendengaran, gangguan perkembangan psikoniotorik, epilepsy atau pun gangguan sistern saraf pusat lainnya (Pass dkk., 1980).<br />Diagnosis<br />Prenatal diagnosis efek infeksi pada janin dapat deteksi dengan USG dan Magnetic Resonace Imaging dengan ditemukan mikrosephal, vetriculomegali dan serebral kalsifikasi.. Gold standar diagnosis infeksi CMV adalah kutur virus. Diagnosis infeksi primer dibuat berdasarkan peningkatan titer IgG sebesar empat kali lipat pada serum, baik dalam keadaan akut maupun konvalesensi yang diukur sekaligus, atau dibuat dengan mendeteksi antibodi 1gM terhadap sitomegalovirus di dalam serum maternal. Sayangnya, tidak satupun di antara kedua metode ini yang benar-benar akurat dalam memastikan infeksi maternal. Celakanya tidak ada metode yang handal untuk memeriksa efek dari infeksi janin tersebut, termasuk pemeriksaan sonografi atau kultur cairan amnion untuk menemukan sitomegalovirus. <br />USG dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi CMV tetapi terbatas dimana janin sudah mengalami gejala yang berat <br />7. Streptokokus grup B<br />Group Streptoccocus B (GBS) adalah penyebab dari infeksi kongenital yang bInfeksi rat pada neonatus pada setiap 1000 kelahiran hidup atau 12.000 sampai 15.000 bayi setiap tahunnya di Amerika. Ini menjadi penyebab korioamnionitis, post partum endometritis dan sepsis pada ibu serta penyebab terpenting terjadinya asfiksia intra uterine.(5)<br />Dalam tahun 1970-an, infeksi streptokokus grup B pada neonatus mengalami peningkatan luar biasa, tetapi kemudian pada banyak rumah sakit terjadi penurunan frekuensi infeksi tersebut. Penyebab terjadinya peningkatan yang mencolok atau penurunan berikutnya tidak dengan jelas. Transmisi intrapartum streptokokus grup B dari traktus genitalis maternal dengan kolonisasi kuman tersebut kepada janin, dapat menimbulkan sepsis berat pads bayi segera sesudah dilahirkan. Tergantung pada populasi yang diteliti, sebanyak 10 hingga 40 persen ibu data stadium kehamilan lanjut mengalami kolonisasi streptokokus grup B dalam traktus genitalis bagian distal, dan separuh dari bayi yang baru dilahirkan akan terkena infeksi ini serta mengalami kolonisasi kuman tersebut. Antibodi yang ditransmisikan dari ibu akan melindungi kebanyakan bayi ini; tetapi, 1 hingga 2 persen dari bayi tersebut akan menderita kelainan secara klinis. Bayi-bayi prematur atau dengan berat badan lahir yang rendah merupakan bayi yang menghadapi risiko paling tinggi, namun lebih separuh dari kasus-kasus sepsis streptokokus neonatal ternyata berupa neonatus yang aterm. Bagi bayi yang mengalami infeksi ini, angka mortalitasnya mendekati 25 persen.<br />Pada septikemia akibat streptokokus grup B yang menandai penyakit dengan onset dini, tanda-tanda sakit yang serius biasanya terjadi dalam waktu 48 jam sesudah bayi lahir. Yang khas, selaput ketuban sudah pecah bebe¬rapa saat sebelum persalinan, atau persalinan tersebut ter¬jadi sebelum waktunya. Bayi dengan berat badan lahir yang rendah menghadapi kemungkinan lcbih besar untuk menderita infeksi klinis serius. Tanda-tanda infeksi dengan onset dini mencakup gawat pernafasan, apnea dan syok.<br />Karena itu, dari awal dokter harus sudah dapat membedakan antara kelainan akibat gawat pernafasan idiopatik dan takipnea sepintas pada neonatus. Pengobatan segera de¬ngan pemberian antibiotik di saroping penanganan masalah respirasinya, harus dilakukan untuk mempertahankan ke¬langsungan hidup bayi. Angka mortalitas pada penyakit dengan onset yang dini bervariasi dari 30 hingga 90 persen, dan prognosis untuk bayi prematur lebih buruk Penyakit dengan onset lanjut biasanya terlihat sehagai meningitis yang timbul sate minggu atau lebih sesudah la¬hir. Meskipun serotipe pada penyakit dengan onset dini bervariasi antara bayi yang satu dengan lainnya, nantun mikroorganisme yang paling sering ditemukan dalam tubuh bayi adalah mikroorganisme yang sama seperti yang tcr¬dapat di dalam vagina ibu. Kendati demikian, kasus-kasus meningitis paling sering discbabkan oleh mikroorganisme serotipe III. Angka mortalitasnya, meskipun cukup tinggi, lebih rendah pada meningitis dengan onset lanjut dari pada sepsis dengan onset dini.<br />Diagnosis<br />Diagnosis yang terbaik adalah dengan kolonisasi antepartum dari kolonisasi ibu yang diambil dari sepertiga bawah vagina dan daerah anorektal untuk dilakukan kultur, yang tidak adekuat untuk intrapartum skrenning. <br />Pada pasien yang sedang bersalin diagnosis cepat dengan melakukan sediaan hapus dari vagina. Karena sensitifitasnya yang rendah maka tes deteksi GBS ini hanya dilakukan pada pada pasien dengan resiko tinggi adanya sepsis neonatus dan memerlukan pengobatan segera.<br />8. Listeriosis<br />Organisme ini adalah gram positip dimana 1 sampai 5 persen dari dewasa memiliki lesteria yang ditemukan di feses. Transmisi ditemukan dari makanan yang terkontaminasi atau susu yang busuk. Sering ditemukan pada penderita usia muda- tua, wanita hamil, penderita dengan daya tahan yang turun. Pada wanita hamil hanya berupa asimtomatik seperti panas badan influenza. Wanita dengan listeriosis dapat menyebabkan fetal infeksi yang terlihat beruapa disseminated granulomatous lesion. Pada bayi kemungkinan untuk terkena infeksi ini sebesar 50 persen. manifestasi pada bayi setelah tiga atau empat minggu setelah lahir. Infeksi ini serupa dengan dengan yang disebabkan oleh grup B haemolytic.streptococcus. <br />9. Morbus Hansen<br />Penyakit lepra (kusta) ditularkan oleh penderita lepra setelah hubungan erat dan lama. Biasanya penularan terjadi dalam masa kanak-kanak, akan tetapi mas latennya sangat lama , masa inkubasinya bervariasi dari beberapa bulan sampai beberapa tahun. <br /> Infeksi laten menjadi nyata atau penyakitnya menjadi lebih jelas oleh faktor-faktor yang menjadi daya tahan penderita, seperti purbertas , kehamilan, dan 6 bulan pertama setelah kelahiran , karena itu penderita sebaiknya tidak menjadi hamil. Dalam penanganan lepra dalam kehamilan yang penting ialah pencegahan anak terhadap infeksi.<br /> Mycobacterium dapat dijumpai dalam plasenta dan tali pusat. Walaupun demikian, seperti halnya dengan tuberculosis, infeksi kongenital sangat jarang. Duncan (1980), melaporkan dalam penelitiannya terhadap penderita lepra yang hamil, bahwa bayi yang dilahirkan lebih sering mengalami pertumbuhan janin yang terhambat dan plasentanyapun berukuran lebih kecil dari normal.Pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut mengalami keterlambatan pula. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh status imunitas yang rendah pada ibu. Bila seorang ibu mengalami infeksi lepra, pemisahan anak-anak dari ibunya sejak kelahiran sangat dianjurkan, sampai ibunya sembuh benar. Apabila tidak, maka 25 % kemungkinan anaknya menderita lepra.<br /> Pengobatan memerlukan waktu yang sangat lama (sampai beberapa tahun). Sekarang diberikan dengan obat-obat sulfa (diaminodietilsulfon), juga dalam kehamilan. Berdasarkan penelitian diketahui pula bahwa ibu yang menderita lepra dan mendapat poengobatan sulfa, dapat kontak dengan bayinya pada saat menyusui saja. Dengan cara ini penularan tidak akan terjadi.<br />10. Toksoplasmosis<br />Toksoplasmosis merupakan infeksi protozoa yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Infeksi ditularkan lewat or¬ganisme berkista dengan memakan daging mentah atau kurang matang, dan terinfeksi protozoa tersebut atau lewat kontak dengan kotoran kucing yang terinfeksi, atau infeksi ini dapat terjadi secara kongenital melalui penularan trans¬plasenta.<br />Patogenesis<br />Imunitas maternal tampaknya memberikan perlindungan terhadap penularan transplasental parasit tersebut; dengan demikian, agar terjadi toksoplasmosis kongenital, ibu harus mendapatkan infeksi tersebut selama kehamilannya. Sekitar sepertiga dari para wanita di Amerika Serikat, mendapatkan antibodi pelindung sebelum hamil dan kadar antibodi ini lebih tinggi di antara wanita yang memelihara kucing seba¬gai binatang kesayangan.<br />Keluhan mudah lelab, nyeri otot dan kadangkala limfadenopati ditemukan pada ibu yang terinfeksi, namun in¬feksi maternal tersebut paling sering terjadi secara subkli¬nis. Infeksi pada kehamilan dapat mcnyebabkan abortus atau mengakibatkan bayi lahir-hidup dengan gejala penya¬kit tersebut. Risiko terjadinya infeksi meningkat menurut lamanya kehamilan dan kurang-lebih 15,30 serta 60 persen dalam trimester pertama, kedua dan ketiga (Remington dan Desmonts, 1983).<br /> Virulensi infeksi janin lebih besar kalau infeksi maternal didapat secara awal dalam kehamilan-untungnya keadaan ini jarang terjadi. Kurang dari sepuluh persen neonatus dengan toksoplasmosis kongenital memperlihatkan tanda¬ tanda sakit secara klinis pada scat lahir. Bayi yang terkena biasanya mcmperlihatkan tanda-tanda penyakit yang menyeluruh dengan berat badan lahir rendah, hepatosplenomegali, ikterus dan anemia. Sebagian bayi terutama men¬derita penyakit neurologi dengan konvulsi, kalsifikasi in¬trakranial dan hidrosefalus atau mikrosefalus. Kedua kelompok bayi tersebut pada akhirnya akan mengalami korioretinitis.<br />Diagnosis <br /> Tes yang paling membantu untuk menegakkan diagnosis ini adalah Sabin- fieldman dye tes dan IgM- IFA ( IgM indirect fluorosence antibody tes).<br />Sabin- fieldman tes ini dilakukan pada akut infeksi frekuensi 2 bulan untuk mencapai kadar maksimum yaitu lebih dari 300 IU/ml atau bahkan lebih dari 3000 IU/ml. Titer yang tinggi didapatkan untuk beberapa bulan atau tahun. Titer yang rendah didapatkan sepanjang hidup. <br />Pedoman untuk interpretasi adalah:<br />1. Bila dye tes ini negatip tidak imun dan resiko pada kehamilaya.<br />2. Bila dye tes positip perlu dilakukan segera tes IgM- IFA dan bila Tes IgM- IFA hasilnya negatip, pasen sudah terinfeksi sebelum masa kehamilan.<br />3. Jika dye tes dibawah 300 IU/ml dan IgM-IFA positip, dye tes harus diulang 3 minggu kemudian. Jika ada peningkatan titer artinya pasen terinfeksi dua bilan sebelumnya dan kemungkinan terjadinya infeksi kongenital. <br />4. Jika dye tes diatas 300 IU/ml dan IgM- IFA positip kemungkinan besar ibu menderita toksoplasma aktif dan janin kemungkinan terinfeksi.<br />Infeksi kongenital didiagnosa dari :<br />1. Didapatkan toksoplasma dari cairan amnion dan darah janin.<br />2. Ditemukan IgM antibodi spesifik dan gamma glutamiltransferase dalam darah bayi setelah 22 miinggu.<br /> <br />Sumber: http://ksuheimi.blogspot.com/risda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2674685999395418367.post-83092837401591761582010-02-19T20:24:00.000-08:002010-02-19T20:28:16.721-08:00Ca Serviks<br />I. PENGERTIAN<br />Kanker serviks adalah penyakit akibat tumor ganas pada daerah mulut rahim sebagai akibat dari adanya pertumbuhan jaringan yang tidak terkontrol dan merusak jaringan normal di sekitarnya (FKUI, 1990; FKKP, 1997 dalam Fefendi, 2008).<br />II. ETIOLOGI<br />Penyebab kanker serviks belum jelas diketahui namun ada beberapa faktor resiko dan predisposisi yang menonjol, antara lain:<br />1. Umur pertama kali melakukan hubungan seksual.<br />Penelitian menunjukkan bahwa semakin muda wanita melakukan hubungan seksual semakin besar mendapat kanker serviks. Kawin pada usia 20 tahun dianggap masih terlalu muda.<br />2. Jumlah kehamilan dan partus.<br />Kanker serviks terbanyak dijumpai pada wanita yang sering partus. Semakin sering partus semakin besar kemungkinan resiko mendapat karsinoma serviks.<br />3. Jumlah perkawinan.<br />Wanita yang sering melakukan hubungan seksual dan berganti-ganti pasangan mempunyai faktor resiko yang besar terhadap kankers serviks ini.<br />4. Infeksi virus.<br />Infeksi virus herpes simpleks (HSV-2) dan virus papiloma atau virus kondiloma akuminata diduga sebagai faktor penyebab kanker serviks<br />5. Sosial Ekonomi.<br />Karsinoma serviks banyak dijumpai pada golongan sosial ekonomi rendah karena faktor sosial ekonomi erat kaitannya dengan gizi, imunitas dan kebersihan perseorangan. Pada golongan sosial ekonomi rendah umumnya kuantitas dan kualitas makanan kurang hal ini mempengaruhi imunitas tubuh.<br />6. Hygiene dan sirkumsisi.<br />Diduga mudah terjadinya kankers serviks dipengaruhi oleh pasangan yang belum disirkumsisi. Hal ini karena pada pria non sirkum hygiene, penis tidak terawat sehingga banyak kumpulan-kumpulan smegma (sekret sebacea).<br />7. Merokok dan AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim).<br />Merokok akan merangsang terbentuknya sel kanker. Sedangkan pemakaian AKDR akan berpengaruh terhadap serviks, yaitu bermula dari adanya erosi diserviks, yang kemudian menjadi infeksi yang berupa radang yang terus menerus. Hal ini dapat sebagai pencetus terbentuknya kanker serviks.<br />III. KLASIFIKASI PERTUMBUHAN SEL<br />Mikroskopis<br />1. Displasia.<br />Displasia ringan terjadi pada sepertiga bagaian basal epidermis. Displasia berat terjadi pada dua pertiga epidermi hampir tidak dapat dibedakan dengan karsinoma insitu.<br />2. Stadium karsinoma insitu.<br />Pada karsinoma insitu perubahan sel epitel terjadi pada seluruh lapisan epidermis menjadi karsinoma sel skuamosa. Karsinoma insitu yang tumbuh didaerah ektoserviks, peralihan sel skuamosa kolumnar dan sel cadangan endoserviks.<br />3. Stadium karsionoma mikroinvasif.<br />Pada karksinoma mikroinvasif, disamping perubahan derajat pertumbuhan sel meningkat, juga sel tumor menembus membran basalis dan invasi pada stoma sejauh tidak lebih 5 mm dari membran basalis. Biasanya tumor ini asimtomatik dan hanya ditemukan pada skrining kanker.<br />4. Stadium karsinoma invasif.<br />Pada karsinoma invasif perubahan derajat pertumbuhan sel menonjol besar dan bentuk sel bervariasi. Petumbuhan invasif muncul diarea bibir posterior atau anterior serviks dan meluas ketiga jurusan yaitu forniks posterior atau anterior, parametrium dan korpus uteri.<br />5. Bentuk kelainan dalam pertumbuhan karsinoma serviks<br />Pertumbuhan eksofilik, berbentuk bunga kol, tumbuh ke arah vagina dan dapat mengisi setengah dari vagina tanpa infiltrasi kedalam vagina. Bentuk pertumbuhan ini mudah nekrosis dan perdarahan.<br />Pertumbuhan endofilik, biasanya lesi berbentuk ulkus dan tumbuh progesif meluas ke forniks, posterior dan anterior ke korpus uteri dan parametrium.<br />Pertumbuhan nodul, biasanya dijumpai pada endoserviks yang lambat laun lesi berubah bentuk menjadi ulkus.<br />Markroskopis<br />1. Stadium preklinis.<br />Tidak dapat dibedakan dengan servisitis kronik biasa.<br />2. Stadium permulaan.<br />Sering tampak sebagian lesi sekitar osteum externum.<br />3. Stadium setengah lanjut.<br />Telah mengenai sebagian besar atau seluruh bibir porsio.<br />4. Stadium lanjut<br />Terjadi pengrusakan dari jaringan serviks, sehingga tampaknya seperti ulkus dengan jaringan yang rapuh dan mudah berdarah.<br />IV. GEJALA KLINIS<br />1. Perdarahan. Sifatnya bisa intermenstruit atau perdarahan kontak, kadang-kadang perdarahan baru terjadi pada stadium selanjutnya. Pada jenis intraservikal perdarahan terjadi lambat. Price & Wilson, 2005 menyatakan walaupun perdarahan adalah gejala yang signifikan, perdarahan tidak selalu muncul pada saat-saat awal, sehingga kanker dapat sudah dalam keadaan lanjut pada saat didiagnosis.<br />2. Biasanya menyerupai air, kadang-kadang timbulnya sebelum ada perdarahan. Pada stadium lebih lanjut perdarahan dan keputihan lebih banyak disertai infeksi sehingga cairan yang keluar berbau.<br />3. Price & Wilson, 2005 menyatakan bersamaan dengan tumbuhnya tumor, gejala yang muncul adalah low back pain atau nyeri tungkai akibat penekanan syaraf lumbosakralis, frekuensi berkemih yang sering dan mendesak, hematuria, atau perdarahan rectum.<br />V. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK<br />1. Sitologi/Pap Smear.<br />Pap Smear adalah pemeriksaan usapan mulut rahim untuk melihat sel-sel mulut rahim (serviks) di bawah mikroskop (Maslim, 2007).<br />Keuntungan: murah dapat memeriksa bagian-bagian yang tidak terlihat.<br />Kelemahan: tidak dapat menentukan dengan tepat lokalisasi.<br />2. Schillen Test.<br />Epitel karsinoma serviks tidak mengandung glycogen karena tidak mengikat yodium. Kalau porsio diberi yodium maka epitel karsinoma yang normal akan berwarna coklat tua, sedang yang terkena karsinoma tidak berwarna.<br />3. Kolposkopi.<br />Kolposkopi adalah pemeriksaan untuk melihat permukaan serviks dengan memasukkan “teropong” bernama kolposkop ke dalam liang vagina. Alat ini menggunakan mikroskop berkekuatan rendah yang memperbesar permukaan seviks sampai dengan 10-40 kali dari ukuran normal. Pembesaran ini membantu mengidentifikasi daerah permukaan serviks yang menunjukkan abnormalitas (Maslim, 2007).<br />Keuntungan; dapat melihat jelas daerah yang bersangkutan sehingga mudah untuk melakukan biopsy.<br />Kelemahan: hanya dapat memeriksa daerah yang terlihat saja yaitu porsio, sedang kelainan pada skuamosa columnar junction dan intra servikal tidak terlihat.<br />4. Kolpomikroskopi<br />Melihat hapusan vagina (Pap Smear) dengan pembesaran sampai 200 kali<br />5. Biopsi<br />Jenis karsinoma dapat ditemukan atau ditentukan dengan biopsi.<br />6. Konisasi<br />Konisasi dilakukan dengan cara mengangkat jaringan yang berisi selaput lendir serviks dan epitel gepeng dan kelenjarnya. Konisasi dilakukan bila hasil sitologi meragukan dan pada serviks tidak tampak kelainan-kelainan yang jelas.<br />VI. KLASIFIKASI KLINIS<br />• Stage 0 : Ca pre invasif.<br />• Stage I : Ca terbatas pada serviks.<br />• Stage Ia : Disertai invasi dari stroma yang hanya diketahui secara histopatologis.<br />• Stage Ib : Semua kasus lainnya dari stage I.<br />• Stage II : Sudah menjalar keluar serviks tapi belum sampai kepanggul telah mengenai dinding vagina. Tapi tidak melebihi dua pertiga bagian proksimal.<br />• Stage III : Sudah sampai dinding panggul dan sepertiga bagian bawah vagina.<br />• Stage IIIB : Sudah mengenai organ-organ lain.<br />VII. PENATALAKSANAAN<br />1. Irradiasi.<br />• Dapat dipakai untuk semua stadium.<br />• Dapat dipakai untuk wanita gemuk tua dan pada medical risk.<br />• Tidak menyebabkan kematian seperti operasi.<br />Dosis: penyinaran ditujukan pada jaringan karsinoma yang terletak di serviks.<br />Komplikasi irradiasi:<br />• Kerentanan kandungan kencing.<br />• Diare.<br />• Perdarahan rektal.<br />• Fistula vesico atau rectovaginalis.<br />2. Operasi.<br />• Operasi Wentheim dan limfatektomi untuk stadium I dan II.<br />• Operasi Schauta, histerektomi vagina yang radikal.<br />3. Kombinasi.<br />• Irradiasi dan pembedahan.<br />Tidak dilakukan sebagai hal yang rutin, sebab radiasi menyebabkan bertambahnya vaskularisasi & odema. Sehingga tindakan operasi berikutnya dapat mengalami kesukaran dan sering menyebabkan fistula, disamping itu juga menambah penyebaran ke sistem limfe dan peredaran darah.<br />4. Cytostatika: Bleomycin, terapi terhadap karsinoma serviks yang radio resisten.<br />5% dari karsinoma serviks resisten terhadap radioterapi, dianggap resisten bila 8-10 minggu post terapi keadaan masih tetap sama.<br />VIII. ASUHAN KEPERAWATAN<br />a. Pengkajian.<br />Aktivitas/istirahat<br />Gejala: □ kelemahan dan/atau keletihan<br />□ perubahan pada pola istirahat dan jam kebiasaan tidur pada malam hari; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur mis., nyeri, ansietas, berkeringat malam.<br />□ keterbatasan partisipasi dalam hobi, latihan.<br />□ pekerjaan atau profesi dengan pemajanan karsinogen lingkungan, tingkat stres tinggi.<br />Sirkulasi <br />Gejala:<br />Kebiasaan: □ palpitasi, nyeri dada pengerahan kerja.<br />□ perubahan pada TD.<br />Integritas ego<br />Gejala:<br />Tanda: □ faktor stres (keuangan, pekerjaan, perubahan peran) dan cara menangani stres (mis., merokok, minum alkohol, menunda mencari pengobatan, keyakinan religius/spiritual).<br />□ masalah tentang perubahan dalam penampilan mis., alopesia, lesi cacat, pembedahan.<br />□ menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, putus asa, tidak mampu, tidak bermakna, rasa bersalah, kehilangan kontrol, depresi.<br />□ menyangkal, menarik diri, marah.<br />Eliminasi<br />Gejala: <br />Tanda: □ perubahan dalam pola defekasi mis., darah pada feses, nyeri pada defekasi.<br />□ perubahan eliminasi urinarius, mis., nyeri atau rasa terbakar pada saat berkemih, hematuria, sering berkemih.<br />□ perubahan pada bising usus, distensi abdomen.<br />Makanan/cairan<br />Gejala: <br />Tanda: □ kebiasaan diet buruk (mis., rendah serat, tinggi lemak, aditif, bahan pengawet).<br />□ anoreksia, mual/muntah.<br />□ intoleransi makanan.<br />□ perubahan pada BB; penurunan BB hebat, kaheksia, berkurangnya massa otot.<br />□ perubahan pada kelembaban/turgor kulit; edema.<br />Neurosensori<br />Gejala: □ pusing, sinkope.<br />Nyeri/kenyamanan<br />Gejala: □ tidak ada nyeri, atau derajat bervariasi mis., ketidaknyamanan ringan sampai nyeri berat (dihubungkan dengan proses penyakit).<br />Pernapasan<br />Gejala: □ merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok).<br />Keamanan<br />Gejala:<br />Tanda: □ pemajanan pada kimia toksik.<br />□ pemajanan matahari lama/berlebihan.<br />□ demam.<br />□ ruam kulit, ulserasi.<br />Seksualitas<br />Gejala: □ masalah seksual mis., dampak pada hubungan, perubahan pada tingkat kepuasan.<br />□ nuligravida lebih dari usia 30 tahun.<br />□ multigravida, pasangan seks multiple, aktivitas seksual dini. Herpes genital.<br />Interaksi sosial<br />Gejala: □ ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung.<br />□ riwayat perkawinan (berkenaan dengan kepuasaan di rumah, dukungan, atau bantuan).<br />□ masalah tentang fungsi/tanggung jawab peran.<br />Penyuluhan/pembelajaran<br />Gejala:<br />Pertimbangan:<br />Rencana pemulangan: □ riwayat kanker pada keluarga mis., ibu atau bibi dengan kanker serviks.<br />□ sisi primer: penyakit primer ditemukan/didiagnosis.<br />□ penyakit metastatic: sisi tambahan yang terlibat; bila tidak ada, riwayat alamiah dari primer akan memberikan informasi penting untuk mencari metastatik.<br />□ riwayat pengobatan: pengobatan sebelumnya untuk tempat kanker dan pengobatan yang diberikan.<br />Diagnosis menunjukkan rerata lama dirawat: tergantung pada sistem khusus yang terkena dan kebutuhan terapeutik. Rujuk pada sumber-sumber yang tepat.<br />Memerlukan bantuan dalam keuangan, obat-obatan/pengobatan, perawatan kanker/alat perawatan, transportasi, belanja makanan dan persiapan, perawatan diri, mengurus rumah/tugas pemeliharaan, pengawasan untuk perawatan anak, perubahan pada fasilitas tinggal/hospice.risda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2674685999395418367.post-90518586775880858112010-02-19T20:22:00.000-08:002010-02-19T20:24:15.857-08:00Apendiksitis<br /><br /><br />A. Pengertian<br />Apendiksitis adalah peradangan dari apendiks dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering (Mansjoer,2000).<br />Apendiksitis adalah radang apendiks, suatu tambahan seperti kantung yang tak berfungsi terletak pada bagian inferior dzri sekum. Penyebab yang paling umum dari apendisitis adalah abstruksi lumen oleh feses yang akhirnya merusak suplai aliran darah dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi (Wilson & Goldman, 1989).<br />Apendiksitis merupakan penyakit prototip yang berlanjut melalui peradangan, obstruksi dan iskemia di dalam jangka waktu bervariasi (Sabiston, 1995).<br />Apendiksitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001).<br />B. Etiologi<br />1. Menurut Syamsyuhidayat, 2004 :<br />o Fekalit/massa fekal padat karena konsumsi diet rendah serat.<br />o Tumor apendiks.<br />o Cacing ascaris.<br />o Erosi mukosa apendiks karena parasit E. Histolytica.<br />o Hiperplasia jaringan limfe.<br />2. Menurut Mansjoer , 2000 :<br />o Hiperflasia folikel limfoid.<br />o Fekalit.<br />o Benda asing.<br />o Striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya.<br />o Neoplasma.<br />3. Menurut Markum, 1996 :<br />o Fekolit<br />o Parasit<br />o Hiperplasia limfoid<br />o Stenosis fibrosis akibat radang sebelumnya<br />o Tumor karsinoid<br />C. Patofisiologi<br /><br />Menurut Mansjoer, 2000:<br />Apendiksitis biasa disebabkan oleh adanya penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Feses yang terperangkap dalam lumen apendiks akan menyebabkan obstruksi dan akan mengalami penyerapan air dan terbentuklah fekolit yang akhirnya sebagai kausa sumbatan. Obstruksi yang terjadi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukus. Pada saat ini terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Sumbatan menyebabkan nyeri sekitar umbilicus dan epigastrium, nausea, muntah. invasi kuman E Coli dan spesibakteroides dari lumen ke lapisan mukosa, submukosa, lapisan muskularisa, dan akhirnya ke peritoneum parietalis terjadilah peritonitis lokal kanan bawah.Suhu tubuh mulai naik.Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di area kanan bawah. Keadaan ini yang kemudian disebut dengan apendisitis supuratif akut.<br />Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark diding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh pecah, akan menyebabkan apendisitis perforasi.<br />Bila proses tersebut berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut akan menyebabkan abses atau bahkan menghilang.<br />Pada anak-anak karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan demikian ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.<br />Tahapan Peradangan Apendisitis<br />1. Apendisitis akuta (sederhana, tanpa perforasi)<br />2. Apendisitis akuta perforate ( termasuk apendisitis gangrenosa, karena dinding apendiks sebenarnya sudah terjadi mikroperforasi)<br />D. Manifestasi Klinik<br />1. Menurut Betz, Cecily, 2000 :<br />o Sakit, kram di daerah periumbilikus menjalar ke kuadran kanan bawah<br />o Anoreksia<br />o Mual<br />o Muntah,(tanda awal yang umum, kuramg umum pada anak yang lebih besar).<br />o Demam ringan di awal penyakit dapat naik tajam pada peritonotis.<br />o Nyeri lepas.<br />o Bising usus menurun atau tidak ada sama sekali.<br />o Konstipasi.<br />o Diare.<br />o Disuria.<br />o Iritabilitas.<br />o Gejala berkembang cepat, kondisi dapat didiagnosis dalam 4 sampai 6 jam setelah munculnya gejala pertama.<br />2. Manifestasi klinis menurut Mansjoer, 2000 :<br />Keluhan apendiks biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilicus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual, dan muntah. Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen bawah akan semakin progresif, dan denghan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri maksimal. Perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri. Nyeri lepas dan spasme biasanya juga muncul. Bila tanda Rovsing, psoas, dan obturatorpositif, akan semakin meyakinkan diagnosa klinis.<br />Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari : Mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bisa secara mendadak dimulai di perut sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah. Setelah beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam. Demam bisa mencapai 37,8-38,8° Celsius.<br />Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut. Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus buntu pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok.<br />E. Komplikasi<br />1. Menurut Hartman, dikutip dari Nelson, 1994 :<br />o Perforasi.<br />o Peritonitis.<br />o Infeksi luka.<br />o Abses intra abdomen.<br />o Obstruksi intestinum.<br />2. Menurut Mansjoer, 2000 :<br />Apendiksitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi peyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut.<br />Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise, leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah terjadi sejak klien pertam akali datang, diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti.<br />Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang : tirah baring dalam posisi fowler medium, pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian antibiotik berspektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan kultur, transfusi utnuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septik secara intensif, bila ada.<br />Bila terbentuk abses apendiks akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung menggelembung ke arah rektum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan kombinasi antibiotik (misalnya ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau klindamisin). Dengan sediaan ini abses akan segera menghilang, dan apendiktomi dapat dilakaukan 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segera dilakukan drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rektum atau vagina dengan fruktuasi positif juga perlu dibuatkan drainase.<br />Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi yang letal. Hal ini harus dicurigai bila ditemukan demam sepsis, menggigil, hepatomegali, dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks. Pada keadaan ini diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi dengan drainase. Komplikasi lain yang terjadi ialah abses subfrenikus dan fokal sepsis intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.<br />F. Pemeriksaan<br /><br />Pemeriksaan menurut Betz(2002), Catzel(1995), Hartman(1994), antara lain :<br />1. Anamnesa<br />Gejala apendisitis ditegakkan dengan anamnese, ada 4 hal yang penting adalah :<br />o Nyeri mula-mula di epigastrium (nyeri viseral) yang beberapa waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah.<br />o Muntah oleh karena nyeri viseral.<br />o Panas (karena kuman yang menetap di dinding usus).<br />o Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak sakit, menghindarkan pergerakan, di perut terasa nyeri.<br />2. Pemeriksaan Radiologi<br />Pemeriksaan radiologi pada foto tidak dapat menolong untuk menegakkan diagnosa apendisitis akut, kecuali bila terjadi peritonitis, tapi kadang kala dapat ditemukan gambaran sebagai berikut: Adanya sedikit fluid level disebabkan karena adanya udara dan cairan. Kadang ada fecolit (sumbatan). pada keadaan perforasi ditemukan adanya udara bebas dalam diafragma.<br />3. Laboratorium<br />Pemeriksaan darah : lekosit ringan umumnya pada apendisitis sederhana lebih dari 13000/mm3 umumnya pada apendisitis perforasi. Tidak adanya lekositosis tidak menyingkirkan apendisitis. Hitung jenis: terdapat pergeseran ke kiri. Pemeriksaan urin : sediment dapat normal atau terdapat lekosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika. Pemeriksaan laboratorium Leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang.<br />Pada apendisitis akut dan perforasi akan terjadi lekositosis yang lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat. Urine rutin penting untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal.<br />G. Penatalaksanaan<br /><br />Penatalaksanaan apendiksitis menurur Mansjoer, 2000 :<br />1. Sebelum operasi<br />o Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi<br />o Pemasangan kateter untuk control produksi urin.<br />o Rehidrasi<br />o Antibiotic dengan spectrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena.<br />o Obat-obatan penurun panas, phenergan sebagai anti menggigil, largaktil untuk membuka pembuluh – pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi tercapai.<br />o Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi.<br />2. Operasi<br />o Apendiktomi.<br />o Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforasi bebas,maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika.<br />o Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV,massanya mungkin mengecil,atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari. Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah 6 minggu sampai 3 bulan.<br />3. Pasca operasi<br />o Observasi TTV.<br />o Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah.<br />o Baringkan pasien dalam posisi semi fowler.<br />o Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama pasien dipuasakan.<br />o Bila tindakan operasilebih besar, misalnya pada perforasi, puasa dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal.<br />o Berikan minum mulai15ml/jam selama 4-5 jam lalu naikan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.<br />o Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2x30 menit.<br />o Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.<br />o Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.<br /><br />Pada keadaan massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif yang ditandai dengan :<br />o Keadaan umum klien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi<br />o Pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat tanda-tanda peritonitis<br />o Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat pergeseran ke kiri.<br /><br />Sebaiknya dilakukan tindakan pembedahan segera setelah klien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tiggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi.<br /><br />Pada keadaan massa apendiks dengan proses radang yang telah mereda ditandai dengan :<br />o Umumnya klien berusia 5 tahun atau lebih.<br />o Keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak tinggi lagi.<br />o Pemeriksaan lokal abdomen tidak terdapat tanda-tanda peritonitis dan hanya teraba massa dengan jelas dan nyeri tekan ringan.<br />o Laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.<br /><br />Tindakan yang dilakukan sebaiknya konservatif dengan pemberian antibiotik dan istirahat di tempat tidur. Tindakan bedah apabila dilakukan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut.Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau tanpa peritonitis umum.risda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2674685999395418367.post-65010809463848040112010-02-19T20:21:00.000-08:002010-02-19T20:22:49.942-08:00PERAWATAN NEONATUS<br />DARI IBU DIABETES<br />II.1 DEFINISI<br />Bayi dari ibu diabetes adalah bayi yang dilahirkan dari ibu penderita diabetes. Satu dari 500-1000 wanita hamil adalah penderita diabetes, dan satu dari 120 kehamilan adalah gestasional diabetes.<br />II.2 PATO FISIOLOGI<br />Diabetes pada ibu hamil dapat menyebabkan berbagai gangguan pada bayi yang dilahirkannya. Gangguan tersebut antara lain :<br /> Hipoglikemia. Ibu diabetes akan mengalami hiperglikemia. Hiper glikemia ibu ini juga menyebabkan hiperglikemia pada janin (difusi lelalui plasenta). Bila glukosa dapat berdifusi melalui plasenta, sebaliknya insulin ibu tidak dapat ditransfer kejanin. Hal ini menybabkan pangkreas janin terangsang untuk memproduksi insulin sendiri. Hasilnya adalah hiperinsulinemia pada janin. Segera setelah lahir terjadi pemutusan aliran darah ibu kejanin, akibatnya suplai glukosa dari ibu juga terhenti. Namun, insulin masih tetap diproduksi oleh pancreas bayi sebagai adaptasi terhadap kondisi hiperglikemia sebelumnya. Hal ini yang menyebabkan hipoglikemia pada bayi yang baru lahir.<br /> Makrosomia. Bayi dari ibu diabetes cenderung lebih besar dan montok daripada bayi yang lahir normal. Mekanisme yang menyebabkan janin ini tumbuh berlebih belum diketahui dengan pasti. Akan tetapi, dari beberapa penelitian didapatkan ada kolerasi positif antara tingkat makrosomia janin pada ibu yang tidak mengalami konflikasi penyakit vaskuler. Hal tersebut dimungkinkan karena hiperglikemia dan hiperinsulinemia pada janin secara bersama-sama dapat menyebabkan peningkatan sintesis glikogen, lipogenesis dan sintesis protein dalam tubuh janin.sebagai hasil akhirnya, janin tumbuh subur/pesat pada semua tingkat usia kehamilan yang disebut large for gestational age (LGA). <br /> Respiratory distress syindrome (RDS). Bayi dari ibu diabetes mempunyai risiko tinggi mengalami RDS. Hal ini berkaitan dengan imaturitas paru sebagai akibat hiperinsulinemia janin. Hiperinsulinemia menghambat produksi surfaktan karena hiperinsulinemia empengaruhi perbandingan lesitin dengan spingomielin yang merupakan unsur utama pembentukan surfaktan.<br /> Anomaly congenital. Bayi dari ibu diabetes mempunyai risiko tiga kali lebih besar untuk mengalami cacat bawaan. Satu penelitian mengindikasi bahwa kadar glikosilat hemoglobin yang lebih tinggi pada pasien non-gestasional diabetes yang berhubungan dengan adanya cacat bawaan yang umum seperti hidrosefalus. Kadar gula darah yang meningkat selama trimester pertama dihubungkan dengan banyaknya kelainan malformasi fetal, seperti kelainan jantung bawaan.<br /> Hiperbilirubinemia. Hiperbilirubinemia ini bisa terjadi dihubungkan dengan makrosomia, trauma kelahiran dan pendarah akibat trauma kelahiran dan prematuritas (fungsi hepar imatur).<br /> Hipokalsemia.Hipokalsemia ini akibat ktidak normalan pada kadar kalsium ibu yang disalurkan pada janin. Kadar kalsium dalam darah ibu yang tinggi selama kehamilan (diabetes) direspon oleh janin berupa hipoparatiroid yang kemudian menyebabkan hipo kalsemia.<br /> Trauma lahir. Hal ini terjadi akibat tubuh bayi dari ibu diabetes yang melebihi ukuran normal sehingga sering terjadi penyulit pada proses persalinan.<br />II.3 MANIFESTASI KLINIS<br />Bayi cenderung montok dan besar akibat bertambahnya lemak tubuh. Gejala klinis yang sering ditemukan dan merupakan cirri khas bayi hipoglikemia adalah tremor, lertargi, malas minum, serta gejala lain yaitu hiperpnea, apnea, sianosis, pernafasan berat, kejang, apatis, hipotonin, iritabilitas, tangisan melengking. Pada pemeriksaan diagnostik akan ditemukan peningkatan kadar gula darah, kadar kalsiun serum <7mg/ml><br />II.4 PENATALAKSANAAN<br />Setelah lahir, semua bayi yang lahir dari ibu dibetes harus mendapat pengamatan dan perawatan intensif. Adapun penatalaksanaan umum yang dilakukan adalah:<br />a. Periksa adar gula darah bayi segera setelah lahir. Selanjutnya, control setiap jam sampai kadar gula darah normal dan stabil.<br />b. Jika kondisi bayi baik, berikan minuman setelah 2-3 jam kelahiran. Jika bayi sulit mengisap, beri makanan melalui intravena.<br />c. Mengatasi hipoglikemia dengan cara member infuse glukosa 10% , injeksi bolus glukosa kadar tinggi harus dihindarkan karena dapat menyebabkan hiper insulinemia.<br />II.5 ASUHAN KEPERAWATAN<br />II.5.1 Pengkajian keperawatan<br />Pengkajian yang dilakukan terhadap bayi dari ibu diabetes adalah mengkaji tanda RDS, hiperbilirubinemia, trauma lahir, kelainan kongenital, hipokalsemia. Pengkajian keperawatan yang cermat dan terus menerus serta perawatan yang intensif sangat penting dalam penurunan bahaya potensial. <br />II.5.2 Diagnosa keperawatan<br />Diagnose utama pada bayi dari ibu diabetes adalah :<br /> Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan peningkatan metabolisem glukosa (hiperinsulinemia).<br /> Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan distres pernafasan sekunder akibat gangguan produksi surfaktan.<br /> Koping keluarga tidak efektif yang berhubungan dengan penyakit bayi.<br />II.5.3 Rencana keperawatan<br /> Peningkatan kesehatan fisik, asuhan keperawatan bayi dari ibu diabetes diarahkan pada deteksi dini dan pemantauan yang terus menerus terhadap hipoglikemia (dengan cara tes glukosa), distres pernafasan, dan hiperbilirubinemia.<br /> Intervensi keperawatan secara spesifik terhadap RDS, hipoglikemia, hiperbilirubinemia, dan hipokalsemia akan dibahas secara khusus.<br /> Peningkatan adaptasi keluarga. Perawat member peyuluhan kepada orang tua tentang pencegahan makrosomia. Dengan cara pengontrolan dini dan terus menerus terhadap penyakit diabetes yang diderita ibu.<br /> Orang tua yang menjalankan nasihat dengan melaksanakan identifikasi dan perawatan dini, secara umum bayinya tidak mengalami masalah yang berarti.<br />II.5.4 Evaluasi keperawatan<br />Hasil yang diharapkan untuk setiap rencana dan implementasi rencana keperawatan adalah :<br /> Bayi tidak mengalami RDS dan perubahan metabolism berarti <br /> Orangtua memahami penyebab masalah kesehatan pada bayi dan langkah pencegahan yang cepat dimulai untuk menurunkan dampak diabetes dari ibu pada bayi.<br /> Orang tua menyatakan perhatiannya terhadap masalah bayi dan memahami alasan yang melatar belakangi manajemen (penatalaksanaan) yang dilakukan terhadap bayi mereka.risda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2674685999395418367.post-90348814863741509792010-02-19T20:19:00.000-08:002010-02-19T20:20:25.017-08:00ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN KELAINAN JANTUNG KONGENITAL<br />A. Definisi<br />Yang dimaksud dengan kelainan jantung kongenital adalah kelainan structural dan atau pembuluh darah besar intrathorakal yang dapat menimbulkan gangguan fungsi kardiovaskuler.<br />B. Etiologi<br />Penyebab terjadinya KJK belum dapat diketahui secara pasti tetapi beberapa factor diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian KJK.<br /><br />RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN<br />No. Diagnosa Keperawatan Tujuan Perencanaan<br />1. Gangguan perfusi jaringan b.d penurunan cardiac output. Gangguan perfusi jaringan teratasi dalam waktu 3×24 jam.<br />Kriteria hasil :<br />- RR 30-60 x/mnt<br />Nadi 120-140x/mnt.<br />- Suhu 36,5-37 C<br />- Sianosis (_)<br />- Ekstremitashangat § Observasi frekwensi dan bunyi jantung <br />§ Observasi adanya sianosis.<br />§ Beri oksigen sesuai kebutuhan <br />§ Kaji kesadaran bayi<br />§ Observasi TTV.<br />§ Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian therapy.<br />2. Inefektif pola nafas b.d akumulasi secret. Pola nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan 1×24 jam <br />Kriteria hasil :<br />- RR 30-60 x/mnt<br />- Sianosis (-)<br />- Sesak (-)<br />- Ronchi (-)<br />- Whezing (-) § Observasi pola nafas <br />§ Observasi frekuensi dan bunyi nafas <br />§ Tempatkan kepala pada posisi hiperekstensi<br />§ Observasi adanya sianosis.<br />§ Lakukan suction <br />§ Monitor dengan teliti hasil pemeriksaan gas darah.<br />§ Beri O2 sesuai program <br />§ Atur ventilasi ruangan tempat perawatan klien.<br />§ Observasi respon bayi terhadap ventilator dan terapi O2<br />§ Kolaborasi dengan tenaga medis lainnya.<br />3 Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d intake yang tidak adekuat Kebutuhan nutrisi terpenuhi setelah 3×24 Jam.<br />Kriteria hasil :<br />- Tidak terjadi penurunan BB>15%<br />- Muntah (-)<br />- Bayi dapat minum dengan baik. § Observasi intake dan output<br />§ Observasi reflek menghisap dan menelan bayi.<br />§ Kaji adanya sianosis pada saat bayi minum.<br />§ Pasang NGT bila diperlukan.<br />§ Beri nutrisi sesuai kebutuhan bayi<br />§ Timbang BB tiap hari.<br />§ Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian therapy.<br />§ Kolaborasi dengan tim gizi untuk pemberian diit bayi.<br />4. Kecemasan ortu b.d kurang pengetahuan tentang kondisi bayinya. Kecemasan berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 1×24 jam <br />Kriteria hasil :<br />- Orang tua mengerti tujuan yang dilakukan dalam pengobatan therapy.<br />- Orangtua tampak tenang.<br />- Orang tua berpartisipasi dalam pengobatan § Jelaskan tentang kondisi bayi .<br />§ Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan penjelasan tentang penyakit dan tindakan yang akan dilakukan berkaitan dengan penyakit yang diderita bayi.<br />§ Libatkan orangtua dalam perawatan bayi.<br />§ Berikan support mental <br />§ Berikan reinforcement atas pengertian orangtua.<br />5. Resiko infeksi tali pusat b.d invasi kuman patogem. Infeksi tali pusat tidak terjadi dalam waktu 3×24 jam <br />Kriteria hail :<br />- Suhu 36-37 C<br />- Tali pusat kering dan tidak berbau.<br />- Tidak ada tanda-tanda infeksi pada tali pusat. § Lakukan tehnik aceptic dan antiseptic pada saat memotong tali pusat.<br />§ Jaga kebersihan daerah tali pusat dan sekitarnya.<br />§ Mandikan bayi dengan air bersih dan hangat.<br />§ Observasi adanya perdarahan pada tali pusat<br />§ Cuci tali pusat dengan sabun dan segera keringkan bila tali pusat kotor atau terkena feses.<br />§ Observasisuhu bayirisda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2674685999395418367.post-333059138641279352010-02-19T20:17:00.000-08:002010-02-19T20:18:16.921-08:00ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN DENGAN RDS<br /><br />A. Definisi<br />RDS Adalah gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature dengan tanda-tanda takipnue (>60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara kamar, yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik. Tanda-tanda klinik sesuai dengan besarnya bayi, berat penyakit, adanya infeksi dan ada tidaknya shunting darah melalui PDA (Stark, 1986).<br />B. Patofisiologi<br />Pada RDS terjadi atelektasis yang sangat progresif, yang disebabkan kurangnya zat yang disebut surfaktan. Surfaktan adalah zat aktif yang diproduksi sel epitel saluran nafas disebut sel pnemosit tipe II. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24 minggu dan mencapai max pada minggu ke 35. Zat ini terdiri dari fosfolipid (75%) dan protein (10%). Peranan surfaktan ialah merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu menahan sisa udara fungsional pada sisa akhir expirasi. Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis.<br />Hipoksia akan menyebabkan terjadinya :<br />1. Oksigenasi jaringan menurun>metabolisme anerobik dengan penimbunan asam laktat asam organic>asidosis metabolic.<br />2. Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris>transudasi kedalam alveoli>terbentuk fibrin>fibrin dan jaringan epitel yang nekrotik>lapisan membrane hialin.<br />3. Asidosis dan atelektasis akan menyebabkan terganggunya jantun, penurunan aliran darah keparum, dan mengakibatkan hambatan pembentukan surfaktan, yang menyebabkan terjadinya atelektasis.<br />4. Sel tipe II ini sangat sensitive dan berkurang pada bayi dengan asfiksia pada periode perinatal, dan kematangannya dipacu dengan adanya stress intrauterine seperti hipertensi, IUGR dan kehamilan kembar.<br />C. Gambaran Klinis<br />RDS mungkin terjadi pada bayi premature dengan berat badan <1000><br />Tanda-tanda gangguan pernafasan berupa :<br />• Dispnue/hipernue<br />• Sianosis<br />• Retraksi suprasternal / epigastrik / intercostals<br />• Grunting expirasi<br />Didapatkan gejala lain seperti :<br />• Bradikardi<br />• Hipotensi <br />• Kardiomegali<br />• Edema terutama didaerah dorsal tangan atau kaki<br />• Hipotermi<br />• Tonus otot yang menurun<br />Gambaran radiology : bercak-bercak difus berupa infiltrate retikulogranular disertai dengan air bronkogram.<br />D. Diagnosa Keperawatan<br />1. Inefektif pola nafas b.d adanya penumpukan lendir pada jalan nafas.<br />2. Gangguan perfusi jaringan b.d kurangnya oksigenasi keotak<br />3. Defisit volume cairan b.d meningkatnya metabolisme <br />4. Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d intake yang tidak adekuat <br />5. Resiko terjadinya infeksi pada tali pusat b.d invasi kuman patogen kedalam tubuh <br />6. Kecemasan ortu b.d kurang pengetahuan ortu tentang kondisi bayi.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />E. Rencana Asuhan Keperawatan <br />No Diagnosa Keperawatan Tujuan Perencanaan<br />1. Inefektif pola nafas b.d adanya penumpukan lendir pada jalan nafas Pola nafas efektif Kriteria hasil : RR 30-60 x/mnt, Sianosis (-), Sesak (-), Ronchi (-), Whezing (-) a. Observasi pola nafas<br />b. Observasi frekuensi bunyi nafas<br />c. Tempatkan kepala pada posisi hiperekstensi.<br />d. Observasi adanya sianosis.<br />e. Lakukan suction.<br />f. Monitor dengan teliti hasil pemeriksaan gas darah.<br />g. Beri O2 sesuai program.<br />h. Atur ventilasi ruangan tempat perawatan klien.<br />i. Observasi respon bayi terhadap ventilator dan terapi O2.<br />j. Kolaborasi dengan tenaga medis lainnya.<br />2 Gangguan perfusi jaringan b.d kurangnya oksigenasi keotak Gangguan perfusi jaringan teratasi Kriteria hasil : RR 30-60x/mnt, Nadi 120-140, Suhu 36,5-37 C, Sianosis (-), Ekstremitas hangat a. Observasi frekwensi dan bunyi jantung.<br />b. Observasi adanya sianosis.<br />c. Beri oksigen sesuai kebutuhan<br />d. Kaji kesadaran bayi<br />e. Observasi TTV<br />f. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian therapy.<br />3. Resiko Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d. intake yang tidak adekuat Kebutuhan nutrisi terpenuhi <br />Kriteria hasil :Tidak terjadi penurunan BB> 15 %, Muntah (-), Bayi dapat minum dengan baik a. Observasi intake dan output.<br />b. Observasi reflek menghisap dan menelan bayi.<br />c. Kaji adanya sianosis pada saat bayi minum.<br />d. Pasang NGT bila diperlukan <br />e. Beri nutrisi sesuai kebutuhan bayi.<br />f. Timbang BB tiap hari.<br />g. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian therapy.<br />h. Kolaborasi dengan tim gizi untuk pemberian diit bayi<br />4. Kecemasan Ortu b.d kurang pengetahuan tentang kondisi bayinya. Kecemasan berkurang<br />Kriteria hasil :<br />Orang tua mengerti tujuan yang dilakukan dalam pengobatan therapy, Orang tua tampak tenang, Orang tua berpartisipasi dalam pengobatan. a. Jelaskan tentang kondisi bayi.<br />b. Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan penjelasan tentang penyakit dan tindakan yang akan dilakukan berkaitan dengan penyakit yang diderita bayi.<br />c. Libatkan orang tua dalam perawatan bayi.<br />d. Berikan support mental.<br />e. Berikan reinforcement atas pengertian orang tua.<br />5. Resiko infeksi tali pusat b.d invasi kuman patogen. Infeksi tali pusat tidak terjadi.<br />Kriteria hasil :<br />Suhu 36-37 C, Tali pusat kering dan tidak berbau, Tidak ada tanda-tanda infeksi pada tali pusat. a. Lakukan tehnik aseptic dan antiseptic pada saat memotong tali pusat.<br />b. Jaga kebersihan daerah tali pusat dan sekitarnya.<br />c. Mandikan bayi dengan air bersih dan hangat.<br />d. Observasi adanya perdarahan pada tali pusat.<br />e. Cuci tali pusat dengan sabun dan segera keringkan bila tali pusat kotor atau terkena feses.<br />f. Observasi suhu bayi.<br />6. Devisit volume cairan b.d metabolisme yang meningkat. Volume cairan terpenuhi <br />Kriteria hasil :<br />Suhu 36-37 C, Nadi 120-140x/mnt,Turgor kulit baik. a. Observasi suhu dan nadi.<br />b. Berikan cairan sesuai kebutuhan.<br />c. Observasi tetesan infus.<br />d. Observasi adanya tanda-tanda dehidrasi atau overhidrasi.<br />e. Kolaborasi pemberian therapy.risda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2674685999395418367.post-90687840808200575222010-02-19T20:16:00.001-08:002010-02-19T20:16:55.609-08:00ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT ( ISPA )<br /><br />I. PENGERTIAN<br />ISPA sering disalah artikan sebagai infeksi saluran pernapasan atas. Yang benar ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut. ISPA meliputi saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah<br />ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari. Yang dimaksud dengan saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung sampai gelembung paru, beserta organ-organ disekitarnya seperti : sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru.<br />Infeksi Saluran Pernapasan Akut adalah infeksi akut yang terjadi pada saluran napas termasuk adneksanya. Akut adalah berlangsung sampai 14 hari, Adneksa yaitu sinus,rongga telinga dan pleura.<br />Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik, namun demikian anak akan menderita pneumoni bila infeksi paru ini tidak diobati dengan antibiotik dapat mengakibat kematian.<br />Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2 golongan yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu pneumonia berat dan pneumonia tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti rinitis, faringitis, tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia. Etiologi dari sebagian besar penyakit jalan napas bagian atas ini ialah virus dan tidak dibutuhkan terapi antibiotik. Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan pada balita. Bila ditemukan harus diobati dengan antibiotik penisilin, semua radang telinga akut harus mendapat antibiotic.<br />ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasannya.<br />Kelainan pada sistem pernapasan terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan bawah, asma dan ibro kistik, menempati bagian yang cukup besar pada lapangan pediatri. Infeksi saluran pernapasan bagian atas terutama yang disebabkan oleh virus, sering terjadi pada semua golongan masyarakat pada bulan-bulan musim dingin.<br /><br />II. KLASIFIKASI<br />Secara anatomis yang termasuk Infeksi saluran pernapasan akut :<br />ISPA atas : Rinitis, faringitis,Otitis<br />ISPA bawah : Laringitis ,bronchitis,bronkhiolitis,pneumonia.<br /><br />III. ETIOLOGI<br />1. Virus Utama : – ISPA atas : Rino virus ,Corona Virus,Adeno virus,Entero Virus<br />- ISPA bawah : RSV,Parainfluensa,1,2,3 corona virus,adeno virus<br />2. Bakteri Utama : Streptococus,pneumonia,haemophilus influenza,Staphylococcus aureus<br />3. Pada neonatus dan bayi muda : Chlamidia trachomatis, pada anak usia sekolah : Mycoplasma pneumonia.<br /><br />IV. FAKTOR RESIKO<br />Faktor diri (host) : umur,jenis kelamin,status gizi,kelainan congenital,imunologis,BBLR dan premature.<br />Faktor lingkungan : Kualitas perawatan orang tua,asap rokok,keterpaparan terhadap infeksi,social ekonomi,cuaca dan polusi udara.<br /><br />V. PATOFISIOLOGI<br />Perjalanan alamiah penyakit ISPA dibagi 4 tahap yaitu :<br />1. Tahap prepatogenesis : penyuebab telah ada tetapi belum menunjukkan reaksi apa-apa<br />2. Tahap inkubasi : virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya rendah.<br />3. Tahap dini penyakit : dimulai dari munculnya gejala penyakit,timbul gejala demam dan batuk. Tahap lanjut penyaklit,dibagi menjadi empat yaitu dapat sembuh sempurna,sembuh dengan atelektasis,menjadi kronos dan meninggal akibat pneumonia.<br /><br />JENIS – JENIS ISPA<br />Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai berikut:<br />• Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada kedalam (chest indrawing).<br />• Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat. <br />• Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas cepat. Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia <br />Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat dibuat suatu klasifikasi penyakit ISPA. Klasifikasi ini dibedakan untuk golongan umur dibawah 2 bulan dan untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun. <br />Untuk golongan umur kurang 2 bulan ada 2 klasifikasi penyakit yaitu : <br />• Pneumonia berada: diisolasi dari cacing tanah oleh Ruiz dan kuat dinding pada bagian bawah atau napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan yaitu 60 kali per menit atau lebih. <br /><br />• Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau napas cepat. <br />Untuk golongan umur 2 bu~an sampai 5 tahun ada 3 klasifikasi penyakit yaitu : <br />• Pneumonia berat: bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam pada waktu anak menarik napas (pada saat diperiksa anak harus dalam keadaan tenang tldak menangis atau meronta). <br />• Pneumonia: bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah untuk usia 2 -12 bulan adalah 50 kali per menit atau lebih dan untuk usia 1 -4 tahun adalah 40 kali per menit atau lebih. <br />• Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat. <br /><br />3. TANDA – TANDA BAHAYA<br />Pada umumnya suatu penyakit saluran pernapasan dimulai dengan keluhan-keluhan dan gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernapasan dan mungkin meninggal. Bila sudah dalam kegagalan pernapasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan pernapasan. <br />Tanda-tanda bahaya dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan tanda-tanda laboratoris. <br /><br />Tanda-tanda klinis <br /><br />• Pada sistem respiratorik adalah: tachypnea, napas tak teratur (apnea), retraksi dinding thorak, napas cuping hidung, cyanosis, suara napas lemah atau hilang, grunting expiratoir dan wheezing. <br />• Pada sistem cardial adalah: tachycardia, bradycardiam, hypertensi, hypotensi dan cardiac arrest. <br />• Pada sistem cerebral adalah : gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, papil bendung, kejang dan coma. <br />• Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak. <br /><br />Tanda-tanda laboratoris <br />• hypoxemia, <br />• hypercapnia dan <br />• acydosis (metabolik dan atau respiratorik)<br />Tanda-tanda bahaya pada anak golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun adalah: tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor dan gizi buruk, sedangkan tanda bahaya pada anak golongan umur kurang dari 2 bulan adalah: kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun ampai kurang dari setengah volume yang biasa diminumnya), kejang, kesadaran menurun, stridor, Wheezing<br /><br />4. PENATALAKSANAAN KASUS ISPA <br /><br />Penemuan dini penderita pneumonia dengan penatalaksanaan kasus yang benar merupakan strategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan program (turunnya kematian karena pneumonia dan turunnya penggunaan antibiotik dan obat batuk yang kurang tepat pada pengobatan penyakit ISPA) . <br />Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan petunjuk standar pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak mengurangi penggunaan antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek biasa, serta mengurangi penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat. Strategi penatalaksanaan kasus mencakup pula petunjuk tentang pemberian makanan dan minuman sebagai bagian dari tindakan penunjang yang penting bagi pederita ISPA. <br /><br />Penatalaksanaan ISPA meliputi langkah atau tindakan sebagai berikut :<br /> Upaya pencegahan <br />Pencegahan dapat dilakukan dengan : <br />• Menjaga keadaan gizi agar tetap baik. <br />• Immunisasi. <br />• Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan. <br />• Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA. <br /><br /> Pengobatan dan perawatan<br />Prinsip perawatan ISPA antara lain :<br />• Menigkatkan istirahat minimal 8 jam perhari<br />• Meningkatkan makanan bergizi<br />• Bila demam beri kompres dan banyak minum<br />• Bila hidung tersumbat karena pilek bersihkan lubang hidung dengan sapu tangan yang bersih<br />• Bila badan seseorang demam gunakan pakaian yang cukup tipis tidak terlalu ketat.<br />• Bila terserang pada anak tetap berikan makanan dan ASI bila anak tersebut masih menetek <br /><br />Pengobatan antara lain :<br /><br />• Mengatasi panas (demam) dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es). <br />• Mengatasi batuk <br />Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional yaitu jeruk nipis ½ sendok teh <br />dicampur dengan kecap atau madu ½ sendok teh , diberikan tiga kali sehari. <br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />• DepKes RI. Direktorat Jenderal PPM & PLP. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Jakarta. 1992.<br /><br />• Lokakarya Dan Rakernas Pemberantasan Penyakit Infeksi saluran pernapasan akut. 1992<br /><br />• Doenges, Marlyn E . Rencana Asuhan Keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien<br /><br />• Alih bahasa I Made Kariasa. Ed 3. Jakarta: EGC.1999<br />PENGKAJIAN :<br /><br />I. IDENTITAS PASIEN<br /><br />Nama : <br />Umur : <br />Jenis kelamin : <br />Agama : <br />Suku : <br />Pekerjaan :<br />Status perkawinan :<br />Tanggal MRS : <br />Pengkajian :<br />Penanggung jawab : <br />Regester : <br />Diagnosa masuk : <br />Alamat :<br /><br />II. RIWAYAT KESEHATAN<br /><br />Keluhan Utama<br />Klien mengeluh demam, batuk , pilek, sakit tenggorokan<br /><br />Riwayat penyakit sekarang<br />2 hari sebelumnya klien mengalami demam mendadak, sakit kepala, badan lemah, nyeri otot dan <br />Dan sendi, nafsu makan menurun, batuk,pilek dan sakit tenggorokan. <br /><br /> Riwayat penyakit dahulu<br />Kilen sebelumnya sudah pernah mengalami penyakit sekarang<br /><br /> Riwayat penyakit keluarga<br />Menurut pengakuan klien,anggota keluarga ada juga yang pernah mengalami sakit seperti penyakit klien tersebut<br /><br /> Riwayat sosial<br />Klien mengatakan bahwa klien tinggal di lingkungan yang berdebu dan padat penduduknya<br /><br /><br />III. PEMERIKSAAN FISIK<br /><br />Pemeriksaan fisik di fokuskan pada pengkajian sistem pernapasan :<br /><br /> Pengkajian tanda – tanda vital dan kesadaran klien<br /> Inspeksi :<br /><br />• Membran mucosa hidung faring tampak kemerahan<br />• Tonsil tanpak kemerahan dan edema<br />• Tampak batuk tidak produktif<br />• Tidak ada jaringna parut pada leher<br />• Tidak tampak penggunaan otot- otot pernapasan tambahan,pernapasan cuping hidung, tachypnea, dan hiperventilasi<br /><br /><br /> Palpasi<br />• Adanya demam<br />• Teraba adanya pembesaran kelenjar limfe pada daerah leher / nyeri tekan pada nodus limfe servikalis<br />• Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tyroid<br /><br /> Perkusi<br />• Suara paru normal (resonance)<br /><br /> Auskultasi<br />• Suara napas vesikuler / tidak terdengar ronchi pada kedua sisi paru<br /><br /><br />IV. PEMERIKSAASN PENUNJANG<br /><br />• Tanggal : <br />• HB : <br />• LED :<br />• Hematokrit : <br />• Trombosit : <br />• MCV : <br />• MCH : <br />• MCHC : <br />• Diff Count : <br />• Urien PH : <br />• Ureum : <br />• Kreatinin : <br />• SGOT : <br />• SGPT : <br />• Na : <br />• Kalium : <br />• Cl : <br />• AGD :<br />• PCO2 : <br />• Radiologi :<br />• ECG :<br /><br /><br /><br /><br /><br />DIAGNOSA KEPERAWATAN :<br /><br />I. Peningkatan suhu tubuh bd proses inspeksi<br /><br />Tujuan : Suhu tubuh normal berkisar antara 36 – 37, 5 ‘ C<br /><br />INTERVENSI <br /><br />1.Observasi tanda – tanda vital<br /><br />2.Anjurkan pada klien/keluarga umtuk melakukan kompres dingin ( air biasa) pada kepala / axial.<br /><br /><br />3.Anjurkan klien untuk menggunakan pakaian yang tipis dan yang dapat menyerap keringat seperti terbuat dari katun.<br /><br />4.Atur sirkulasi udara.<br /><br />5.Anjurkan klien untuk minum banyak ± 2000 – 2500 ml/hr.<br /><br />6.Anjurkan klien istirahat ditempat tidur selama fase febris penyakit.<br />7.Kolaborasi dengan dokter :<br />• Dalm pemberian therapy, obat antimicrobial<br />• antipiretika <br /><br />RASIONALISASI<br /><br />1.Pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan perkembangan perawatan selanjutnya.<br /><br />2.Degan menberikan kompres maka aakan terjadi proses konduksi / perpindahan panas dengan bahan perantara .<br /><br />3.Proses hilangnya panas akan terhalangi untuk pakaian yang tebal dan tidak akan menyerap keringat.<br /><br />4.Penyedian udara bersih.<br /><br />5.Kebutuhan cairan meningkat karena penguapan tubuh meningkat.<br /><br />6.Tirah baring untuk mengurangi metabolism dan panas.<br /><br /><br />7.Untuk mengontrol infeksi pernapasan<br />Menurunkan panas<br /><br /><br />II. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b. d anoreksia<br /><br />Tujuan : * klien dapat mencapai BB yang direncanakan mengarah kepada BB normal.<br />* klien dapat mentoleransi diet yang dianjurkan.<br />* Tidak menunujukan tanda malnutrisi.<br /><br /><br /><br /><br />INTERVENSI <br /><br />1.Kaji kebiasaan diet, input-output dan timbang BB setiap hari<br /><br />2.Berikan makan pporsi kecil tapi sering dan dalam keadaan hangat<br /><br />3.Beriakan oral sering, buang secret berikan wadah husus untuk sekali pakai dan tisu dan ciptakan lingkungan beersih dan menyenamgkan.<br /><br />4.Tingkatkan tirai baring.<br /><br />5.Kolaborasi<br />• Konsul ahli gizi untuk memberikan diet sesuai kebutuhan klien<br /><br />RASIONALI<br /><br />1.Berguna untuk menentukan kebutuhan kalori menyusun tujuan berat badan, dan evaluasi keadekuatan rencana nutrisi.<br /><br /><br />2.Untuk menjamin nutrisi adekuat/ meningkatkan kalori total<br /><br />3.Nafsu makan dapt dirangsang pada situasi rilek, bersih dan menyenangkan.<br /><br />4.Untuk mengurangi kebutuhahan metabolic<br /><br />5.Metode makan dan kebutuhan kalori didasarkan pada situasi atau kebutuhan individu untuk memberikan nutrisi maksimal. <br /><br /><br />III. Nyeri akut b.d inflamasi pada membran mukosa faring dan tonsil.<br /><br />Tujuan : Nyeri berkurang / terkontrol<br /><br /><br /><br /><br /><br />INTERVENSI<br /><br />1.Teliti keluhan nyeri ,catat intensitasnya (dengan skala 0 – 10), factor memperburuk atau meredakan lokasimya, lamanya, dan karakteristiknya.<br /><br />2.Anjurkan klien untuk menghindari allergen / iritan terhadap debu, bahan kimia, asap,rokok. Dan mengistirahatkan/meminimalkan berbicara bila suara serak.<br /><br />3.Anjurkan untuk melakukan kumur air garam hangat<br /><br />4.Kolaborasi<br />Berikan obat sesuai indikasi<br />• Steroid oral, iv, & inhalasi<br /><br /><br />• analgesik<br /><br />RASIONAL<br /><br />1.Identifikasi karakteristik nyeri & factor yang berhubungan merupakan suatu hal yang amat penting untuk memilih intervensi yang cocok & untuk mengevaluasi ke efektifan dari terapi yang diberikan. <br /><br />2.Mengurangi bertambah beratnya penyakit.<br /><br />3.Peningkatan sirkulasi pada daerah tenggorokan serta mengurangi nyeri tenggorokan.<br /><br />4.Kortikosteroid digunakan untuk mencegah reaksi alergi / menghambat pengeluaran histamine dalam inflamadi pernapasan. <br /><br />Analgesic untuk mengurangi rasa nyeri<br /><br /><br /><br />IV. Resiko tinggi tinggi penularan infeksi b.d tudak kuatnya pertahanan sekunder (adanya infeksi penekanan imun) <br /><br />Tujuan : * tidak terjadi penularan<br />* tidak terjadi komplikasi<br /><br /><br /><br /><br />INTERVENSI <br /><br />1.Batasi pengunjung sesuai indikasi<br /><br />2.Jaga keseimbangan antara istirahat dan aktifitas <br /><br />3.Tutup mulut dan hidung jika hendak bersin, jika ditutup dengan tisu buang segera ketempat sampah<br /><br />4.Tingkatkan daya tahan tubuh, terutama anak usia dibawah 2 tahun, lansia dan penderita penyakit kronis. Dan konsumsi vitamin C, A dan mineral seng atau anti oksidan jika kondisi tubuh menurun / asupan makanan berkurang<br /><br />5.Kolaborasi<br />Pemberian obat sesuai hasil kultur<br /><br />RASIONAL<br /><br />1.Menurunkan potensial terpalan pada penyakit infeksius. <br /><br />2.Menurunkan konsumsi /kebutuhan keseimbangan O2 dan memperbaiki pertahanan klien terhadap infeksi, meningkatkan penyembuhan. <br /><br />3.Mencegah penyebaran pathogen melalui cairan<br /><br />4.Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi<br /><br />5.Dapat diberikan untuk organiasme khusus yang teridentifikasi dengan kultur dan sensitifitas / atau di berikan secara profilatik karena resiko tinggi <br /><br />Asuhan Keperawatan Anak Preschool dengan ISPA<br />Definisi<br />Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun reketsia tanpa atau disertai dengan radang parenkim paru.<br />ISPA adalah masuknya mikroorgamisme (bakteri, virus, riketsia) ke dalam saluran pernafasan yang menimbulkan gejala penyakit yang dapat berlangsung sampai 14 hari.<br /><br />B. Tanda dan Gejala<br />Pilek biasa<br />Keluar sekret cair dan jernih dari hidung<br />Kadang bersin-bersin<br />Sakit tenggorokan<br />Batuk<br />Sakit kepala<br />Sekret menjadi kental<br />Demam<br />Nausea<br />Muntah<br />Anoreksia<br /><br />Etiologi<br />Etiologi ISPA lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan jamur. Bakteri penyebabnya antara lain dari genus streptokokus, stafilokokus, pnemokokus, hemofilus, bordetella, dan korinebacterium. Virus penyebabnya antara lain golongan mikovirus, adenovirus, koronavirus, pikornavirus, mikoplasma, herpesvirus.<br />Bakteri dan virus yang paling sering menjadi penyebab ISPA diantaranya bakteri stafilokokus dan streptokokus serta virus influenza yang di udara bebas akan masuk dan menempel pada saluran pernafasan bagian atas yaitu tenggorokan dan hidung.<br />Biasanya bakteri dan virus tersebut menyerang anak-anak usia dibawah 2 tahun yang kekebalan tubuhnya lemah atau belum sempurna. Peralihan musim kemarau ke musim hujan juga menimbulkan risiko serangan ISPA.<br />Beberapa faktor lain yang diperkirakan berkontribusi terhadap kejadian ISPA pada anak adalah rendahnya asupan antioksidan, status gizi kurang, dan buruknya sanitasi lingkungan.<br /><br />D. Penyebaran Penyakit<br />Pada ISPA, dikenal 3 cara penyebaran infeksi, yaitu:<br />Melalui areosol (partikel halus) yang lembut, terutama oleh karena batuk-batuk<br />Melalui areosol yang lebih berat, terjadi pada waktu batuk-batuk dan bersin<br />Melalui kontak langsung atau tidak langsung dari benda-benda yang telah dicemari oleh jasad renik.<br /><br />E. Tingkat Penyakit ISPA<br />Ringan<br />Batuk tanpa pernafasan cepat atau kurang dari 40 kali/menit, hidung tersumbat atau berair, tenggorokan merah, telinga berair.<br />Sedang<br />Batuk dan napas cepat tanpa stridor, gendang telinga merah, dari telinga keluar cairan kurang dari 2 minggu. Faringitis purulen dengan pembesaran kelenjar limfe leher yang nyeri tekan (adentis servikal).<br />Berat<br />Batuk dengan nafas cepat dan stridor, membran keabuan di faring, kejang, apnea, dehidrasi berat atau tidur terus, tidak ada sianosis.<br />Sangat Berat<br />Batuk dengan nafas cepat, stridor dan sianosis serta tidak dapat minum.<br />F. Faktor Risiko<br />Faktor-faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya ISPA:<br />Usia<br />Anak yang usianya lebih muda, kemungkinan untuk menderita atau terkena penyakit ISPA lebih besar bila dibandingkan dengan anak yang usianya lebih tua karena daya tahan tubuhnya lebih rendah.<br />Status Imunisasi<br />Annak dengan status imunisasi yang lengkap, daya tahan tubuhnya lebih baik dibandingkan dengan anak yang status imunisasinya tidak lengkap.<br />Lingkungan <br />Lingkungan yang udaranya tidak baik, seperti polusi udara di kota-kota besar dan asap rokok dapat menyebabkan timbulnya penyakit ISPA pada anak.<br /><br />G. Pencegahan<br />Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit ISPA pada anak antara lain:<br />Mengusahakan agar anak memperoleh gizi yang baik, diantaranya dengan cara memberikan makanan kepada anak yang mengandung cukup gizi.<br />Memberikan imunisasi yang lengkap kepada anak agar daya tahan tubuh terhadap penyakit baik.<br />Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan agar tetap bersih.<br />Mencegah anak berhubungan dengan klien ISPA. Salah satu cara adalah memakai penutup hidung dan mulut bila kontak langsung dengan anggota keluarga atau orang yang sedang menderita penyakit ISPA.<br /><br />H. Asuhan Keperawatan<br />Pengkajian<br />Riwayat kesehatan:<br />Keluhan utama (demam, batuk, pilek, sakit tenggorokan)<br />Riwayat penyakit sekarang (kondisi klien saat diperiksa)<br />Riwayat penyakit dahulu (apakah klien pernah mengalami penyakit seperti yang dialaminya sekarang)<br />Riwayat penyakit keluarga (adakah anggota keluarga yang pernah mengalami sakit seperti penyakit klien)<br />Riwayat sosial (lingkungan tempat tinggal klien)<br />Pemeriksaan fisik difokuskan pada pengkajian sistem pernafasan<br />Inspeksi<br />Membran mukosa hidung-faring tampak kemerahan<br />Tonsil tampak kemerahan dan edema<br />Tampak batuk tidak produktif<br />Tidak ada jaringan parut pada leher<br />Tidak tampak penggunaan otot-otot pernafasan tambahan, pernafasan cuping hidung.<br />Palpasi<br />Adanya demam<br />Teraba adanya pembesaran kelenjar limfe pada daerah leher/nyeri tekan pada nodus limfe servikalis<br />Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tyroid<br />Perkusi<br />Suara paru normal (resonance)<br />Auskultasi <br />Suara nafas vesikuler/tidak terdengar ronchi pada kedua sisi paru<br /><br />Diagnosa Keperawatan<br />Peningkatan suhu tubuh b.d proses infeksi<br />Tujuan : suhu tubuh normal berkisar antara 36 – 37,5 °C<br />Intervensi:<br />Observasi tanda-tanda vital<br />Anjurkan klien/keluarga untuk kompres pada kepala/aksila<br />Anjurkan klien untuk menggunakan pakaian yang tipis dan dapat menyerap keringat seperti pakaian dari bahan katun.<br />Atur sirkulasi udara<br />Anjurkan klien untuk minum banyak ± 2000 – 2500 ml/hari<br />Anjurkan klien istirahat di tempat tidur selama fase febris penyakit.<br />Kolaborasi dengan dokter:<br />Dalam pemberian terapi, obat antimikrobial<br />Antipiretika<br />Rasionalisasi:<br />Pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan perkembangan perawatan selanjutnya<br />Dengan memberikan kompres, maka akan terjadi proses konduksi/perpindahan panas dengan bahan perantara.<br />Proses hilanganya panas akan terhalangi untuk pakaian yang tebal dan tidak akan menyerap keringat.<br />Penyediaan udara bersih<br />Kebutuhan cairan meningkat karena penguapan tubuh meningkat<br />Tirah baring untuk mengurangi metabolisme dan panas<br />Untuk mengontrol infeksi pernafasan dan menurunkan panas<br /><br />Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia<br />Tujuan:<br />Klien dapat mencapai BB yang direncanakan mengarah pada BB normal.<br />Klien dapat menoleransi diet yang dianjurkan<br />Tidak menunjukkan tanda malnutrisi<br />Intervensi:<br />Kaji kebiasaan diet, input-output dan timbang BB setiap hari.<br />Berikan makan porsi kecil tapi sering dan dalam keadaan hangat.<br />Tingkatkan tirah baring<br />Kolaborasi: konsultasi ke ahli gizi untuk memberikan diet sesuai kebutuhan klien.<br /><br />Rasionalisasi:<br />Berguna untuk menentukan kebutuhan kalori, menyusun tujuan BB dan evaluasi keadekuatan rencana nutrisi.<br />Untuk menjamin nutrisi adekuat/meningkatkan kalori total<br />Nafsu makan dapat dirangsang pada situasi rileks, bersih, dan menyenangkan.<br />Untuk mengurangi kebutuhan metabolik<br />Metode makan dan kebutuhan kalori didasarkan pada situasi atau kebutuhan individu untuk memberikan nutrisi maksimal.<br /><br />Nyeri akut b.d inflamasi pada membran mukosa faring dan tonsil<br />Tujuan: nyeri berkurang/terkontrol<br />Intervensi:<br />Teliti keluhan nyeri, catat intensitasnya (dengan skala 0 – 10 ), faktor yang memperburuk atau meredakan nyeri, lokasi, lama, dan karakteristiknya.<br />Anjurkan klien untuk menghindari alergen/iritan terhadap debu, bahan kimia, asap rokkok, dan mengistirahatkan/meminimalkan bicara bila suara serak.<br />Anjurkan untuk melakukan kumur air hangat<br />Kolaborasi: berikan obat sesuai indikasi (steroid oral, IV, dan inhalasi, & analgesik)<br />Rasionalisasi:<br />Identifikasi karakteristik nyeri dan faktor yang berhubungan merupakan suatu hal yang amat penting untuk memilih intervensi yang cocok dan untuk mengevaluasi keefektifan dari terapi yang diberikan.<br />Mengurangi bertambahberatnya penyakit<br />Peningkatan sirkulasi pada daerah tenggorokan serta mengurangi nyeri tenggorokan.<br />Kortikosteroid digunakan untuk mencegah reaksi alergi/menghambat pengeluaran histamin dalam inflamasi pernafasan. Analgesik untuk mengurangi nyeri.<br /><br />Risiko tinggi penularan infeksi b.d tidak kuatnya pertahanan sekunder (adanya infeksi penekanan imun)<br />Tujuan: tidak terjadi penularan, tidak terjadi komplikasi<br />Intervensi:<br />Batasi pengunjung sesuai indikasi<br />Jaga keseimbangan antara istirahat dan aktivitas<br />Tutup mulut dan hidung jika hendak bersin<br />Tingkatkan daya tahan tubuh, terutama anak dibawah usia 2 tahun, lansia, dan penderita penyakit kronis. Konsumsi vitamin C, A dan mineral seng atau anti oksidan jika kondisi tubuh menurun/asupan makanan berkurang.<br />Kolaborasi pemberian obat sesuai hasil kultur<br />Rasionalisasi:<br />Menurunkan potensi terpajan pada penyakit infeksius<br />Menurunkan konsumsi/kebutuhan keseimbangan O₂ dan memperbaiki pertahanan klien terhadap infeksi, meningkatkan penyembuhan.<br />Mencegah penyebaran patogen melalui cairan<br />Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi.<br />Dapat diberikan untuk organisme khusus yang teridentifikasi dengan kultur dan sensitifitas atau diberikan secara profilaktik karena risiko tinggi.risda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2674685999395418367.post-7137733201943258752010-02-19T20:14:00.000-08:002010-02-19T20:15:30.310-08:00ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN PNEUMONIA<br /><br />A. Definisi<br />ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) merupakan padanan istilah : Acute Respiratory Infections (ARI).<br />ISPA mengandung 3 unsur, yaitu : Infeksi, Saluran pernafasan, Akut.<br />Batasan-batasan masing-masing unsur :<br />1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak, sehingga menimbulkan gejala penyakit.<br />2. Saluran pernafasan adalah organ yang mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan.<br />3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari (batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun ISPA dapat lebih 14 hari).<br />Pneumonia adalah suatu peradangan atau inflamasi pada parenkim paru yang umumnya disebabkan oleh agent infeksi.<br />Pneumonia pada anak seringkali bersamaan terjadinya proses infeksi akut pada bronchus dan disebut bronchopneumonia.<br />Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan terjadinya proses infeksi akut pada bronchus (bronchopneumonia), semua bentuk pneumonia (baik pneumonia maupun bronchopneumonia) disebut Pneumonia.<br />B. Etiologi<br />Pneumonia dapat disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti:<br />1. Bakteri: stapilokokus, streplokokus, aeruginosa, eneterobacter<br />2. Virus: virus influenza, adenovirus<br />3. Micoplasma pneumonia<br />4. Jamur: candida albicans<br />5. Aspirasi: lambung<br />Sehingga menimbulkan :<br />1. Reaksi radang pada bronchus dan alveolus dan sekitarnya.<br />2. Lumen bronkhiolus terisi eksudat dan sel epitel yang rusak.<br />3. Dinding bronkhiolus yang rusak mengalami fibrosis dan pelebaran.<br />4. Sebagian jaringan paru-paru mengalami etelektasis/kolaps alveoli, emfisema hal ini disebabkan karena menurunnya kapasitas fungsi paru dan penurunan produksi surfaktan.<br />C. Klasifikasi pneumoni<br />Pneumonia Berdasarkan Penyebab :<br />1. Pneumonia bakteri<br />2. Pneumonia virus<br />3. Pneumonia Jamur<br />4. Pneumonia aspirasi<br />5. Pneumonia hipostatik<br />Pneumonia berdasarkan anatomic :<br />1. Pneumonia lobaris atau radang paru-paru yang mengenai sebagian besar/seluruh lobus paru-paru.<br />2. Pneumonia lobularis (bronchopneumonia) à radang pada paru-paru yang mengenai satu/beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate.<br />3. Pneumonia interstitialis (bronkhiolitis) à radang pada dinding alveoli (interstitium) dan peribronkhial dan jaringan interlobular.<br />D. Patofisiologi<br />Sebagian besar pneumonia didapat melalui aspirasi partikel infektif. Ada beberapa mekanisma yang pada keadaan normal melindungi paru dari infeksi. Partikel infeksius difiltrasi di hidung, atau terperangkap dan dibersihkan oleh mukus dan epitel bersilia di saluran napas. Bila suatu partikel dapat mencapai paru-paru, partikel tersebut akan berhadapan dengan makrofag alveoler, dan juga dengan mekanisme imun sistemik, dan humoral. Bayi pada bulan-bulan pertama kehidupan juga memiliki antibodi maternal yang didapat secara pasif yang dapat melindunginya dari pneumokokus dan organisme-organisme infeksius lainnya. Perubahan pada mekanisme protektif ini dapat menyebabkan anak mudah mengalami pneumonia misalnya pada kelainan anatomis kongenital, defisiensi imun didapat atau kongenital, atau kelainan neurologis yang memudahkan anak mengalami aspirasi dan perubahan kualitas sekresi mukus atau epitel saluran napas. Pada anak tanpa faktor-faktor predisposisi tersebut, partikel infeksius dapat mencapai paru melalui perubahan pada pertahanan anatomis dan fisiologis yang normal. Ini paling sering terjadi akibat virus pada saluran napas bagian atas. Virus tersebut dapat menyebar ke saluran napas bagian bawah dan menyebabkan pneumonia virus.<br />Kemungkinan lain, kerusakan yang disebabkan virus terhadap mekanisme pertahan yang normal dapat menyebabkan bakteri patogen menginfeksi saluran napas bagian bawah. Bakteri ini dapat merupakan organisme yang pada keadaan normal berkolonisasi di saluran napas atas atau bakteri yang ditransmisikan dari satu orang ke orang lain melalui penyebaran droplet di udara. Kadang-kadang pneumonia bakterialis dan virus ( contoh: varisella, campak, rubella, CMV, virus Epstein-Barr, virus herpes simpleks ) dapat terjadi melalui penyebaran hematogen baik dari sumber terlokalisir atau bakteremia/viremia generalisata.<br />Setelah mencapai parenkim paru, bakteri menyebabkan respons inflamasi akut yang meliputi eksudasi cairan, deposit fibrin, dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear di alveoli yang diikuti infitrasi makrofag. Cairan eksudatif di alveoli menyebabkan konsolidasi lobaris yang khas pada foto toraks. Virus, mikoplasma, dan klamidia menyebabkan inflamasi dengan dominasi infiltrat mononuklear pada struktur submukosa dan interstisial. Hal ini menyebabkan lepasnya sel-sel epitel ke dalam saluran napas, seperti yang terjadi pada bronkiolitis.<br />Patofisiologi Bronkhopneumonia :<br />1. Bronkhopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder.<br />2. Keadaan yang dapat menyebabkan bronchopneumonia adalah pertusis, morbili, penyakit lain yang disertai dengan infeksi saluran pernafasan atas, gizi buruk, paska bedah atau kondisi terminal.<br />E. Manifestasi Klinik<br />1. Secara khas diawali dengan awitan menggigil, demam yang timbul dengan cepat (39,5 ºC sampai 40,5 ºC).<br />2. Nyeri dada yang ditusuk-tusuk yang dicetuskan oleh bernafas dan batuk.<br />3. Takipnea (25 – 45 kali/menit) disertai dengan pernafasan mendengur, pernafasan cuping hidung,<br />4. Nadi cepat dan bersambung<br />5. Bibir dan kuku sianosis<br />6. Sesak nafas <br />F. Komplikasi<br />1. Efusi pleura<br />2. Hipoksemia<br />3. Pneumonia kronik<br />4. Bronkaltasis<br />5. Atelektasis (pengembangan paru yang tidak sempurna/bagian paru-paru yang diserang tidak mengandung udara dan kolaps).<br />6. Komplikasi sistemik (meningitis)<br />G. Pemeriksaan Penunjang<br />1. Sinar X: mengidentifikasikan distribusi struktural (misal: lobar, bronchial); dapat juga menyatakan abses)<br />2. Pemeriksaan gram/kultur, sputum dan darah: untuk dapat mengidentifikasi semua organisme yang ada.<br />3. Pemeriksaan serologi: membantu dalam membedakan diagnosis organisme khusus.<br />4. Pemeriksaan fungsi paru: untuk mengetahui paru-paru, menetapkan luas berat penyakit dan membantu diagnosis keadaan.<br />5. Biopsi paru: untuk menetapkan diagnosis<br />6. Spirometrik static: untuk mengkaji jumlah udara yang diaspirasi<br />7. Bronkostopi: untuk menetapkan diagnosis dan mengangkat benda asing<br />H. Penatalaksanaan<br />Pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi tapi karena hal<br />itu perlu waktu dan pasien pneumonia diberikan terapi secepatnya:<br />1. Penicillin G: untuk infeksi pneumonia staphylococcus.<br />2. Amantadine, rimantadine: untuk infeksi pneumonia virus<br />3. Eritromisin, tetrasiklin, derivat tetrasiklin: untuk infeksi pneumonia mikroplasma.<br />4. Menganjurkan untuk tirah baring sampai infeksi menunjukkan tanda-tanda<br />5. Pemberian oksigen jika terjadi hipoksemia.<br />6. Bila terjadi gagal nafas, diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup.<br />I. Pengkajian<br />Data dasar pengkajian pasien:<br />1. Aktivitas/istirahat<br />Gejala : kelemahan, kelelahan, insomnia Tanda : letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas.<br />2. Sirkulasi<br />Gejala : riwayat adanya<br />Tanda : takikardia, penampilan kemerahan, atau pucat<br />3. Makanan/cairan<br />Gejala : kehilangan nafsu makan, mual, muntah, riwayat diabetes mellitus<br />Tanda : sistensi abdomen, kulit kering dengan turgor buruk, penampilan kakeksia (malnutrisi)<br />4. Neurosensori<br />Gejala : sakit kepala daerah frontal (influenza)<br />Tanda : perusakan mental (bingung)<br />5. Nyeri/kenyamanan<br />Gejala : sakit kepala, nyeri dada (meningkat oleh batuk), imralgia, artralgia.<br />Tanda : melindungi area yang sakit (tidur pada sisi yang sakit untuk membatasi gerakan)<br />6. Pernafasan<br />Gejala : adanya riwayat ISK kronis, takipnea (sesak nafas), dispnea.<br />Tanda : <br />- sputum: merah muda, berkarat<br />- perpusi: pekak datar area yang konsolidasi<br />- premikus: taksil dan vocal bertahap meningkat dengan konsolidasi<br />- Bunyi nafas menurun<br />- Warna: pucat/sianosis bibir dan kuku<br />7. Keamanan<br />Gejala : riwayat gangguan sistem imun misal: AIDS, penggunaan steroid, demam.<br />Tanda : berkeringat, menggigil berulang, gemetar<br />8. Penyuluhan/pembelajaran<br />Gejala : riwayat mengalami pembedahan, penggunaan alkohol kronis<br />Tanda : DRG menunjukkan rerata lama dirawat 6 – 8 hari<br />9. Rencana pemulangan: bantuan dengan perawatan diri, tugas pemeliharaan rumah<br />J. Diagnosa Keperawatan<br />1. Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan inflamasi trachea bronchial, pembentukan edema, peningkatan produksi sputum.<br />2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan kapasitas pembawa oksigen darah.<br />3. Resiko tinggi terhadap infeksi (penyebaran) berhubungan dengan ketidak adekuatan pertahanan sekunder (adanya infeksi penekanan imun), penyakit kronis, malnutrisi.<br />4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.<br />5. Nyeri (akut) berhubungan dengan inflamasi parenkim paru, batuk menetap.<br />6. Resiko tinggi terhadap nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi.<br />7. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebihan, penurunan masukan oral.<br />K. Rencana Keperawatan<br />No Diagnosa keperawatan Tujuan Intervensi <br />1 Bersihan jalan nafas tak efektif b/d inflamasi trachea bronchial,<br />peningkatan produksi sputum <br /> Jalan nafas efektif dengan kriteria:<br />- Batuk efektif<br />- Nafas normal<br />- Bunyi nafas bersih<br />- Sianosis 1) Kaji frekuensi/kedalaman pernafasan dan gerakan dada setiap 2 jam<br />2) kaji adanya peningkatan status pernafasan dan bunyi nafas abnormal<br />3) Auskultasi area paru, catat area penurunan 1 kali ada aliran udara dan bunyi nafas <br />4) Beri therapy oksigen sesuai program<br />5) Biarkan teknik batuk efektif<br />6) Lakukan perkusi, vibrasi dan postural drainage setiap 4 – 6 jam<br />7) Suction/Penghisapan sesuai indikasi<br />8) Beri posisi yang nyaman yang memudahkan pasien bernafas<br />9) Monitor analisa gas darah untuk mengkaji status pernafasan<br />10) Beri minum yang cukup.<br />11) Sediakan sputum untuk kultur/test sensitifitas<br />12) Kelolaa pemberian antibiotic dan obat lain sesuai program<br />13) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat sesuai indikasi: mukolitik, eks.<br />2 Gangguan pertukaran gas b/d gangguan pembawa oksigen darah,<br />gangguan pengiriman oksigen Gangguan pertukaran gas teratasi dengan:<br />- Sianosis<br />- Nafas normal<br />- Sesak<br />- Hipoksia<br />- Gelisah 1) Kaji frekuensi/kedalaman dan kemudahan bernafas<br />2) Observasi warna kulit, membran mukosa dan kuku. Catat adanya sianosis perifer (kuku) atau sianosis sentral<br />3) Kaji status mental<br />4) Tinggikan kepala dan dorong sering mengubah posisi, nafas dalam dan batuk efektif<br />5) Kolaborasi dalam pemberian terapi oksigen<br />3 Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi b/d ketidak adekuatan pertahanan sekunder Infeksi tidak terjadi dengan kriteria:<br />waktu perbaikan infeksi/ kesembuhan cepat tanpa penularan penyakit ke orang lain tidak ada 1) Pantau tanda vital dengan ketat khususnya selama awal terapi<br />2) Tunjukkan teknik mencuci tangan yang baik<br />3) Batasi pengunjung sesuai indikasi.<br />4) Tingkatkan masukan nutrisi adekuat<br />5) Kolaborasi dalam pemberian antimikrobial sesuai indikasi dengan hasil kultur sputum/darah misal penicillin, eritromisin, tetrasiklin, amikalin, sepalosporin, amantadin<br />4 Intoleransi aktivitas b/d ketidak seimbangan antara suplai<br />dan kebutuhan oksigen Intoleransi aktivitas teratasi dengan:<br />- Nafas normal<br />- Sianosis<br />- Irama jantung 1) Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas<br />2) Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi<br />3) Jelaskan perlunya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat.<br />4) Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat atau tidur<br />5) Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan<br />5 Nyeri b/d inflamasi parenkim varul, batuk menetap Nyeri dapat teratasi dengan:<br />- Nyeri dada<br />- Sakit kepala<br />- Gelisah<br /> 1) Tentukan karakteristik nyeri, misal kejang<br />2) Pantau tanda vital<br />3) Berikan tindakan nyaman pijatan punggung, perubahan posisi, musik tenang<br />4) Aturkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama episode batuk.<br />5) Kolaborasi<br />Berikan analgesik dan antitusik sesuai indikasi<br />6 Resiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d peningkatan kebutuhan metabolik sekunder Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dapat diatasi dengan:<br />- Pasien menunjukkan peningkatan nafsu makan<br />- Pasien mempertahankan meningkat BB 1) identifikasi faktor yang menimbulkan mual/muntah, misalnya: sputum, banyak nyeri<br />2) Jadwalkan atau pernafasan sedikitnya 1 jam sebelum makan<br />3) Berikan makan porsi kecil dan sering termasuk makanan kering (roti panggang), makanan yang menarik oleh pasien<br />4) Evaluasi status nutrisi umum, ukur berat badan dasar.<br />7 Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b/d kehilangan cairan<br />berlebihan, demam, berkeringat banyak, nafas mulut, penurunan masukan oral Kekurangan volume cairan tidak terjadi dengan kriteria: Pasien menunjukkan keseimbangan cairan misalnya membran mukosa lembab, turgor kulit baik, tanda vital stabil 1) Kaji perubahan tanda vital contoh peningkatan suhu demam memanjang, takikardia<br />2) Kaji turgor kulit, kelembapan membran mukosa (bibir, lidah)<br />3) Catat laporan mual/muntah<br />4) Pantau masukan dan keluaran catat warna, karakter urine. Hitung keseimbangan cairan. Ukur berat badan sesuai indikasi<br />5) Tekankan cairan sedikit 2400 mL/hari atau sesuai kondisi individual<br />6) Kolaborasi<br />Beri obat indikasi misalnya antipiretik, antimitik.<br />Berikan cairan tambahan IV sesuai keperluanrisda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2674685999395418367.post-31717454279764068282010-02-19T20:02:00.000-08:002010-02-19T20:04:07.745-08:00ASUHAN KEPERAWATAN BBLR<br /><br />A. PENGERTIAN<br />Berat badan lahir rendah adalah bayi baru lahir dengan berat badan pada saat kelahiran kurang dari 2500 gr atau lebih rendah ( WHO, 1961 ). <br />Berat badan lahir rendah adalah bayi baru lahir yang berat badannya pada saat kelahiran kurang dari 2500 gr sampai dengan 2499 gr. <br />B. Etiologi BBLR<br />1. Faktor ibu (resti).<br />2. faktor penyakit (toksimia gravidarum, trauma fisik).<br />3. faktor usia : < 20 tahun.<br />4. faktor ibu : riwayat kelahiran prematur sebelumnya, perdarahan ante partum, malnutrisi, kelainan uterus, hidramnion, penyakit jantung/penyakit kronik lainnya, hipertensi, umur ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, jarak dua kehamilan yang terlalu dekat, infeksi, trauma dan lain-lain.<br />5. Faktor janin : cacat bawaan, kehamilan ganda, hidramnion, ketuban pecah dini.<br />6. Keadaan sosial ekonomi yang rendah.<br />7. Kebiasaan : pekerjaan yang melelahkan, merokok.<br />C. PATOFISIOLOGI<br />Pernafasan spontan bayi baru lahir bergantung kepada kondisi janin pada masa kehamilan dan persalinan. Proses kelahiran sendiri selalu menimbulkankan asfiksia ringan yang bersifat sementara pada bayi (asfiksia transien), proses ini dianggap sangat perlu untuk merangsang kemoreseptor pusat pernafasan agar lerjadi “Primary gasping” yang kemudian akan berlanjut dengan pernafasan.<br />Bila terdapat gangguaan pertukaran gas/pengangkutan O2 selama kehamilan persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan mempengaruhi fugsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian. Kerusakan dan gangguan fungsi ini dapat reversibel/tidak tergantung kepada berat dan lamanya asfiksia. Asfiksia yang terjadi dimulai dengan suatu periode apnu (Primany apnea) disertai dengan penurunan frekuensi jantung selanjutnya bayi akan memperlihatkan usaha bernafas (gasping) yang kemudian diikuti oleh pernafasan teratur. Pada penderita asfiksia berat, usaha bernafas ini tidak tampak dan bayi selanjutnya berada dalam periode apnu kedua (Secondary apnea). Pada tingkat ini ditemukan bradikardi dan penurunan tekanan darah.<br />Pada tingkat pertama dan pertukaran gas mungkin hanya menimbulkan asidoris respiratorik, bila berlanjut dalam tubuh bayi akan terjadi metabolisme anaerobik yang berupa glikolisis glikogen tubuh , sehingga glikogen tubuh terutama pada jantung dan hati akan berkuang.asam organik terjadi akibat metabolisme ini akan menyebabkan tumbuhnya asidosis metabolik. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskuler yang disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung terjadinya asidosis metabolik akan mengakibatkan menurunnya sel jaringan termasuk otot jantung sehinga menimbulkan kelemahan jantung dan pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan akan tingginya resistensinya pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah ke paru dan kesistem tubuh lain akan mengalami gangguan. Asidosis dan gangguan kardiovaskuler yang terjadi dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel otak. Kerusakan sel otak yang terjadi menimbulkan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya (Medicine and linux.com)<br />D. KLASIFIKASI BBLR :<br />1. Klasifikasi BBLR Primaturitas murni.<br />Masa gestasi kurang dari 37 minggu dan berat badannya sesuai dengan masa gestasi.<br />2. Dismaturitas.<br />BB bayi yang kurang dari berat badan seharusnya, tidak sesuai dengan masa gestasinya.<br />BBLR dibedakan menjadi :<br />BBLR : berat badan lahir 1800-2500 gram<br />BBLSR : berat badan lahir < 1500 gram<br />BBLER : berat badan lahir ekstra rendah < 1000 gr<br />E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK<br />1. Analisa gas darah ( PH kurang dari 7,20 ).<br />2. Penilaian APGAR Score meliputi (Warna kulit, frekuensi jantung, usaha nafas, tonus otot dan reflek).<br />3. Pemeriksaan EEG dan CT-Scan jika sudah timbul komplikasi.<br />4. Pengkajian spesifik/<br />5. Pemeriksaan fungsi paru/<br />6. Pemeriksaan fungsi kardiovaskuler/ (Pediatric.com)<br />F. MANIFESTASI KLINIS<br />Asfiksia biasanya merupakan akibat dari hipoksi janin yang menimbulkan tanda:<br />1. DJJ lebih dari 1OOx/mnt/kurang dari lOOx/menit tidak teratur<br />2. Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala<br />3. Apnea<br />4. Pucat<br />5. Sianosis<br />6. Penurunan terhadap stimulus. (Medicine and linux.com)<br />G. PENATALAKSANAAN KLINIS<br />Tindakan Umum<br />1. Bersihkan jalan nafas. Kepala bayi dileakkan lebih rendah agar lendir mudah mengalir, bila perlu digunakan larinyoskop untuk membantu penghisapan lendir dari saluran nafas yang lebih dalam.Saluran nafas atas dibersihkan dari lendir dan cairan amnion dengan pengisap lendir, tindakan ini dilakukan dengan hati- hati tidak perlu tergesa- gesa atau kasar. Penghisapan yang dilakukan dengan ceroboh akan timbul penyulit seperti: spasme laring, kolap paru, kerusakan sel mukosa jalan nafas. Pada asfiksia berat dilakukan resusitasi kardiopulmonal.<br />2. Rangsang reflek pernafasan. Dilakukan setelah 20 detik bayi tidak memperlihatkan bernafas dengan cara memukul kedua telapak kaki menekan tanda achiles. Bayi yang tidak memperlihatkan usaha bernafas selama 20 detik setelah lahir dianggap telah menderita depresi pernafasan. Dalam hal ini rangsangan terhadap bayi harus segera dilakukan. Pengaliran O2 yang cepat kedalam mukosa hidung dapat pula merangsang reflek pernafasan yang sensitive dalam mukosa hidung dan faring. Bila cara ini tidak berhasil dapat dilakukan dengan memberikan rangsangan nyeri dengan memukul kedua telapak kaki bayi.<br />3. Mempertahankan suhu tubuh. Pertahankan suhu tubuh agar bayi tidak kedinginan, karena hal ini akan memperburuk keadaan asfiksia.Bayi baru lahir secara relative banyak kehilangan panas yang diikuti oleh penurunan suhu tubuh. Penurunan suhu tubuh akan mempertinggi metabolisme sel sehingga kebutuhabn oksigen meningkat. Perlu diperhatikan agar bayi mendapat lingkungan yang hangat segera setelah lahir. Jangan biarkan bayi kedinginan (membungkus bayi dengan kain kering dan hangat), Badan bayi harus dalam keadaan kering, jangan memandikan bayi dengan air dingin, gunakan minyak atau baby oil untuk membersihkan tubuh bayi. Kepala ditutup dengan kain atau topi kepala yang terbuat dari plastik (Medicine and linux.com DAN Pediatric.com).<br />Tindakan khusus<br />1. Asfiksia berat, Berikan O2 dengan tekanan positif dan intermiten melalui pipa endotrakeal. dapat dilakukan dengan tiupan udara yang telah diperkaya dengan O2. Tekanan O2 yang diberikan tidak 30 cm H 20. Bila pernafasan spontan tidak timbul lakukan message jantung dengan ibu jari yang menekan pertengahan sternum 80 –100 x/menit.<br />2. Asfiksia sedang/ringan, Pasang relkiek pernafasan (hisap lendir, rangsang nyeri) selama 30-60 detik. Bila gagal lakukan pernafasan kodok (Frog breathing) 1-2 menit yaitu : kepala bayi ektensi maksimal beri O2 1-2 1/mnt melalui kateter dalam hidung, buka tutup mulut dan hidung serta gerakkan dagu ke atas-bawah secara teratur 20 x/menit Penghisapan cairan lambung untuk mencegah regurgitasi (Medicine and linux.com).<br /><br /><br /><br />H. THERAPI CAIRAN PADA BAYI BARU LAHIR DENGAN ASFIKSIA<br />1. Tujuan Pemberian Cairan untuk Bayi Baru Lahir dengan asfiksia<br />• Mengembalikan dan mempertahankanKeseimbangan airan<br />• Memberikan obat – obatan<br />• Memberikan nutrisi parenteral<br />2. Keuntungan dan kerugian therapy Cairan<br />Keuntungan :<br />• Efek therapy segera tercapai karena penghantaran obat ketempat target berlangsung cepat<br />• Absorbsi total, memungkinkan dosis obat lebih tepat dan therapy lebih dapat diandalkan<br />• Kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek therapy dapat dipertahankan maupun dimodifikasi<br />• Ras sakit dan iritasi obat- obat tertentu jika diberikan intramuscular dan subkutan dapat dihindari<br />• Sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorpsi dengan rute lain karena molekul yang besar, iritasi atau ketidakstabilan dalam traktus gastrointestinal.<br />Kerugian :<br />• Resiko toksisitas/anapilaktik dan sensitivitas tinggi<br />• Komplikasi tambahan dapat timbul :<br />• Kontaminasi mikroba melalui sirkulasi<br />• Iritasi vaskuler ( spt phlebitis )<br />• Inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai obat tambahan.<br />3. Peran Perawat terhadap Therapi Cairan pada bayi baru lahir dengan asfiksia<br />• Memastikan tidak ada kesalahan maupun kontaminasi cairan infuse maupun kemasannya.<br />• Memastikan cairan infuse diberikan secara benar (pasien, jenis cairan, dosis, cara pemberian dan waktu pemberian)<br />• Memeriksa kepatenan tempat insersi<br />• Monitor daerah insersi terhadap kelainan<br />• Mengatur kecepatan tetesan sesuai dengan program<br />• Monitor kondisi dan reaksi pasien<br /><br />DIAGNOSA KEPERAWATAN<br />a. Gangguan pertukaran O2 berhubungan dengan Imaturitas sistem pernafasan<br />b. Gangguan Thermoregulasi Hipertermi berhubungan dengan cairan yang diperoleh/sediaan cairan dalam tubuh bayi<br />c. Gangguan pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan Imaturitas sistem pencernaan<br />d. Gangguan rasa aman : Cemas Orang tua berhubungan dengan proses hospitalisasi<br />e. Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan imaturitas sistem imunologi<br /><br />F. NURSING CARE PLANNING (NCP)<br />1 Gangguan pertukaran O2 berhubungan dengan Asfiksia. Ditandai dengan :<br />Ds:<br />Do:<br /> Bayi tampak sesak<br /> RR 76 x/Menit<br /> Terlihat retraksi pada dinding epigastrium<br /> PCH +<br /> Terpasang O2 sungkup (5 liter / menit) Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan gangguan pertukaran O2 kembali normal dengan kriteria hasil :<br />• Nafas spontan<br />• O2 tidak terpasang<br />• PCH negatif<br />• Frekuensi nafas normal 30 – 60 x/menit.<br />• Sianosis negatif. 1. Atur posisi kepala bayi sedikit ekstensi<br />2. Therapi O2 sesuai kebutuhan<br />3. Monitor irama, kedalaman frekuensi pernafasan bayi<br />4. Monitor saturasi O2 tiap 2 jam<br />5. Kolaborasi pemberian obat bronchodilator sesuai kebutuhan 1. Posisi kepala sedikit ekstensi bertujuan untuk membuka jalan nafas dan mempermudah pengaliran O2 atau oksigenasi<br />2. Suplai O2 diberikan bertujuan untuk mempertahankan kadar O2 dalam jaringan.<br />3. Mengetahui perubahan yang terjadi apakah pernafasan dalam batas normal atau terjadi gangguan.<br />4. Saturasi O2 dilakukan bertujuan untuk mengetahui kadar O2 dalam jaringan apakah dalam batas normal atau terjadi gangguan.<br />5. Obat bronkodilator berfungsi untuk membantu menurunkan sesak.<br />2 Gangguan Thermoregulasi Hipertermi berhubungan dengan cairan yang diperoleh/sediaan cairan dalam tubuh bayi<br />Ditandai dengan :<br />Ds:<br />Do:<br /> S : 39,1 0C/Anal<br /> Kadar leukosit 10. 103/mm3<br /> Struktur kulit halus dan tipis<br /> Bayi di simpan dalam inkubator Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan suhu tubuh bayi dalam batas normal kriteria hasil :<br />• Suhu tubuh dalam batas normal 36.50 C – 37.50C<br />• Bayi tidak rewel<br />• Bayi bisa tidur<br />• Kadar leukosit dalam batas normal 4.0 – 11.0 103/mm3<br />• Sekresi keringat tidak nampak. 1. Atur suhu inkubator sesuai dengan keadaan bayi.<br />2. Observasi TTV<br />3. Kompres bayi dengan kasa yang telah dibasahi dengan air hangat.<br />4. Kolaborasi pemberian obat antipiretik 1. Pengaturan suhu inkubator bertujuan untuk mencegah bayi hipertermi dan menurunkan suhu bayi.<br />2. Observasi TTV ditegakan untuk mengetahui apakah bayi mengalami gangguan atau masih dalam keadaan batas normal.<br />3. Kompres air hangat adalah mempercepat penurunan suhu bayi.<br />4. Pemberian antipiretik berfungsi untuk menurunkan suhu tubuh<br />3 Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan Imaturitas sistem pencernaan<br />Ditandai dengan :<br />Ds :<br />Do :<br /> NGT terpasang<br /> IVFD D5 ½ NS Mikro drip 10 tts/menit.<br /> PASI 12x 5 - 7,5 cc/hari<br /> Refleks hisap lemah dan menelan lemah<br /> BB lahir : 1400 gr<br /> BB saat dikaji : 1200 gr Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam kebutuhan cairan dan elektrolit dapat terpenuhi dengan kriteria :<br />• Turgor kulit elastis<br />• Tidak terjadi penurunan BB<br />• Produksi urine 1 -2 ml / kg BB / jam.<br />• Retensi cairan normal 1. Kaji reflek hisap dan menelan bayi<br />2. Timbang BB / hari dengan timbangan yang sama<br />3. Beri ASI atau PASI tiap 2 jam jika tidak terjadi retensi<br />4. Lakukan Oral hygiene<br />5. Kolaborasi pemberian cairan sesuai kebutuhan 1. Reflek hisap dan menellan pada bayi menandakan bayi sudah dapat di berikan asupan peroral<br />2. Status nutrisi teridentifikasi<br />3. ASI PASI sebagai nutrisi utama pada bayi<br />4. Mencegah terjadinya kebasian sisa makanan dan terjadinya pertumbuhan jamur<br />5. Keseimbangan cairan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan<br />4 Gangguan rasa aman : Cemas Orang tua berhubungan dengan tidak terjadinya Bonding Attachment. Ditandai dengan :<br />Ds :<br /> Keluarga klien mengatakan khawatir dengan keadaan bayinya<br />Do :<br /> Ekspresi wajah ayahnya tampak cemas<br /> Ayah klien terus bertanya-tanya mengenai kondisi bayinya ketika menjenguk bayinya di ruang perawatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapakan orang tua tidak cemas lagi dengan kriteria :<br />• Orang tua tampak tenang<br />• Orang tua kooperatif<br />• Tidak bertanya-tanya tentang keadaan penyakit anaknya<br />• Orang tua suadah bertemu dengan bayinya. 1. Kaji tingkat kecemasan keluarga klien<br />2. kaji tingkat pengetahuan keluarga tentang penyakit yang diderita bayinya<br />3. Beri penjelasan tentang keadaan bayinya<br />4. Beri waktu keluarga untuk mengungkapkan perasaannya<br />1. Mengetahui derajat kecemasan yang diderita oleh keluarga dan memudahkan dalam memberikan intervensi<br />2. Memudahkan perawat untuk melakukan komunikasi terapeutik dalam proses keperawatan<br />3. Menambah pengetahuan dengan memberikan informasi tentang keadaan yang dialami oleh bayi<br />4. Mengetahui tigkat kecemasan yang dialami oleh keluarga.<br />5 Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan imaturitas sistem imunologi<br /> Terpasang NGT<br /> IVFD 10 tetes/menit<br /> Kadar leukosit 10.103/mm3<br /> S : 39,1 0 C<br /> Oedem pada ektremitas yang terpasang alat tindakan medis Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam infeksi tidak terjadi dengan kriteria :<br />Tidak terjadi tanda-tanda infeksi<br />• Kadar leukosit dalam batas normal 4.0 – 11.0 103/mm3<br />• Suhu dalam batas normal 36,5o C - 37,5 o C<br />1. Kaji tanda – tanda infeksi<br />2. Observasi TTV<br />3. Perawatan NGT<br />4. Perwatan IVFD<br />5. Kolaborasi pemberian antibiotik<br />1. Tanda-tanda infeksi diantaranya dolor, kalor, rubor, tumor dan fungsio laesa.<br />2. Untuk mengetahui keadaan umum bayi apakah terjadi gangguan atau dalam batas-batas normal<br />3. Mencegah infeksi<br />4. Mencegah infeksi<br />5. Antibiotik berfungsi untuk mematikan invasi bakteri penyebab infeksi<br />G. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN<br />Nama : By. Y No Medrek : 407221<br />Umur : 7 hari Dx Medis : BBLSR + Asfiksia<br />NO DIAGNOSA<br />KEPERAWATAN TANGGAL/ PUKUL IMPLEMENTASI KEPERAWATAN TTD<br />1 Gangguan pertukaran O2 berhubungan dengan Asfiksia<br />13-12-2008<br />08.00 WIB<br />08.05<br />15-12-2008<br />Pukul 08.00 WIB<br />08.05 WIB<br />16-12-2008<br />Pukul 08.00 WIB<br />08.05 WIB<br />1. Mengatur posisi kepala bayi sedikit ekstensi<br />R : Klien tampak lemah<br />H : Posisi kepala sudah semi ekstensi<br />2. Memonitor irama, kedalaman frekuensi pernafasan bayi<br />R : Sesak nafas masih terlihat<br />H : Frekuensi pernapasan 76 x/menit, retraksi dinding dada berlebihan tidak<br />terdapat suara nafas tambahan<br />3. Melakukan observasi Therapi O2 sesuai 5 liter/menit sungkup<br />R : Klien tampak lemah dan pernapasan cepat dan dangkal<br />H : Oksigen telah terpasang dengan sungkup 5 liter/menit<br />4. memberikan therapy injeksi Aminophiline dosis 5 mg dan Dexamethason 1/3 ampul secara parenteral intravena.<br />R : Klien tampak menyeringai ekspresi kesakitan<br />H : Obat bronckodilator telah diinjekan pada jam 08.00 WIB<br />1. Mengobservasi pemberian Therapi O2 5 liter/menit sungkup<br />R : klien tampak lemah dan pernapasan cepat dan dangkal<br />H : Oksigen telah terpasang dengan sungkup 5 liter/menit<br />2. Memberikan injeksi Aminophiline dosis 5 mg dan Dexamethason 1/3 ampul secara parenteral intravena<br />R : Klien tampak menyeringai ekspresi kesakitan<br />H : Obat bronckodilator telah diinjekan pada jam 08.00 WIB<br />1. Mengatur posisi kepala bayi sedikit ekstensi<br />R : Klien tampak lemah<br />H : Posisi kepala sudah semi ekstensi<br />2. Mengobservasi pemberian Therapi O2 sesuai 5 liter/menit sungkup<br />R : Klien tampak lemah dan pernapasan cepat dan dangkal<br />H : Oksigen telah terpasang dengan sungkup 5 liter/menit<br />3. Memonitor irama, kedalaman frekuensi pernafasan bayi<br />R : Sesak masih terlihat<br />H : Frekuensi pernapasan 70x/menit, retraksi dinding dada berlebihan tidak<br />terdapat suara nafas tambahan<br />4. memberikan injeksi obat Aminophiline dosis 5 mg dan Dexamethason 1/3 ampul secara parenteral intravena.<br />R : Klien tampak menyeringai ekspresi kesakitan<br />H : Obat bronckodilator telah diinjekan pada jam 08.00 WIB<br />2 Gangguan Thermoregulasi Hipertermi berhubungan dengan cairan yang diperoleh/sediaan cairan dalam tubuh bayi<br />13-12-2008<br />Pukul 08.00 WIB<br />08.05 WIB<br />08.10 WIB<br />15-12-2008<br />08.00 WIB<br />08.05 WIB<br />16-12-2008<br />08.00 WIB<br />08.05 WIB 1. Mengobservasi TTV Bayi<br />R : Klien tampak menangis dan meringgis<br />H : Vital Sign bayi<br />S : 39.1 0C<br />N: 138 x/menit<br />R :76x/menit<br />2. Memberikan Sanmol Drop 0.2 cc secara parenteral selang NGT.<br />R : Klien Tampak menyeringai dan menangis<br />H : Obat antipiretik telah diberikan<br />3. Mengatur suhu inkubator 35 0C<br />R : Bayi berada dalam inkubator<br />H : Suhu inkubator telah disesuaikan 35 0 C<br />1. Mengobservasi TTV Bayi<br />R : Klien tampak menangis dan meringgis<br />H : Vital Sign bayi<br />S : 37,6 0C P: 120 x/menit<br />R :74x/menit<br />2. Memberikan obat antipiretik Sanmol Drop 0.2 cc 2x perhari secara parenteral selang NGT.<br />R : Klien Tampak menyeringai dan menangis<br />H : Obat antipiretik telah diberikan<br />1. Mengobservasi TTV Bayi<br />R : Klien tampak menangis dan meringgis<br />H : Vital Sign bayi<br />S : 370C P: 120 x/menit<br />R :70 x/menit<br />2. Memberikan obat antipiretik Sanmol Drop 0.2 cc 2x perhari secara parenteral selang NGT.<br />R : Klien Tampak menyeringai dan menangis<br />H : Obat antipiretik telah diberikan<br />3 Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan Imaturitas sistem pencernaan 13-12-2008<br />09.00 WIB<br />09.05 WIB<br />15-12-2008<br />09.05 WIB<br />09.10 WIB<br />16-12-2008<br />09.05 WIB<br />09.10 WIB 1. Mengkaji reflek hisap dan menelan bayi<br />R : Bayi merespon dengan menjulurkan lidah pada saat disentuh bibirnya<br />H : Reflek menelan dan menghisap ada tetapi lemah dan terpasang selang NGT<br />2. MemberikanPASI sebanyak 5-7,5 cc melalui selang NGT<br />R : Klien tampak lemah<br />H : PASI telah diberikan sebanyak 7,5 cc melalUI selan NGT<br />3. Menimbang BB / hari dengan timbangan yang sama<br />R : Klien tampak lemah pergerakan kurang aktif<br />H : BB Klien 1200 gram<br />3. Melakukan kolaborasi pemberian cairan sesuai kebutuhan .<br />H : Kebutuhan cairan Bayi adalah 10 tts/menit (240 ml)<br />1 Memberikan PASI sebanyak 5-7,5 cc melalui selang NGT<br />R : Klien tampak lemah<br />H : PASI telah diberikan sebanyak 7,5 cc melalui selang NGT pada pukul 08.10<br />WIB<br />2 Melakukan kolaborasi pemberian cairan sesuai kebutuhan .<br />H : Kebutuhan cairan Bayi adalah 10 tts/menit (240 ml)<br />1. Memberikan PASI sebanyak 5-7,5 cc melalui selang NGT<br />R : Klien tampak lemah<br />H : PASI telah diberikan sebanyak 7,5 cc melalui selang NGT pada pukul 09.00<br />WIB<br />2. Melakukan kolaborasi pemberian cairan sesuai kebutuhan .<br />H : Kebutuhan cairan Bayi adalah 10 tts/menit (240 ml)<br />4 Gangguan rasa aman : Cemas Orang tua berhubungan dengan tidak terjadinya Bonding Attachment. 13-12-2008<br />11.30 WIB<br />15-12-2008<br />10.00 WIB 1. Mengkaji kecemasan keluarga<br />R : Keluarga mau berkomunikasi dengan perawat dan kooperatif<br />H : Orang tua klien mengatakan khawatir tehadap kondisi bayinya saat ini<br />2. Mengkaji pengetahuan orang tua tentang penyakit dan keadaan bayinya<br />R : Orang tua tidak mengerti dengan keadaan yang dialami bayinya.<br />H : Orang tua tidak mengetahui penyakit yang diderita bayinya<br />3. Memberi penjelasan tentang keadaan bayinya saat ini<br />R : Orang tua bayi tampak cemas<br />H : Orang tua tampak mengerti dengan penjelasan yang disampaikan perawat.<br />4. Memberi waktu keluarga untuk bertemu dengan bayinya<br />H : Orang tua telah melihat bayinya dari luar jendela ruangan dan tampak senang..<br />5. Memberi waktu keluarga untuk mengungkapkan perasaannya<br />R : Orang tua kooperatif<br />H : Orang tua berharap semoga bayinya cepat sembuh dan segera dibawa pulang.<br />.<br />1. Mengkaji kembali kecemasan keluarga<br />R : Keluarga mau berkomunikasi dengan perawat dan kooperatif<br />H : Orang tua klien mengatakan masih khawatir tehadap kondisi bayinya<br />2. Memberi waktu keluarga untuk bertemu dengan bayinya<br />H : Orang tua telah melihat bayinya dari luar jendela ruangan dan tampak<br />senang. dan ingin segera membawa bayinya pulang<br />5 Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan imaturitas sistem imunologi<br />13-12-2008<br />08.00 wib<br />08.05 WIB<br />12.00 WIB<br />15-12-2008<br />08.00 WIB<br />08.05 WIB<br />12.00 WIB 1. Mengkaji tanda – tanda infeksi pada daerah yang terpasang infus dan NGT<br />R : Klien tampak lemah dan gerakan kurang aktif<br />H : Pada daerah yang terpasang infus lerlihat ruam merah dan sedikit bengkak.<br />2. Memberikan anti biotik Efotak 100mg<br />R : Klien tampak lemah<br />H : Antibiotik telah diinjekan melalui selang IVFD<br />3. Melakukan kolaborasi pemberian anti biotik Gentamycin 5mg hari pada jam R : Klien tampak tertidur<br />H : Antibiotik telah diinjekan melalui selang IVFD<br />1. Mengkaji tanda – tanda infeksi pada daerah yang terpasang infus dan NGT<br />R : Klien tampak lemah dan gerakan kurang aktif<br />H : Pada daerah yang terpasang infus lerlihat ruam merah dan sedikit bengkak.<br />2. Memberikan anti biotik Efotak 100mg<br />R : Klien tampak lemah<br />H : Antibiotik telah diinjekan melalui selang IVFD<br />3. Melakukan kolaborasi pemberian anti biotik Gentamycin 5mg hari pada jam R : Klien tampak tertidur<br />4. H : Antibiotik telah diinjekan melalui selang IVFD<br />H. EVALUASI KEPERAWATAN<br />Nama : By. Y No Medrek : 407221<br />Umur : 7 hari Dx Medis : BBLSR + Asfiksia<br />NO DIAGNOSA<br />KEPERAWATAN TANGGAL /PUKUL EVALUASI TTD<br />1 Gangguan pertukaran O2 berhubungan dengan Asfiksia<br />17-12-2008<br />Pkl. 08.00 S :<br />O :<br />• Bayi terlihat Sesaknya berkurang<br />• R : 68 x/menit<br />• O2 masih terpasang secara binasal 2 liter/menit<br />• Retraksi rongga epigastrium<br />• PCH tidak terdapat<br />• Tidak terjadi cyanosis<br />A : Masalah teratasi sebagian<br />P : Lanjutkan intervensi<br />I :<br />• Atur posisi kepala bayi sedikit ekstensi<br />• Therapi O2 sesuai kebutuhan<br />• Monitor frekuensi pernafasan bayi<br />• Monitor saturasi O2 tiap 2 jam<br />• Kolaborasi pemberian obat bronchodilator sesuai kebutuhan<br />2 Gangguan Thermoregulasi Hipertermi berhubungan dengan cairan yang diperoleh/sediaan cairan dalam tubuh bayi<br />17-12-2008<br />Pkl. 08.10 Wib S :<br />O :<br />• Keadaan umum bayi lemah dan gerakannya kurang aktif<br />• Bayi masih dalam inkubator<br />• Tanda-tanda vital<br />S: 36.5 0 C P: 108 x/ menit R. 68 x/menit<br />• Bayi dibedong dengan kain yang bersih dan hangat<br />• Kulit tipis dan belum terbentuk jaringan lemak<br />A : Masalah teratasi<br />P : Lanjutkan intervensi<br />I :<br />• Observasi TTV<br />• Atur suhu inkubator sesuai dengan suhu ruangan<br />• Kaji penyebab hipertermi/hipotermi<br />• Ganti popok apabila basah<br />Kolaborasi pemberian antipiretik sesuai kebutuhan<br />3 Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan Imaturitas sistem pencernaan 17-12-2008<br />Pkl. 09.00 Wib S: -<br />O:<br />• NGT tidak terpasang<br />• Muntah tidak ada<br />• Replek menghisap ada dan lemah<br />• PASI peroral 2 jam sekali sebanyak 5 cc<br />• BB: 1200 gram<br />• Turgor kulit tidak elastis<br />• IVFD D5 ½ NS Mikro drip 10 tts/menit<br />A : Masalah teratasi sebagian<br />P : Lanjutkan Intervensi<br />I :<br />• Kaji reflek hisap dan menelan bayi<br />• Timbang BB / hari dengan timbangan yang sama<br />• Beri ASI atau PASI tiap 2 jam jika tidak terjadi retensi<br />• Bersihkan sisa-sisa susu di mulut bayi<br />• Observasi intake dan output cairan<br />• Kaji Bab dan BAK bayi<br />• Kolaborasi pemberian cairan sesuai kebutuhan perhari<br />4 Gangguan rasa aman : Cemas Orang tua berhubungan dengan tidak terjadinya Bonding Attachment. 17-12-2008<br />Pkl. 11.00 WIB S :<br />Orang tua bayi mengatakan ingin segera membawa pulang bayinya dan kapan bayinya sembuh<br />O :<br />• Orang tua klien tampak gelisah<br />• Orang tua klien kooperatif<br />• Orang tua klien tampak cemas<br />A : Masalah teratasi sebagian<br />P : Lanjutkan intervensi<br />I :<br />• Kaji tingkat kecemasan Orang Tua<br />• Kaji tingakat pengetahuan Orang Tua<br />• Beri waktu keluarga untuk bertemu dengan bayinya<br />• Beri penjelasan tentang keadaan bayinya<br />• Beri waktu keluarga untuk mengungkapkan perasaannya<br />• Motivasi Orang tua bayi agar selalu menjenguk selam bayi salam perawatan<br />5 Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan imaturitas sistem imunologi<br />17-12-2008<br />Pkl. 12.00 WIB S :<br />O :<br />• Tanda-tanda vital<br />• S: 36.8 0 C P: 102 x/menit R. 68 x/menit<br />• Terdapat bengkak pada daerah yang terpasang IVFD.<br />• Terpasang IVFD D5 ½ Ns 10 tts/menit<br />A : Masalah teratasi sebagian<br />P : Lanjutkan intervensi<br />I :<br />• Kaji tanda – tanda infeksi<br />• Melakukan perawatan NGT dan Infus<br />• Observasi TTV<br />• Kolaborasi pemberian antibiotik<br /><br />BAB IV<br />PEMBAHASAN<br />Berdasarkan study kasus BBLSR dengan Asfiksia pada By. Y di Ruang Perinatologi/Dahlia RSUD Kardinah Tegal, ditemukan beberapa masalah keperawatan yaitu :<br />6. Gangguan pertukaran O2 berhubungan dengan Imaturitas sistem pernafasan<br />7. Gangguan Thermoregulasi: Hipertermi berhubungan dengan cairan yang diperoleh/sediaan cairan dalam tubuh bayi<br />8. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan Imaturitas sistem pencernaan<br />9. Gangguan rasa aman : Cemas Orang tua berhubungan dengan proses hospitalisasi<br />10. Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan imaturitas sistem imunologi<br />Sedangkan masalah keperawatan pada teori :<br />1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kurangnya transfer oksigen dari ibu ke janin.<br />2. Resiko tinggi gangguan keseimbangan asam basa : Asidosis metabolik dan respiratory berhubungan dengan kegagalan bernafas.<br />3. Resiko tinggi kurangnya volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan pembatasan intake.<br />4. Resiko tinggi komplikasi Hipoglikemia berhubungan dengan peningkatan metabolisme.<br />Dari beberapa diagnosa yang di temukan dilapangan, ada beberapa diagnosa yang tidak muncul pada teori diantaranya :<br />1. Gangguan rasa aman : Cemas Orang tua berhubungan dengan proses hospitalisasi<br />2. Gangguan Thermoregulasi: Hipertermi berhubungan dengan cairan yang diperoleh/sediaan cairan dalam tubuh bayi<br />3. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan Imaturitas sistem pencernaan<br />4. Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan imaturitas sistem imunologi<br /><br /><br />F. ASUHAN KEPERAWATAN <br /><br />No Diagnosa Keperawatan Tujuan/Kriteria Rencana Tindakan <br />1.<br />2. Pola nafas tidak efektif b/d tidak adekuatnya ekspansi paru<br />Gangguan pertukaran gas b/d kurangnya ventilasi alveolar sekunder terhadap defisiensi surfaktan Pola nafas yang efektif<br />Kriteria :<br />Kebutuhan oksigen <br />menurun<br />Nafas spontan, adekuat<br />Tidak sesak.<br />Tidak ada retraksi<br />Pertukaran gas adekuat<br />Kriteria :<br />Tidak sianosis.<br />Analisa gas darah normal<br />Saturasi oksigen normal. Berikan posisi kepala sedikit ekstensi<br />Berikan oksigen dengan metode yang sesuai<br />Observasi irama, kedalaman dan frekuensi pernafasan<br />Lakukan isap lendir kalau perlu<br />Berikan oksigen dengan metode yang sesuai<br />Observasi warna kulit<br />Ukur saturasi oksigen<br />Observasi tanda-tanda perburukan pernafasan<br />Lapor dokter apabila terdapat tanda-tanda perburukan pernafasan<br />Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa gas darah<br />Kolaborasi dalam pemeriksaan surfaktan <br />No Diagnosa Keperawatan Tujuan/Kriteria Rencana Tindakan <br />3.<br />4.<br />5 Resiko tinggi gangguan keseimbangan keseimbangan cairan dan elektrolit b/d ketidakmampuan ginjal mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit<br />Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak adekuatnya persediaan zat besi, kalsium, metabolisme yang tinggi dan intake yang kurang adekuat<br />Resiko tinggi hipotermi atau hipertermi b/d imaturitas fungsi termoregulasi atau perubahan suhu lingkungan Hidrasi baik<br />Kriteria:<br />Turgor kulit elastik<br />Tidak ada edema<br />Produksi urin 1-2 cc/kgbb/jam<br />Elektrolit darah dalam batas normal<br />Nutrisi adekuat<br />Kriteria :<br />Berat badan naik 10-30 gram / hari<br />Tidak ada edema<br />Protein dan albumin darah dalam batas normal<br />Suhu bayi stabil<br />Suhu 36,5 0C -37,2 0C<br />Akral hangat Observasi turgor kulit.<br />Catat intake dan output<br />Kolaborasi dalam pemberian cairan intra vena dan elektrolit<br />Kolaborasi dalam pemeriksaan elektrolit darah<br />Berikan ASI/PASI dengan metode yang tepat<br />Observasi dan catat toleransi minum<br />Timbang berat badan setiap hari<br />Catat intake dan output<br />Kolaborasi dalam pemberian total parenteral nutrition kalau perlu<br />Rawat bayi dengan suhu lingkungan sesuai<br />Hindarkan bayi kontak langsung dengan benda sebagai sumber dingin/panas<br />Ukur suhu bayi setiap 3 jam atau kalau perlu<br />Ganti popok bila basah <br />No Diagnosa Keperawatan Tujuan/Kriteria Rencana Tindakan <br />6.<br />7.<br />8. Resiko tinggi terjadi gangguan perfusi jaringan b/d imaturitas fungsi kardiovaskuler<br />Resiko tinggi injuri susunan saraf pusat b/d hipoksia<br />Resiko tinggi infeksi b/d imaturitas fungsi imunologik Perfusi jaringan baik<br />Tekanan darah normal<br />Pengisian kembali kapiler <2><br />Akral hangat dan tidak sianosis<br />Produksi urin 1-2 cc/kgbb/jam<br />Kesadaran composmentis<br />Tidak ada injuri<br />Kriteria :<br />Kesadaran composmentis<br />Gerakan aktif dan terkoordinasi<br />Tidak ada kejang ataupun twitching<br />Tidak ada tangisan melengking<br />Hasil USG kepala dalam batas normal<br />Bayi tidak terinfeksi<br />Kriteria :<br />Suhu 36,5 0C -37,2 0C<br />Darah rutin normal Ukur tekanan darah kalau perlu<br />Observasi warna dan suhu kulit<br />Observasi pengisian kembali kapiler<br />Observasi adanya edema perifer<br />Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium<br />Kolaborasi dalam pemberian obat-obatan<br />Cegah terjadinya hipoksia<br />Ukur saturasi oksigen<br />Observasi kesadaran dan aktifitas bayi<br />Observasi tangisan bayi<br />Observasi adanya kejang<br />Lapor dokter apabila ditemukan kelainan pada saat observasi<br />Ukur lingkar kepala kalau perlu<br />Kolaborasi dalam pemeriksaan USG kepala<br />Hindari bayi dari orang-orang yang terinfeksi kalau perlu rawat dalam inkubator<br />Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan bayi<br />Lakukan tehnik aseptik dan antiseptik bila melakukan prosedur invasif <br />No Diagnosa Keperawatan Tujuan/Kriteria Rencana Tindakan<br />9.<br />10.<br />11. Resiko tinggi gangguan integritas kulit b/d imaturitas struktur kulit<br />Gangguan persepsi-sensori : penglihatan, pendengaran, penciuman, taktil b/d stimulus yang kurang atau berlebihan dari lingkungan perawatan intensif<br />Koping keluarga tidak efektif b/d kondisi kritis pada bayinya, perawatan yang lama dan takut untuk merawat bayinya setelah pulang dari RS Integritas kulit baik<br />Kriteria :<br />Tidak ada rash<br />Tidak ada iritasi<br />Tidak plebitis<br />Persepsi dan sensori baik <br />Kriteria : <br />Bayi berespon terhadap stimulus<br />Koping keluarga efektif<br />Kriteria :<br />Ortu kooperatif dg perawatan bayinya.<br />Pengetahuan ortu bertambah<br />Orang tua dapat merawat bayi di rumah Lakukan perawatan tali pusat<br />Observasi tanda-tanda vital<br />Kolaborasi pemeriksaan darah rutin<br />Kolaborasi pemberian antibiotika<br />Kaji kulit bayi dari tanda-tanda kemerahan, iritasi, rash, lesi dan lecet pada daerah yang tertekan<br />Gunakan plester non alergi dan seminimal mungkin<br />Ubah posisi bayi dan pemasangan elektrode atau sensor<br />Membelai bayi sebelum malakukan tindakan<br />Mengajak bayi berbicara atau merangsang pendengaran bayi dengan memutarkan lagu-lagu yang lembut<br />Memberikan rangsang cahaya pada mata<br />Kurangi suara monitor jika memungkinkan<br />Lakukan stimulas untuk refleks menghisap dan menelan dengan memasang dot<br />Memberikan kesempatan pada ortu berkonsultasi dengan dokter<br />Rujuk ke ahli psikologi jika perlu<br />Berikan penkes cara perawatan bayi BBLR di rumah termasuk pijat bayi, metode kanguru, cara memandikan<br />Lakukan home visit jika bayi pulang dari RS untuk menilai kemampuan orang tua merawat bayinyarisda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2674685999395418367.post-70677223613417646982010-02-19T20:01:00.000-08:002010-02-19T20:02:23.331-08:00ASUHAN KEPERAWATAN ASFIKSIA NEONATORUM<br />A. PENGERTIAN<br />Asfiksia Neonatus adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang tidak segera bernafas secara spontan dan teratur setelah dilahirkan. (Mochtar, 1989)<br />Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas spontan dan teratur, sehingga dapat meurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut. (Manuaba, 1998)<br />Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur dalam satu menit setelah lahir (Mansjoer, 2000)<br />Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis, bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya. (Saiffudin, 2001)<br />Asfiksia lahir ditandai dengan hipoksemia (penurunan PaO2), hiperkarbia (peningkatan PaCO2), dan asidosis (penurunan PH).<br /><br />B. JENIS ASFIKSIA<br />Ada dua macam jenis asfiksia, yaitu :<br />1. Asfiksia livida (biru)<br />2. Asfiksia pallida (putih)<br /><br /><br />C. KLSIFIKASI ASFIKSIA<br />Klasifikasi asfiksia berdasarkan nilai APGAR<br />a. Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3<br />b. Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6<br />c. Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9<br />d. Bayi normal dengan nilai APGAR 10<br /><br />D. ETIOLOGI<br />Penyebab asfiksia menurut Mochtar (1989) adalah :<br />1. Asfiksia dalam kehamilan<br />a. Penyakit infeksi akut<br />b. Penyakit infeksi kronik<br />c. Keracunan oleh obat-obat bius<br />d. Uraemia dan toksemia gravidarum<br />e. Anemia berat<br />f. Cacat bawaan<br />g. Trauma<br />2. Asfiksia dalam persalinan<br />a. Kekurangan O2.<br />• Partus lama (CPD, rigid serviks dan atonia/ insersi uteri)<br />• Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus yang terus-menerus mengganggu sirkulasi darah ke uri.<br />• Tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada plasenta.<br />• Prolaps fenikuli tali pusat akan tertekan antara kepaladan panggul.<br />• Pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada waktunya.<br />• Perdarahan banyak : plasenta previa dan solutio plasenta.<br />• Kalau plasenta sudah tua : postmaturitas (serotinus), disfungsi uteri.<br /><br />b. Paralisis pusat pernafasan<br />• Trauma dari luar seperti oleh tindakan forseps<br />• Trauma dari dalam : akibat obet bius.<br />Penyebab asfiksia Stright (2004)<br />1. Faktor ibu, meliputi amnionitis, anemia, diabetes hioertensi ynag diinduksi oleh kehamilan, obat-obatan iinfeksi.<br />2. Faktor uterus, meliputi persalinan lama, persentasi janin abnormal.<br />3. Faktor plasenta, meliputi plasenta previa, solusio plasenta, insufisiensi plasenta.<br />4. Faktor umbilikal, meliputi prolaps tali pusat, lilitan tali pusat.<br />5. Faktor janin, meliputi disproporsi sefalopelvis, kelainan kongenital, kesulitan kelahiran.<br /><br />E. MANIFESTASI KLINIK<br />1. Pada Kehamilan<br />Denyut jantung janin lebih cepat dari 160 x/mnt atau kurang dari 100 x/mnt, halus dan ireguler serta adanya pengeluaran mekonium.<br />• Jika DJJ normal dan ada mekonium : janin mulai asfiksia<br />• Jika DJJ 160 x/mnt ke atas dan ada mekonium : janin sedang asfiksia<br />• Jika DJJ 100 x/mnt ke bawah dan ada mekonium : janin dalam gawat<br /><br />2. Pada bayi setelah lahir<br />a. Bayi pucat dan kebiru-biruan<br />b. Usaha bernafas minimal atau tidak ada<br />c. Hipoksia<br />d. Asidosis metabolik atau respiratori<br />e. Perubahan fungsi jantung<br />f. Kegagalan sistem multiorgan<br />g. Kalau sudah mengalami perdarahan di otak maka ada gejala neurologik : kejang, nistagmus, dan menangis kurang baik/ tidak menangis.<br /><br />F. PATOFISIOLOGI<br />Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbulah rangsangan terhadap nervus vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin) menjadi lambat. Jika kekurangan O2 terus berlangsung maka nervus vagus tidak dapat dipengaruhi lagi. Timbulah kini rangsangan dari nervus simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih cepat akhirnya ireguler dan menghilang. Janin akan mengadakan pernafasan intrauterin dan bila kita periksa kemudian terdapat banyak air ketuban dan mekonium dalam paru, bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis. Bila janin lahir, alveoli tidak berkembang.<br />Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan ganti, denyut jantung mulai menurun sedangkan tonus neuromuskuler berkurang secara berangsur-angsur dan bayi memasuki periode apneu primer.<br />Jika berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan yang dalam, denyut jantung terus menurun , tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terluhat lemas (flascid). Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode apneu sekunder. Selama apneu sekunder, denyut jantung, tekanan darah dan kadar O2 dalam darah (PaO2) terus menurun. Bayi sekarang tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak akan menunjukkan upaya pernafasan secara spontan. Kematian akan terjadi jika resusitasi dengan pernafasan buatan dan pemberian tidak dimulai segera.<br /><br />G. PATHWAY ASFIKSIA NEONATORUM<br />Untuk Melihat Pathway klik DI SINI<br />Untuk Mendownload Pathway klik DI SINI<br /><br />H. KEMUNGKINAN KOMPLIKASI YANG MUNCUL<br />Komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatus antara lain :<br />1. Edema otak & Perdarahan otak<br />Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah berlarut sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak pun akan menurun, keadaaan ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak yang berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga dapat menimbulkan perdarahan otak.<br />2. Anuria atau oliguria<br />Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia, keadaan ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya, yang disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung akan lebih banyak mengalir ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya hipoksemia pada pembuluh darah mesentrium dan ginjal yang menyebabkan pengeluaran urine sedikit.<br />3.Kejang<br />Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran gas dan transport O2 sehingga penderita kekurangan persediaan O2 dan kesulitan pengeluaran CO2 hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak tersebut karena perfusi jaringan tak efektif.<br />4. Koma<br />Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan menyebabkan koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan pada otak.<br /><br />I. PENATALAKSANAAN<br />Telah Di bahas sebelumnya di daLam PROSEDUR PENATALAKSANAAN ASFIKSIA NEONATORUM<br /><br />ASUHAN KEPERWATAN<br />PADA BAYI DENGAN ASFIKSIA<br /><br />A. PENGKAJIAN<br />1. Sirkulasi<br />• Nadi apikal dapat berfluktuasi dari 110 sampai 180 x/mnt. Tekanan darah 60 sampai 80 mmHg (sistolik), 40 sampai 45 mmHg (diastolik).<br />• Bunyi jantung, lokasi di mediasternum dengan titik intensitas maksimal tepat di kiri dari mediastinum pada ruang intercosta III/ IV.<br />• Murmur biasa terjadi di selama beberapa jam pertama kehidupan.<br />• Tali pusat putih dan bergelatin, mengandung 2 arteri dan 1 vena.<br />2. Eliminasi<br />• Dapat berkemih saat lahir.<br />3. Makanan/ cairan<br />• Berat badan : 2500-4000 gram<br />• Panjang badan : 44-45 cm<br />• Turgor kulit elastis (bervariasi sesuai gestasi)<br />4. Neurosensori<br />• Tonus otot : fleksi hipertonik dari semua ekstremitas.<br />• Sadar dan aktif mendemonstrasikan refleks menghisap selama 30 menit pertama setelah kelahiran (periode pertama reaktivitas). Penampilan asimetris (molding, edema, hematoma).<br />• Menangis kuat, sehat, nada sedang (nada menangis tinggi menunjukkan abnormalitas genetik, hipoglikemi atau efek narkotik yang memanjang)<br />5. Pernafasan<br />• Skor APGAR : 1 menit......5 menit....... skor optimal harus antara 7-10.<br />• Rentang dari 30-60 permenit, pola periodik dapat terlihat.<br />• Bunyi nafas bilateral, kadang-kadang krekels umum pada awalnya silindrik thorak : kartilago xifoid menonjol, umum terjadi.<br /><br />6. Keamanan<br />• Suhu rentang dari 36,5º C sampai 37,5º C. Ada verniks (jumlah dan distribusi tergantung pada usia gestasi).<br />• Kulit : lembut, fleksibel, pengelupasan tangan/ kaki dapat terlihat, warna merah muda atau kemerahan, mungkin belang-belang menunjukkan memar minor (misal : kelahiran dengan forseps), atau perubahan warna herlequin, petekie pada kepala/ wajah (dapat menunjukkan peningkatan tekanan berkenaan dengan kelahiran atau tanda nukhal), bercak portwine, nevi telengiektasis (kelopak mata, antara alis mata, atau pada nukhal) atau bercak mongolia (terutama punggung bawah dan bokong) dapat terlihat. Abrasi kulit kepala mungkin ada (penempatan elektroda internal)<br /><br />B. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK<br />• PH tali pusat : tingkat 7,20 sampai 7,24 menunjukkan status parasidosis, tingkat rendah menunjukkan asfiksia bermakna.<br />• Hemoglobin/ hematokrit (HB/ Ht) : kadar Hb 15-20 gr dan Ht 43%-61%.<br />• Tes combs langsung pada daerah tali pusat. Menentukan adanya kompleks antigen-antibodi pada membran sel darah merah, menunjukkan kondisi hemolitik.<br /><br />C. PRIORITAS KEPERAWATAN<br />• Meningkatkan upaya kardiovaskuler efektif.<br />• Memberikan lingkungan termonetral dan mempertahankan suhu tubuh.<br />• Mencegah cidera atau komplikasi.<br />• Meningkatkan kedekatan orang tua-bayi.<br /><br />D. DIAGNOSA KEPERAWATAN<br />I. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d produksi mukus banyak.<br />II. Pola nafas tidak efektif b.d hipoventilasi/ hiperventilasi<br />III. Kerusakan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan perfusi ventilasi.<br />IV. Risiko cedera b.d anomali kongenital tidak terdeteksi atau tidak teratasi pemajanan pada agen-agen infeksius.<br />V. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh b.d kurangnya suplai O2 dalam darah.<br />VI. Proses keluarga terhenti b.d pergantian dalam status kesehatan anggota keluarga.<br /><br /><br /><br />E. INTERVENSI<br />DP I. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d produksi mukus banyak.<br />Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan jalan nafas lancar.<br />NOC I : Status Pernafasan : Kepatenan Jalan Nafas<br />Kriteria Hasil :<br />1. Tidak menunjukkan demam.<br />2. Tidak menunjukkan cemas.<br />3. Rata-rata repirasi dalam batas normal.<br />4. Pengeluaran sputum melalui jalan nafas.<br />5. Tidak ada suara nafas tambahan.<br />NOC II : Status Pernafasan : Pertukaran Gas<br />Kriteria Hasil :<br />1. Mudah dalam bernafas.<br />2. Tidak menunjukkan kegelisahan.<br />3. Tidak adanya sianosis.<br />4. PaCO2 dalam batas normal.<br />5. PaO2 dalam batas normal.<br />6. Keseimbangan perfusi ventilasi<br /><br />Keterangan skala :<br />1 : Selalu Menunjukkan<br />2 : Sering Menunjukkan<br />3 : Kadang Menunjukkan<br />4 : Jarang Menunjukkan<br />5 : Tidak Menunjukkan<br />NIC I : Suction jalan nafas<br />Intevensi :<br />1. Tentukan kebutuhan oral/ suction tracheal.<br />2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suction .<br />3. Beritahu keluarga tentang suction.<br />4. Bersihkan daerah bagian tracheal setelah suction selesai dilakukan.<br />5. Monitor status oksigen pasien, status hemodinamik segera sebelum, selama dan sesudah suction.<br />NIC II : Resusitasi : Neonatus<br />1. Siapkan perlengkapan resusitasi sebelum persalinan.<br />2. Tes resusitasi bagian suction dan aliran O2 untuk memastikan dapat berfungsi dengan baik.<br />3. Tempatkan BBL di bawah lampu pemanas radiasi.<br />4. Masukkan laryngoskopy untuk memvisualisasi trachea untuk menghisap mekonium.<br />5. Intubasi dengan endotracheal untuk mengeluarkan mekonium dari jalan nafas bawah.<br />6. Berikan stimulasi taktil pada telapak kaki atau punggung bayi.<br />7. Monitor respirasi.<br />8. Lakukan auskultasi untuk memastikan vetilasi adekuat.<br /><br />DP II. Pola nafas tidak efektif b.d hipoventilasi/ hiperventilasi.<br />Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pola nafas menjadi efektif.<br />NOC : Status respirasi : Ventilasi<br />Kriteria hasil :<br />1. Pasien menunjukkan pola nafas yang efektif.<br />2. Ekspansi dada simetris.<br />3. Tidak ada bunyi nafas tambahan.<br />4. Kecepatan dan irama respirasi dalam batas normal.<br />Keterangan skala :<br />1 : Selalu Menunjukkan<br />2 : Sering Menunjukkan<br />3 : Kadang Menunjukkan<br />4 : Jarang Menunjukkan<br />5 : Tidak Menunjukkan<br />NIC : Manajemen jalan nafas<br />Intervensi :<br />1) Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan melakukan pengisapan lender.<br />2) Pantau status pernafasan dan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan.<br />3) Auskultasi jalan nafas untuk mengetahui adanya penurunan ventilasi.<br />4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemeriksaan AGD dan pemakaian alan bantu nafas<br />5) Siapkan pasien untuk ventilasi mekanik bila perlu.<br />6) Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan.<br /><br />DP III. Kerusakan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan perfusi ventilasi.<br />Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pertukaran gas teratasi.<br />NOC : Status respiratorius : Pertukaran gas<br />Kriteria hasil :<br />1. Tidak sesak nafas<br />2. Fungsi paru dalam batas normal<br />Keterangan skala :<br />1 : Selalu Menunjukkan<br />2 : Sering Menunjukkan<br />3 : Kadang Menunjukkan<br />4 : Jarang Menunjukkan<br />5 : Tidak Menunjukkan<br />NIC : Manajemen asam basa<br />Intervensi :<br />1) Kaji bunyi paru, frekuensi nafas, kedalaman nafas dan produksi sputum.<br />2) Pantau saturasi O2 dengan oksimetri<br />3) Pantau hasil Analisa Gas Darah<br /><br />DP IV. Risiko cedera b.d anomali kongenital tidak terdeteksi atau tidak teratasi pemajanan pada agen-agen infeksius.<br />Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan risiko cidera dapat dicegah.<br />NOC : Pengetahuan : Keamanan Anak<br />Kriteria hasil :<br />1. Bebas dari cidera/ komplikasi.<br />2. Mendeskripsikan aktivitas yang tepat dari level perkembangan anak.<br />3. Mendeskripsikan teknik pertolongan pertama.<br />Keterangan Skala :<br />1 : Tidak sama sekali<br />2 : Sedikit<br />3 : Agak<br />4 : Kadang<br />5 : Selalu<br />NIC : Kontrol Infeksi<br />Intervensi :<br />1. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah merawat bayi.<br />2. Pakai sarung tangan steril.<br />3. Lakukan pengkajian fisik secara rutin terhadap bayi baru lahir, perhatikan pembuluh darah tali pusat dan adanya anomali.<br />4. Ajarkan keluarga tentang tanda dan gejala infeksi dan melaporkannya pada pemberi pelayanan kesehatan.<br />5. Berikan agen imunisasi sesuai indikasi (imunoglobulin hepatitis B dari vaksin hepatitis B bila serum ibu mengandung antigen permukaan hepatitis B (Hbs Ag), antigen inti hepatitis B (Hbs Ag) atau antigen E (Hbe Ag).<br /><br />DP V. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh b.d kurangnya suplai O2 dalam darah.<br />Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan suhu tubuh normal.<br />NOC I : Termoregulasi : Neonatus<br />Kriteria Hasil :<br />1. Temperatur badan dalam batas normal.<br />2. Tidak terjadi distress pernafasan.<br />3. Tidak gelisah.<br />4. Perubahan warna kulit.<br />5. Bilirubin dalam batas normal.<br />Keterangan skala :<br />1 : Selalu Menunjukkan<br />2 : Sering Menunjukkan<br />3 : Kadang Menunjukkan<br />4 : Jarang Menunjukkan<br />5 : Tidak Menunjukkan<br />NIC I : Perawatan Hipotermi<br />Intervensi :<br />1. Hindarkan pasien dari kedinginan dan tempatkan pada lingkungan yang hangat.<br />2. Monitor gejala yang berhubungan dengan hipotermi, misal fatigue, apatis, perubahan warna kulit dll.<br />3. Monitor temperatur dan warna kulit.<br />4. Monitor TTV.<br />5. Monitor adanya bradikardi.<br />6. Monitor status pernafasan.<br />NIC II : Temperatur Regulasi<br />Intervensi :<br />1. Monitor temperatur BBL setiap 2 jam sampai suhu stabil.<br />2. Jaga temperatur suhu tubuh bayi agar tetap hangat.<br />3. Tempatkan BBL pada inkubator bila perlu.<br /><br />DP VI. Proses keluarga terhenti b.d pergantian dalam status kesehatan anggota keluarga.<br />Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan koping keluarga adekuat.<br />NOC I : Koping keluarga<br />Kriteria Hasil :<br />1. Percaya dapat mengatasi masalah.<br />2. Kestabilan prioritas.<br />3. Mempunyai rencana darurat.<br />4. Mengatur ulang cara perawatan.<br />Keterangan skala :<br />1 : Tidak pernah dilakukan<br />2 : Jarang dilakukan<br />3 : Kadang dilakukan<br />4 : Sering dilakukan<br />5 : Selalu dilakukan<br />NOC II : Status Kesehatan Keluarga<br />Kriteria Hasil :<br />1. Status kekebalan anggota keluarga.<br />2. Anak mendapatkan perawatan tindakan pencegahan.<br />3. Akses perawatan kesehatan.<br />4. Kesehatan fisik anggota keluarga.<br />Keterangan Skala :<br />1 : Selalu Menunjukkan<br />2 : Sering Menunjukkan<br />3 : Kadang Menunjukkan<br />4 : Jarang Menunjukkan<br />5 : Tidak Menunjukkan<br />NIC I : Pemeliharaan proses keluarga<br />Intervensi :<br />1. Tentukan tipe proses keluarga.<br />2. Identifikasi efek pertukaran peran dalam proses keluarga.<br />3. Bantu anggota keluarga untuk menggunakan mekanisme support yang ada.<br />4. Bantu anggota keluarga untuk merencanakan strategi normal dalam segala situasi.<br />NIC II : Dukungan Keluarga<br />Intervensi :<br />1. Pastikan anggota keluarga bahwa pasien memperoleh perawat yang terbaik.<br />2. Tentukan prognosis beban psikologi dari keluarga.<br />3. Beri harapan realistik.<br />4. Identifikasi alam spiritual yang diberikan keluarga.<br /><br />E. EVALUASI<br />DP I. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d produksi mukus banyak.<br />NOC I<br />Kriteria Hasil :<br />1. Tidak menunjukkan demam.(skala 3)<br />2. Tidak menunjukkan cemas.(skala 3)<br />3. Rata-rata repirasi dalam batas normal.(skala 3)<br />4. Pengeluaran sputum melalui jalan nafas.(skala 3)<br />5. Tidak ada suara nafas tambahan.(skala 3)<br /><br />NOC II<br />Kriteria Hasil :<br />1. Mudah dalam bernafas.(skala 3)<br />2. Tidak menunjukkan kegelisahan.(skala 3)<br />3. Tidak adanya sianosis.(skala 3)<br />4. PaCO2 dalam batas normal.(skala 3)<br />5. PaO2 dalam batas normal.(skala 3)<br /><br />DP II. Pola nafas tidak efektif b.d hipoventilasi/ hiperventilasi.<br />Kriteria hasil :<br />1. Pasien menunjukkan pola nafas yang efektif.(skala 3)<br />2. Ekspansi dada simetris.(skala 3)<br />3. Tidak ada bunyi nafas tambahan.(skala 3)<br />4. Kecepatan dan irama respirasi dalam batas normal.(skala 3)<br /><br />DP III. Kerusakan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan perfusi ventilasi.<br />Kriteria hasil :<br />1. Tidak sesak nafas.(skala 3)<br />2. Fungsi paru dalam batas normal.(skala 3)<br />DP IV. Risiko cedera b.d anomali kongenital tidak terdeteksi atau tidak teratasi pemajanan pada agen-agen infeksius.<br />1. Bebas dari cidera/ komplikasi.(skala 4)<br />2. Mendeskripsikan aktivitas yang tepat dari level perkembangan anak.(skala 4)<br />3. Mendeskripsikan teknik pertolongan pertama.(skala 4)<br /><br />DP V. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh b.d kurangnya suplai O2 dalam darah.<br />NOC I<br />Kriteria Hasil :<br />1. Temperatur badan dalam batas normal.(skala 3)<br />2. Tidak terjadi distress pernafasan. (skala 3)<br />3. Tidak gelisah. (skala 3)<br />4. Perubahan warna kulit. (skala 3)<br />5. Bilirubin dalam batas normal. (skala 3)<br />NOC II<br />Kriteria Hasil :<br />1. Status kekebalan anggota keluarga. (skala 3)<br />2. Anak mendapatkan perawatan tindakan pencegahan. (skala 3)<br />3. Akses perawatan kesehatan. (skala 3)<br />4. Kesehatan fisik anggota keluarga. (skala 3)<br /><br />DP IV. Risiko cedera b.d anomali kongenital tidak terdeteksi atau tidak teratasi pemajanan pada agen-agen infeksius.<br />NOC I<br />Kriteria Hasil :<br />1. Percaya dapat mengatasi masalah. (skala 3)<br />2. Kestabilan prioritas. (skala 3)<br />3. Mempunyai rencana darurat. (skala 3)<br />4. Mengatur ulang cara perawatan. (skala 3)<br />NOC II<br />Kriteria Hasil :<br />1. Status kekebalan anggota keluarga. (skala 3)<br />2. Anak mendapatkan perawatan tindakan pencegahan. (skala 3)<br />3. Akses perawatan kesehatan. (skala 3)<br />4. Kesehatan fisik anggota keluarga.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Carpenito. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC<br />Hassan, R dkk. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jilid 3. Jakarta : Informedika<br />Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid II. Jakarta : Media Aesculapius.<br />Santosa, B. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda. Definisi dan Klasifikasi. Jakarta : Prima Medika.<br />Wilkinson. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Criteria Hasil NOC. Edisi 7. Jakarta : EGC<br />Manuaba, I. B. 1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana. Jakarta : EGC<br />Mochtar. R. 1989. Sinopsis Obstetri. Jakarta : EGC<br />Saifudin. A. B. 2001. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka<br />Straight. B. R. 2004. Keperawatan Ibu Baru Lahir. Edisi 3. Jakarta : EGC<br />terdapat pada http: www. Freewebs.comasfiksia pola cidera asfiksia.htm (1 Juni 2008risda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2674685999395418367.post-27141797122924505682010-02-19T20:00:00.000-08:002010-02-19T20:01:29.375-08:00ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN DEMAM BERDARAH DENGUE<br />A. PENGERTIAN<br />DHF adalah suatu infeksi arbovirus akut yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk spesies aides. Penyakit ini sering menyerang anak, remaja, dan dewasa yang ditandai dengan demam, nyeri otot dan sendi. Demam Berdarah Dengue sering disebut pula Dengue Haemoragic Fever ( DHF ).<br />B. PATOFISIOLOGI<br />Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh badan, hiperemi ditenggorokan, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin muncul pada system retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam pada DHF disebabkan karena kongesti pembuluh darah dibawah kulit.<br />Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan DF dan DHF ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena pelepasan zat anafilaktosin, histamin dan serotonin serta aktivasi system kalikreain yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskuler. Hal ini berakibat berkurangnya volume plama, terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan.<br />Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler ibuktikan dengan ditemukannya cairan dalam rongga serosa, yaitu dalam rongga peritoneum, pleura dan perikard. Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan plasma, bila tidak segera teratasi akan terjadi anoxia jaringan, asidosis metabolic dan kematian. Sebab lain kematian pada DHF adalah perdarahan hebat. Perdarahan umumnya dihubungkan dengan trombositopenia, gangguan fungsi trombosit dan kelainan fungsi trombosit.<br />Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti dengan terdapatnya kompleks imun dalam peredaran darah. Kelainan system koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya memang tebukti terganggu oleh aktifasi system koagulasi. Masalah terjadi tidaknya DIC pada DHF/ DSS, terutama pada pasien dengan perdarahan hebat.<br />C. KLASIFIKASI DHF<br />WHO, 1986 mengklasifikasikan DHF menurut derajat penyakitnya menjadi 4 golongan, yaitu :<br />Derajat I<br />Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan. Panas 2-7 hari, Uji tourniquet positif, trombositipenia, dan hemokonsentrasi.<br />Derajat II<br />Sama dengan derajat I, ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan seperti petekie, ekimosis, hematemesis, melena, perdarahan gusi.<br />Derajat III<br />Ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat ( >120x/mnt ) tekanan nadi sempit ( ? 120 mmHg ), tekanan darah menurun, ( 120/80 ? 120/100 ? 120/110 ? 90/70 ? 80/70 ? 80/0 ? 0/0 )<br />Derajat IV<br />Nadi tidak teaba, tekanan darah tidak teatur ( denyut jantung ? 140x/mnt ) anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak biru.<br />D. TANDA DAN GEJALA<br />Selain tanda dan gejala yang ditampilkan berdasarkan derajat penyakitnya, tanda dangejala lain adalah :<br />- Hati membesar, nyeri spontan yang diperkuat dengan reaksi perabaan.<br />- Asites<br />- Cairan dalam rongga pleura ( kanan )<br />- Ensephalopati : kejang, gelisah, sopor koma.<br />E. PEMERIKSAAN DAN DIGNOSIS<br />- Trombositopeni ( ? 100.000/mm3)<br />- Hb dan PCV meningkat ( ? 20% )<br />- Leukopeni ( mungkin normal atau lekositosis )<br />- Isolasi virus<br />- Serologi ( Uji H ): respon antibody sekunder<br />- Pada renjatan yang berat, periksa : Hb, PCV berulang kali ( setiap jam atau 4-6 jam apabila sudah menunjukkan tanda perbaikan ), Faal hemostasis, FDP, EKG, Foto dada, BUN, creatinin serum.<br />F. ASUHAN KEPERAWATAN<br />1. Pengkajian<br />1.1 Identitas<br />DHF merupakan penyakit daerah tropis yang sering menyebabkan kematian anak, remaja dan dewasa ( Effendy, 1995 )<br />1.2 Keluhan Utama<br />Pasien mengeluh panas, sakit kepala, lemah, nyeri ulu hati, mual dan nafsu makan menurun.<br />1.3 Riwayat penyakit sekarang<br />Riwayat kesehatan menunjukkan adanya sakit kepala, nyeri otot, pegal seluruh tubuh, sakit pada waktu menelan, lemah, panas, mual, dan nafsu makan menurun.<br />1.4 Riwayat penyakit terdahulu<br />Tidak ada penyakit yang diderita secara specific.<br />1.5 Riwayat penyakit keluarga<br />Riwayat adanya penyakit DHF pada anggota keluarga yang lain sangat menentukan, karena penyakit DHF adalah penyakit yang bisa ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegipty.<br />1.6 Riwayat Kesehatan Lingkungan<br />Biasanya lingkungan kurang bersih, banyak genangan air bersih seperti kaleng bekas, ban bekas, tempat air minum burung yang jarang diganti airnya, bak mandi jarang dibersihkan.<br />1.7 Riwayat Tumbuh Kembang<br />1.8 Pengkajian Per Sistem<br />1.8.1 Sistem Pernapasan<br />Sesak, perdarahan melalui hidung, pernapasan dangkal, epistaksis, pergerakan dada simetris, perkusi sonor, pada auskultasi terdengar ronchi, krakles.<br />1.8.2 Sistem Persyarafan<br />Pada grade III pasien gelisah dan terjadi penurunan kesadaran serta pada grade IV dapat trjadi DSS<br />1.8.3 Sistem Cardiovaskuler<br />Pada grde I dapat terjadi hemokonsentrasi, uji tourniquet positif, trombositipeni, pada grade III dapat terjadi kegagalan sirkulasi, nadi cepat, lemah, hipotensi, cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari-jari, pada grade IV nadi tidak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.<br />1.8.4 Sistem Pencernaan<br />Selaput mukosa kering, kesulitan menelan, nyeri tekan pada epigastrik, pembesarn limpa, pembesaran hati, abdomen teregang, penurunan nafsu makan, mual, muntah, nyeri saat menelan, dapat hematemesis, melena.<br />1.8.5 Sistem perkemihan<br />Produksi urine menurun, kadang kurang dari 30 cc/jam, akan mengungkapkan nyeri sat kencing, kencing berwarna merah.<br />1.8.6 Sistem Integumen.<br />Terjadi peningkatan suhu tubuh, kulit kering, pada grade I terdapat positif pada uji tourniquet, terjadi pethike, pada grade III dapat terjadi perdarahan spontan pada kulit.<br />2. Diagnosa Keperawatan<br />2.1 Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi virus dengue<br />2.2 Resiko defisit cairan berhubungan dengan pindahnya ciran intravaskuler ke ekstravaskuler<br />2.3 Resiko syok hypovolemik berhubungan dengan perdarahan yang berlebihan, pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler<br />2.4 Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekwat akibat mual dan nafsu makan yang menurun.<br />2.5 Resiko terjadi perdarahn berhubungan dnegan penurunan factor-fakto pembekuan darah ( trombositopeni )<br />2.6 Kecemasan berhubungan dengan kondisi klien yang memburuk dan perdaahan<br />2.7 Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangya informasi.<br />3. Rencana Asuhan Keperawatan.<br />DP : Hipertermie berhubungan dengan proses infeksi virus dengue<br />Tujuan : Suhu tubuh normal<br />Kriteria hasil : Suhu tubuh antara 36 – 37<br />Nyeri otot hilang<br />Intervensi :<br />a. Beri komres air kran<br />Rasional : Kompres dingin akan terjadi pemindahan panas secara konduksi<br />b. Berika / anjurkan pasien untuk banyak minum 1500-2000 cc/hari ( sesuai toleransi )<br />Rasional : Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang akibat evaporasi.<br />c. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang tipis dan mudah menyerap keringat<br />Rasional : Memberikan rasa nyaman dan pakaian yang tipis mudah menyerap keringat dan tidak merangsang peningkatan suhu tubuh.<br />d. Observasi intake dan output, tanda vital ( suhu, nadi, tekanan darah ) tiap 3 jam sekali atau lebih sering.<br />Rasional : Mendeteksi dini kekurangan cairan serta mengetahui keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.<br />e. Kolaborasi : pemberian cairan intravena dan pemberian obat sesuai program.<br />Rasional : Pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tubuh yang tinggi. Obat khususnyauntuk menurunkan suhu tubuh pasien.<br />DP 2. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.<br />Tujuan : Tidak terjadi devisit voume cairan<br />Kriteria : Input dan output seimbang<br />Vital sign dalam batas normal<br />Tidak ada tanda presyok<br />Akral hangat<br />Capilarry refill < 3 detik<br />Intervensi :<br />a. Awasi vital sign tiap 3 jam/lebih sering<br />Rasional : Vital sign membantu mengidentifikasi fluktuasi cairan intravaskuler<br />b. Observasi capillary Refill<br />Rasional : Indikasi keadekuatan sirkulasi perifer<br />c. Observasi intake dan output. Catat warna urine / konsentrasi, BJ<br />Rasional : Penurunan haluaran urine pekat dengan peningkatan BJ diduga dehidrasi.<br />d. Anjurkan untuk minum 1500-2000 ml /hari ( sesuai toleransi )<br />Rasional : Untuk memenuhi kabutuhan cairan tubuh peroral<br />e. Kolaborasi : Pemberian cairan intravena<br />Rasional : Dapat meningkatkan jumlah cairan tubuh, untuk mencegah terjadinya hipovolemic syok<br />DP. 3 Resiko Syok hypovolemik berhubungan dengan perdarahan yang berlebihan, pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.<br />Tujuan : Tidak terjadi syok hipovolemik<br />Kriteria : Tanda Vital dalam batas normal<br />Intervensi :<br />a. Monitor keadaan umum pasien<br />Raional ; Untuk memonitor kondisi pasien selama perawatan terutama saat terdi perdarahan. Perawat segera mengetahui tanda-tanda presyok / syok<br />b. Observasi vital sign setiap 3 jam atau lebih<br />Rasional : Perawat perlu terus mengobaservasi vital sign untuk memastikan tidak terjadi presyok / syok<br />c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tanda perdarahan, dan segera laporkan jika terjadi perdarahan<br />Rasional : Dengan melibatkan psien dan keluarga maka tanda-tanda perdarahan dapat segera diketahui dan tindakan yang cepat dan tepat dapat segera diberikan.<br />d. Kolaborasi : Pemberian cairan intravena<br />Rasional : Cairan intravena diperlukan untuk mengatasi kehilangan cairan tubuh secara hebat.<br />e. Kolaborasi : pemeriksaan : HB, PCV, trombo<br />Rasional : Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang dialami pasien dan untuk acuan melakukan tindakan lebih lanjut. <br />DP. 4 Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat akibat mual dan nafsu makan yang menurun.<br />Tujuan : Tidak terjadi gangguan kebutuhan nutrisi<br />Kriteria : Tidak ada tanda-tanda malnutrisi<br />Menunjukkan berat badan yang seimbang.<br />Intervensi :<br />a. Kaji riwayat nutrisi, termasuk makanan yang disukai<br />Rasional : Mengidentifikasi defisiensi, menduga kemungkinan intervensi<br />b. Observasi dan catat masukan makanan pasien<br />Rasional : Mengawasi masukan kalori/kualitas kekurangan konsumsi makanan<br />c. Timbang BB tiap hari (bila memungkinkan )<br />Rasional : Mengawasi penurunan BB / mengawasi efektifitas intervensi.<br />d. Berikan makanan sedikit namun sering dan atau makan diantara waktu makan<br />Rasional : Makanan sedikit dapat menurunkan kelemahan dan meningkatkan masukan juga mencegah distensi gaster.<br />e. Berikan dan Bantu oral hygiene.<br />Rasional : Meningkatkan nafsu makan dan masukan peroral<br />f. Hindari makanan yang merangsang dan mengandung gas.<br />Rasional : Menurunkan distensi dan iritasi gaster.<br />DP. 5. Resiko terjadi perdarahan berhubungan dengan penurunan factor-faktor pembekuan darah ( trombositopeni )<br />Tujuan : Tidak terjadi perdarahan<br />Kriteria : TD 100/60 mmHg, N: 80-100x/menit reguler, pulsasi kuat<br />Tidak ada tanda perdarahan lebih lanjut, trombosit meningkat<br />Intervensi :<br />a. Monitor tanda-tanda penurunan trombosit yang disertai tanda klinis.<br />Rasional : Penurunan trombosit merupakan tanda adanya kebocoran pembuluh darah yang pada tahap tertentu dapat menimbulkan tanda-tanda klinis seperti epistaksis, ptike.<br />b. Monitor trombosit setiap hari<br />Rasional : Dengan trombosit yang dipantau setiap hari, dapat diketahui tingkat kebocoran pembuluh darah dan kemungkinan perdarahan yang dialami pasien.<br />c. Anjurkan pasien untuk banyak istirahat ( bedrest )<br />Rasional : Aktifitas pasien yang tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya perdarahan.<br />d. Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga untuk melaporkan jika ada tanda perdarahan spt : hematemesis, melena, epistaksis.<br />Rasional : Keterlibatan pasien dan keluarga dapat membantu untuk penaganan dini bila terjadi perdarahan.<br />e. Antisipasi adanya perdarahan : gunakan sikat gigi yang lunak, pelihara kebersihan mulut, berikan tekanan 5-10 menit setiap selesai ambil darah.<br />Rasional : Mencegah terjadinya perdarahan lebih lanjut.risda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2674685999395418367.post-36923814427623056202010-02-19T19:59:00.000-08:002010-02-19T20:00:09.228-08:00ASKEP NEONATUS DENGAN HYPOGLIKEMI SIMPTOMATIS<br />1. Pengertian<br />Hipoglikemi adalah suatu keadaan, dimana kadar gula darah plasma puasa kurang dari 50 mg/%. <br />Populasi yang memiliki resiko tinggi mengalami hipoglikemi adalah:<br />• Diabetes melitus<br />• Parenteral nutrition<br />• Sepsis<br />• Enteral feeding<br />• Corticosteroid therapi<br />• Bayi dengan ibu dengan diabetik<br />• Bayi dengan kecil masa kehamilan<br />• Bayi dengan ibu yang ketergantungan narkotika<br />• Luka bakar<br />• Kanker pankreas<br />• Penyakit Addison’s<br />• Hiperfungsi kelenjar adrenal<br />• Penyakit hati<br />Type hipoglikemi digolongkan menjadi beberapa jenis yakni:<br />• Transisi dini neonatus ( early transitional neonatal ) : ukuran bayi yang besar ataupun normal yang mengalami kerusakan sistem produksi pankreas sehingga terjadi hiperinsulin.<br />• Hipoglikemi klasik sementara (Classic transient neonatal) : tarjadi jika bayi mengalami malnutrisi sehingga mengalami kekurangan cadangan lemak dan glikogen.<br />• Sekunder (Scondary) : sebagai suatu respon stress dari neonatus sehingga terjadi peningkatan metabolisme yang memerlukan banyak cadangan glikogen.<br />• Berulang ( Recurrent) : disebabkan oleh adanya kerusakan enzimatis, atau metabolisme insulin terganggu.<br /><br /><br />1. Fokus Pengkajian<br />Data dasar yang perlu dikaji adalah :<br />1. Keluhan utama : sering tidak jelas tetapi bisanya simptomatis, dan lebih sering hipoglikemi merupakan diagnose sekunder yang menyertai keluhan lain sebelumnya seperti asfiksia, kejang, sepsis.<br />1. Riwayat :<br />• ANC<br />• Perinatal<br />• Post natal<br />• Imunisasi<br />• Diabetes melitus pada orang tua/ keluarga<br />• Pemakaian parenteral nutrition<br />• Sepsis<br />• Enteral feeding<br />• Pemakaian Corticosteroid therapi<br />• Ibu yang memakai atau ketergantungan narkotika<br />• Kanker <br />1. Data fokus<br />Data Subyektif:<br />• Sering masuk dengan keluhan yang tidak jelas<br />• Keluarga mengeluh bayinya keluar banyaK keringat dingin<br />• Rasa lapar (bayi sering nangis)<br />• Nyeri kepala<br />• Sering menguap<br />• Irritabel<br />Data obyektif:<br />• Parestisia pada bibir dan jari, gelisah, gugup, tremor, kejang, kaku, <br />• Hight—pitched cry, lemas, apatis, bingung, cyanosis, apnea, nafas cepat irreguler, keringat dingin, mata berputar-putar, menolak makan dan koma<br />• Plasma glukosa < 50 gr/%<br /><br /><br />INTERVENSI KEPERAWATAN<br />No Diagnosa keperawatan Tujuan Intervensi <br />1 Potensial komplikasi b/d kadar glukosa plasma yang rendah seperti, gangguan mental, gangguan perkembangan otak, gangguan fungsi saraf otonom, koma hipoglikemi Komplikasi tidak terjadi<br />Kriteria :<br />Kadar gula darah dalam batas normal<br /> • Cek serum glukosa sebelum dan setelah makan<br />• Monitor : kadar glukosa, pucat, keringat dingin, kulit yang lembab<br />• Monitor vital sign<br />• Monitor kesadaran<br />• Monitor tanda gugup, irritabilitas<br />• Lakukan pemberian susu manis peroral 20 cc X 12<br />• Analisis kondisi lingkungan yang berpotensi menimbulkan hipoglikemi.<br />• Cek BB setiap hari<br />• Cek tanda-tanda infeksi<br />• Hindari terjadinya hipotermi<br />• Lakukan kolaborasi pemberian Dex 15 % IV<br />• Lakukan kolaborasi pemberian O2 1 lt – 2 lt /menit<br />2 Potensial terjadi infeksi b/d penurunan daya tahan tubuh Infeksi tidak terjadi<br />Kriteria :<br />Tidak ada tanda-tanda infeksi<br />Tanda vital dalam batas normal • Lakukan prosedur perawatan tangan sebelum dan setelah tindakan<br />• Pastikan setiap benda yang dipakai kontak dengan bayi dalam keadaan bersih atau steril<br />• Cegah kontak dengan petugas atau pihak lain yang menderita infeksi saluran nafas.<br />• Perhatikan kondisi feces bayi<br />• Anjurkan keluarga agar mengikuti prosedur septik aseptik.<br />• Berikan antibiotik sebagai profolaksis sesuai dengan order.<br />• Lakukan pemeriksaan DL, UL, FL secara teratur.<br />3 Potensial Ggn Keseimbangan cairan dan elektrolit b/d peningkatan pengeluaran keringat <br /> Tidak tejadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit • Cek intake dan output<br />• Berikan cairan sesuai dengan kebutuhan bayi /kg BB/24 jam<br />• Cek turgor kulit bayi<br />• Kaji intoleransi minum bayi<br />• Jika mengisap sudah baik anjurkan pemberian ASI<br />4 Keterbatasan gerak dan aktivitas b/d hipoglikemi pada otot Aktivitas gerak dalam batas normal • Bantu pemenihan kebutuhan sehari-hari<br />• Lakukan fisiotherapi<br />• Ganti pakaian bayi secara teratur dan atau jika kotor dan basah.risda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2674685999395418367.post-44567903297843675562010-02-19T19:58:00.002-08:002010-02-19T19:59:20.424-08:00ASKEP ANAK DENGAN HIRSPRUNG<br /><br />A. Pengertian<br />Ada beberapa pengertian mengenai Mega Colon, namun pada intinya sama yaitu penyakit yang disebabkan oleh obstruksi mekanis yang disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada usus sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya spinkter rectum berelaksasi.<br />Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan ( Betz, Cecily & Sowden, 2000 ). Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi 3 Kg, lebih banyak laki – laki daripada bayi aterm dengan berat lahir pada perempuan. ( Arief Mansjoeer, 2000 ).<br />B. Etiologi<br />Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Mega Colon itu sendiri adalah diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan Down syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus.<br />C. Patofisiologi<br />Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden, 2002:197). Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson, 1995 : 141 ).<br />D. Manifestasi Klinis<br />Bayi baru lahir tidak bisa mengeluarkan Meconium dalam 24 – 28 jam pertama setelah lahir. Tampak malas mengkonsumsi cairan, muntah bercampur dengan cairan empedu dan distensi abdomen. (Nelson, 2000 : 317).<br />Gejala Penyakit Hirshsprung adalah obstruksi usus letak rendah, bayi dengan Penyakit Hirshsprung dapat menunjukkan gejala klinis sebagai berikut. Obstruksi total saat lahir dengan muntaah, distensi abdomen dan ketidakadaan evakuasi mekonium. Keterlambatan evakuasi meconium diikuti obstruksi konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala rigan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare, distensi abdomen dan demam. Adanya feses yang menyemprot pas pada colok dubur merupakan tanda yang khas. Bila telah timbul enterokolitis nikrotiskans terjadi distensi abdomen hebat dan diare berbau busuk yang dapat berdarah ( Nelson, 2002 : 317 ).<br />1. Anak – anaka Konstipasi<br />b Tinja seperti pita dan berbau busuk<br />c Distenssi abdomen<br />d Adanya masa difecal dapat dipalpasi<br />e Biasanya tampak kurang nutrisi dan anemi ( Betz cecily & sowden, 2002 : 197 ).<br />2. Komplikasi<br />a Obstruksi usus<br />b Konstipasi<br />c Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit<br />d Entrokolitis<br />e Struktur anal dan inkontinensial ( pos operasi ) ( Betz cecily & sowden, 2002 : 197 )<br />E. Pemeriksaan Penunjang<br />1. Pemeriksaan dengan barium enema, dengan pemeriksaan ini akan bisa ditemukan :<br />a Daerah transisi<br />b Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang menyempit<br />c Entrokolitis padasegmen yang melebar<br />d Terdapat retensi barium setelah 24 – 48 jam ( Darmawan K, 2004 : 17 )<br />2. Biopsi isap<br />Yaitu mengambil mukosa dan sub mukosa dengan alat penghisap dan mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa ( Darmawan K, 2004 :17 )<br />3. Biopsi otot rektum<br />Yaitu pengambilan lapisan otot rektum<br />4. Periksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biobsi isap pada penyakit ini khas terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil kolin esterase ( Darmawan K, 2004 : 17 )<br />5. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsi usus<br />( Betz, cecily & Sowden, 2002 : 197 )<br />6. Pemeriksaan colok anus<br />Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja yang menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahu bahu dari tinja, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan akan terjadi pembusukan.<br />F. Penatalaksanaan<br />1. Medis<br />Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus besar sehingga normal dan juga fungsi spinkter ani internal.<br />Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu :<br />a Temporari ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik untuk melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan terdilatasinya usus besar untuk mengembalikan ukuran normalnya.<br />b Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat berat anak mencapai sekitar 9 Kg ( 20 pounds ) atau sekitar 3 bulan setelah operasi pertama ( Betz Cecily & Sowden 2002 : 98 )<br />Ada beberapa prosedur pembedahan yang dilakukan seperti Swenson, Duhamel, Boley & Soave. Prosedur Soave adalah salah satu prosedur yang paling sering dilakukan terdiri dari penarikan usus besar yang normal bagian akhir dimana mukosa aganglionik telah diubah ( Darmawan K 2004 : 37 )<br />2. Perawatan<br />Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara lain :<br />a Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak secara dini<br />b Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak<br />c Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis ( pembedahan )<br />d Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang ( FKUI, 2000 : 1135 )<br />Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak – anak dengan mal nutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status fisiknya meningkat. Hal ini sering kali melibatkan pengobatan simptomatik seperti enema. Diperlukan juga adanya diet rendah serat, tinggi kalori dan tinggi protein serta situasi dapat digunakan nutrisi parenteral total ( NPT )<br /><br />Konsep Tumbuh Kembang Anak<br />Konsep tumbuh kembang anak difokuskan pada usia todler yakni 1 – 3 tahun bisa juga dimasukkan dalam tahapan pre operasional yakni umur 2 – 7 tahun. Menurut Yupi. S ( 2004 ) berdasarkan teori peaget bahwa masa ini merupakan gambaran kongnitif internal anak tentang dunia luar dengan berbagai kompleksitasnya yang tumbuh secara bertahap merupakan suatu masa dimana pikiran agak terbatas. Anak mampu menggunakan simbul melalui kata – kata, mengingat sekarang dan akan datang. Anak mampu membedakan dirinya sendiri dengan objek dalam dunia sekelilingnya baik bahasa maupun pikiranya bercirikan egesenterisme, ia tidak mahu menguasai ide persamaan terutama berkaitan dengan masalah–masalah secara logis, tetapi dalam situasi bermain bebas ia cenderung untuk memperlihatkan perilaku logis dan berakal sehat pada tahap ini akan mulai mengenal tubuhnya<br />Pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu yang dapat diukur dengan ukuran berat ( gram, pounnd, kilogram ). Ukuran panjang ( cm, meter ). Umur tulang dan keseimbangan metabolik ( retensi kalium dan nitrogen tubuh ). Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi yang lebih komplek dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil dari proses pematangan ( Soetjiningsih, 1998: 1 ).<br />Pada pertumbuhan fisik dapat dinilai pertambahan berat badan sebanyak 2,2 Kg/ tahun dan tinggi badan akan bertambah kira – kira 7,5 cm/ tahun. Proporsi tumbuh berubah yaitu lengan dan kaki tumbuh lebih cepat dari pada kepala dan badan lorosis lumbal pada medulla spinalis kurang terlihat dan tungkai mempunyai tampilan yang bengkok. Lingkar kepala meningkat 2,5 cm/ tahun dan fontanella anterior menutup pada usia 15 bulan. Gigi molar pertama dan molar kedua serta gigi taring mulai muncul ( Betz & Sowden, 2002: 546 ).<br />1. Strategi Pengurangan Dampak Hospitalisasi Pada Usia Todler<br />Pada usia todler anak cenderung egosentris maka dalam menjelaskan prosedur dalam hubungan dengan cara apa yang akan anak lihat, dengar, bau, raba dan rasakan. Katakan pada anak tidak apa- apa menangis atau gunakan ekspresi verbal untuk mengatakan tidak nyaman.<br />Pada usia ini juga mengalami keterbatasan kemampuan berkomunikasi lebih sering menggunakan perilaku atau sikap. Sedikit pendekatan yang sederhana menggunkan contoh peralatan yang kecil ( ijinkan anak untuk memegang peralatan ) menggunakan permainan.<br />Pada usia ini menjadikan hubungan yang sulit antara anak dengan perawat diperlukan orang tua pada keadaan ini, apapun cara yang dilakukan anaka harus merupakan pertimbangan pertama. Ibu harus didorong untuk tinggal atau paling sedikit mengunjungi anaknya sesering mungkin ( Yupi, S 2004).<br />2. Fokus Intervensi<br />a. Konstipasi berhubungan dengan obstruksi ketidakmampuan Kolon mengevakuasi feces ( Wong, Donna, 2004 : 508 )<br />Tujuan :<br />1. anak dapat melakukan eliminasi dengan beberapa adaptasi sampai fungsi eliminasi secara normal dan bisa dilakukan<br />Kriteria Hasil<br />1. Pasien dapat melakukan eliminasi dengan beberapa adapatasi<br />2. Ada peningkatan pola eliminasi yang lebih baik<br />Intervensi :<br />1. Berikan bantuan enema dengan cairan Fisiologis NaCl 0,9 %<br />2. Observasi tanda vital dan bising usus setiap 2 jam sekali<br />3. Observasi pengeluaran feces per rektal – bentuk, konsistensi, jumlah<br />4. Observasi intake yang mempengaruhi pola dan konsistensi feses<br />5. Anjurkan untuk menjalankan diet yang telah dianjurkan<br />b. Perubahan nutrisi kurang dan kebutuhan tubuh berhubungan dengan saluran pencernaan mual dan muntah<br />Tujuan :<br />1. Pasien menerima asupan nutrisi yang cukup sesuai dengan diet yang dianjurkan<br />Kriteria Hasil<br />1. Berat badan pasien sesuai dengan umurnya<br />2. Turgor kulit pasien lembab<br />3. Orang tua bisa memilih makanan yang di anjurkan<br />Intervensi<br />1. Berikan asupan nutrisi yang cukup sesuai dengan diet yang dianjurkan<br />2. Ukur berat badan anak tiap hari<br />3. Gunakan rute alternatif pemberian nutrisi ( seperti NGT dan parenteral ) untuk mengantisipasi pasien yang sudah mulai merasa mual dan muntah<br />c. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan intake yang kurang (Betz, Cecily & Sowden 2002:197)<br />Tujuan :<br />1. Status hidrasi pasien dapat mencukupi kebutuhan tubuh<br />Kriteria Hasil<br />1. Turgor kulit lembab.<br />2. Keseimbangan cairan.<br />Intervensi<br />1. Berikan asupan cairan yang adekuat pada pasien<br />2. Pantau tanda – tanda cairan tubuh yang tercukupi turgor, intake – output<br />3. Observasi adanay peningkatan mual dan muntah antisipasi devisit cairan tubuh dengan segera<br />d. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit dan pengobatanya. ( Whaley & Wong, 2004 ).<br />Tujuan : pengetahuan pasien tentang penyakitnyaa menjadi lebih adekuat<br />Kriteria hasil :<br />1. Pengetahuan pasien dan keluarga tentang penyakitnyaa, perawatan dan obat – obatan. Bagi penderita Mega Colon meningkat daan pasien atau keluarga mampu menceritakanya kembali<br />Intervensi<br />1. Beri kesempatan pada keluarga untuk menanyakan hal – hal yang ingn diketahui sehubunagndengan penyaakit yang dialami pasien<br />2. Kaji pengetahuan keluarga tentang Mega Colon<br />3. Kaji latar belakang keluarga<br />4. Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan serta obat – obatan pada keluarga pasien<br />5. Jelaskan semua prosedur yang akan dilaksanakan dan manfaatnya bagi pasien.<br />SKEP ANAK DENGAN HISPRUNG <br />Diposkan oleh ....::::Nurse::::.... di 06:36 <br /> <br />TEORI <br />Ada beberapa pengertian mengenai Mega Colon, namun pada intinya sama yaitu penyakit yang disebabkan oleh obstruksi mekanis yang disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada usus sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya spinkter rectum berelaksasi.<br />Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan ( Betz, Cecily & Sowden : ).<br />Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada 3 Kg, lebih banyak laki – lakibayi aterm dengan berat lahir dari pada perempuan. ( Arief Mansjoeer ).<br />Etiologi<br />Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Mega Colon itu sendiri adalah diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan Down syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus.<br />Patofisiologi <br />Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden). <br />Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal.<br />Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson ). <br />Manifestasi klinis <br />Bayi baru lahir tidak bisa mengeluarkan Meconium dalam 24 – 28 jam pertama setelah lahir. Tampak malas mengkonsumsi cairan, muntah bercampur dengan cairan empedu dan distensi abdomen. (Nelson, ). <br />Gejala Penyakit Hirshsprung adalah obstruksi usus letak rendah, bayi dengan Penyakit Hirshsprung dapat menunjukkan gejala klinis sebagai berikut. Obstruksi total saat lahir dengan muntaah, distensi abdomen dan ketidakadaan evakuasi mekonium. Keterlambatan evakuasi meconium diikuti obstruksi konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala rigan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare, distensi abdomen dan demam. Adanya feses yang menyemprot pas pada colok dubur merupakan tanda yang khas. Bila telah timbul enterokolitis nikrotiskans terjadi distensi abdomen hebat dan diare berbau busuk yang dapat berdarah ( Nelson, ). <br />Anak – anak <br />a Konstipasi<br />b Tinja seperti pita dan berbau busuk<br />c Distenssi abdomen<br />d Adanya masa difecal dapat dipalpasi<br />e Biasanya tampak kurang nutrisi dan anemi ( Betz cecily & sowden ). <br />Komplikasi <br />a Obstruksi usus<br />b Konstipasi<br />c Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit<br />d Entrokolitis<br />e Struktur anal dan inkontinensial ( pos operasi ) ( Betz cecily & sowden, ) <br />Pemeriksaan penunjang <br />Pemeriksaan dengan barium enema, dengan pemeriksaan ini akan bisa ditemukan : <br />a Daerah transisi<br />b Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang menyempit<br />c Entrokolitis padasegmen yang melebar<br />d Terdapat retensi barium setelah 24 – 48 jam ( Darmawan K) <br />Biopsi isap<br />Yaitu mengambil mukosa dan sub mukosa dengan alat penghisap dan mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa ( Darmawan K, ) <br />Biopsi otot rektum<br />Yaitu pengambilan lapisan otot rektum <br />Periksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biobsi isap pada penyakit ini khas terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil kolin esterase ( Darmawan K, 2004 : 17 ) <br />Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsi usus <br />Pemeriksaan colok anus<br />Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja yang menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahu bahu dari tinja, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan akan terjadi pembusukan. <br />Penatalaksanaan <br />Medis <br />Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus besar sehingga normal dan juga fungsi spinkter ani internal.<br />Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu : <br />Temporari ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik untuk melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan terdilatasinya usus besar untuk mengembalikan ukuran normalnya.<br />Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat berat anak mencapai sekitar 9 Kg ( 20 pounds ) atau sekitar 3 bulan setelah operasi pertama <br />Ada beberapa prosedur pembedahan yang dilakukan seperti Swenson, Duhamel, Boley & Soave. Prosedur Soave adalah salah satu prosedur yang paling sering dilakukan terdiri dari penarikan usus besar yang normal bagian akhir dimana mukosa aganglionik telah diubah <br />Perawatan <br />Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara lain : <br />Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak secara dini<br />Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak<br />Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis ( pembedahan )<br />Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang <br />Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak – anak dengan mal nutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status fisiknya meningkat. Hal ini sering kali melibatkan pengobatan simptomatik seperti enema. Diperlukan juga adanya diet rendah serat, tinggi kalori dan tinggi protein serta situasi dapat digunakan nutrisi parenteral total <br />Tumbuh kembang anak <br />Konsep tumbuh kembang anak difokuskan pada usia todler yakni 1 – 3 tahun bisa juga dimasukkan dalam tahapan pre operasional yakni umur 2 – 7 tahun. Menurut Yupi. S berdasarkan teori peaget bahwa masa ini merupakan gambaran kongnitif internal anak tentang dunia luar dengan berbagai kompleksitasnya yang tumbuh secara bertahap merupakan suatu masa dimana pikiran agak terbatas. Anak mampu menggunakan simbul melalui kata – kata, mengingat sekarang dan akan datang. Anak mampu membedakan dirinya sendiri dengan objek dalam dunia sekelilingnya baik bahasa maupun pikiranya bercirikan egesenterisme, ia tidak mahu menguasai ide persamaan terutama berkaitan dengan masalah–masalah secara logis, tetapi dalam situasi bermain bebas ia cenderung untuk memperlihatkan perilaku logis dan berakal sehat pada tahap ini akan mulai mengenal tubuhnya<br />Pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu yang dapat diukur dengan ukuran berat ( gram, pounnd, kilogram ). Ukuran panjang ( cm, meter ). Umur tulang dan keseimbangan metabolik ( retensi kalium dan nitrogen tubuh ). Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi yang lebih komplek dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil dari proses pematangan<br />Pada pertumbuhan fisik dapat dinilai pertambahan berat badan sebanyak 2,2 Kg/ tahun dan tinggi badan akan bertambah kira – kira 7,5 cm/ tahun. Proporsi tumbuh berubah yaitu lengan dan kaki tumbuh lebih cepat dari pada kepala dan badan lorosis lumbal pada medulla spinalis kurang terlihat dan tungkai mempunyai tampilan yang bengkok. Lingkar kepala meningkat 2,5 cm/ tahun dan fontanella anterior menutup pada usia 15 bulan. Gigi molar pertama dan molar kedua serta gigi taring mulai muncul ( Betz & Sowden,) <br />Strategi Pengurangan Dampak Hospitalisasi Pada Usia Todler <br />Pada usia todler anak cenderung egosentris maka dalam menjelaskan prosedur dalam hubungan dengan cara apa yang akan anak lihat, dengar, bau, raba dan rasakan. Katakan pada anak tidak apa- apa menangis atau gunakan ekspresi verbal untuk mengatakan tidak nyaman. <br />Pada usia ini juga mengalami keterbatasan kemampuan berkomunikasi lebih sering menggunakan perilaku atau sikap. Sedikit pendekatan yang sederhana menggunkan contoh peralatan yang kecil ( ijinkan anak untuk memegang peralatan ) menggunakan permainan. <br />Pada usia ini menjadikan hubungan yang sulit antara anak dengan perawat diperlukan orang tua pada keadaan ini, apapun cara yang dilakukan anaka harus merupakan pertimbangan pertama. Ibu harus didorong untuk tinggal atau paling sedikit mengunjungi anaknya sesering mungkin ( Yupi, S ). <br />PATHWAYS<br />Pathways dapat dilihat disini<br />ANALISA DATA <br />NO TGL / JAM DATA PROBLEM ETIOLOGI<br />1 Diisi pada saat tanggal pengkajian Berisi data subjektif dan data objektif yang didapat dari pengkajian keperawatan masalah yang sedang dialami pasien seperti gangguan pola nafas, gangguan keseimbangan suhu tubuh, gangguan pola aktiviatas,dll Etiologi berisi tentang penyakit yang diderita pasien<br />DIAGNOSA KEPERAWATAN <br />Konstipasi berhubungan dengan obstruksi ketidakmampuan Kolon mengevakuasi feces <br />Perubahan nutrisi kurang dan kebutuhan tubuh berhubungan dengan saluran pencernaan mual dan muntah <br />Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan intake yang kurang <br />Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit dan pengobatanya. <br />RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN <br />NO DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN PERENCANAAN<br />1 Konstipasi berhubungan dengan obstruksi ketidakmampuan Kolon mengevakuasi feces anak dapat melakukan eliminasi dengan beberapa adaptasi sampai fungsi eliminasi secara normal dan bisa dilakukan <br />Dengan Kriteria Hasil : <br />Pasien dapat melakukan eliminasi dengan beberapa adapatasi<br />Ada peningkatan pola eliminasi yang lebih baik Berikan bantuan enema dengan cairan Fisiologis NaCl 0,9 % <br />Observasi tanda vital dan bising usus setiap 2 jam sekali <br />Observasi pengeluaran feces per rektal – bentuk, konsistensi, jumlah<br />Observasi intake yang mempengaruhi pola dan konsistensi feses <br />Anjurkan untuk menjalankan diet yang telah dianjurkan<br />2 Perubahan nutrisi kurang dan kebutuhan tubuh berhubungan dengan saluran pencernaan mual dan muntah Pasien menerima asupan nutrisi yang cukup sesuai dengan diet yang dianjurkan <br />Kriteria Hasil :<br />Berat badan pasien sesuai dengan umurnya<br />Turgor kulit pasien lembab<br />Orang tua bisa memilih makanan yang di anjurkan Berikan asupan nutrisi yang cukup sesuai dengan diet yang dianjurkan <br />Ukur berat badan anak tiap hari<br />Gunakan rute alternatif pemberian nutrisi ( seperti NGT dan parenteral ) untuk mengantisipasi pasien yang sudah mulai merasa mual dan muntah<br />3 Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan intake yang kurang Status hidrasi pasien dapat mencukupi kebutuhan tubuh <br />Kriteria Hasil :<br />Turgor kulit lembab.<br />Keseimbangan cairan. Berikan asupan cairan yang adekuat pada pasien <br />Pantau tanda – tanda cairan tubuh yang tercukupi turgor, intake – output <br />Observasi adanay peningkatan mual dan muntah antisipasi devisit cairan tubuh dengan segera<br />4 Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit dan pengobatanya. pengetahuan pasien tentang penyakitnyaa menjadi lebih adekuat <br />Kriteria hasil :<br />Pengetahuan pasien dan keluarga tentang penyakitnyaa, perawatan dan obat – obatan. Bagi penderita Mega Colon meningkat daan pasien atau keluarga mampu menceritakanya kembali Beri kesempatan pada keluarga untuk menanyakan hal – hal yang ingn diketahui sehubunagndengan penyaakit yang dialami pasien<br />Kaji pengetahuan keluarga tentang Mega Colon<br />Kaji latar belakang keluarga<br />Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan serta obat – obatan pada keluarga pasien<br />Jelaskan semua prosedur yang akan dilaksanakan dan manfaatnya bagi pasien.<br />ARTIKEL YANG BERHUBUNGAN :risda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2674685999395418367.post-36589735902049848362010-02-19T19:58:00.001-08:002010-02-19T19:58:42.933-08:00ASKEP ANAK DENGAN MARASMUS<br />A. PENGERTIAN<br />• Marasmus adalah bentuk malnutrisi kalori protein yang terutama akibat kekurangan kalori yang berat dan kronis terutama terjadi selama tahun pertama kehidupan dan mengurusnya lemak bawah kulit dan otot. (Dorland, 1998:649).<br />• Marasmus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kekurangan kalori protein. (Suriadi, 2001:196).<br />• Marasmus adalah malnutrisi berat pada bayi sering ada di daerah dengan makanan tidak cukup atau higiene kurang. Sinonim marasmus diterapkan pada pola penyakit klinis yang menekankan satu ayau lebih tanda defisiensi protein dan kalori. (Nelson, 1999:212).<br />• Zat gizi adalah zat yang diperoleh dari makanan dan digunakan oleh tubuh untuk pertumbuhan, pertahanan dan atau perbaikan. Zat gizi dikelompokkan menjadi karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air. (Arisman, 2004:157).<br />• Energi yang diperoleh oleh tubuh bukan hanya diperoleh dari proses katabolisme zat gizi yang tersimpan dalam tubuh, tetapi juga berasal dari energi yang terkandung dalam makanan yang kita konsumsi.<br />• Fungsi utama karbohidrat adalah sebagai sumber energi, disamping membantu pengaturan metabolisme protein. Protein dalam darah mempunyai peranan fisiologis yang penting bagi tubuh untuk :<br />1. Mengatur tekanan air, dengan adanya tekanan osmose dari plasma protein.<br />2. Sebagai cadangan protein tubuh.<br />3. Mengontrol perdarahan (terutama dari fibrinogen).<br />4. Sebagai transport yang penting untuk zat-zat gizi tertentu.<br />5. Sebagai antibodi dari berbagai penyakit terutama dari gamma globulin.<br />Dalam darah ada 3 fraksi protein, yaitu : Albumin, globulin, fibrinogen.<br />B. ETIOLOGI<br /><br />• Penyebab utama marasmus adalah kurang kalori protein yang dapat terjadi karena : diet yang tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat seperti yang hubungan dengan orangtua-anak terganggu,karena kelainan metabolik, atau malformasi kongenital. (Nelson,1999).<br />• Marasmus dapat terjadi pada segala umur, akan tetapi yang sering dijumpai pada bayi yang tidak mendapat cukup ASI dan tidak diberi makanan penggantinya atau sering diserang diare. Marasmus juga dapat terjadi akibat berbagai penyakit lain seperti infeksi, kelainan bawaan saluran pencernaan atau jantung, malabsorpsi, gangguan metabolik, penyakit ginjal menahun dan juga gangguan pada saraf pusat. (Dr. Solihin, 1990:116).<br />C. PATOFISIOLOGI<br /><br />Kurang kalori protein akan terjadi manakala kebutuhan tubuh akan kalori, protein, atau keduanya tidak tercukupi oleh diet. (Arisman, 2004:92). Dalam keadaan kekurangan makanan, tubuh selalu berusaha untuk mempertahankan hidup dengan memenuhi kebutuhan pokok atau energi. Kemampuan tubuh untuk mempergunakan karbohidrat, protein dan lemak merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan, karbohidrat (glukosa) dapat dipakai oleh seluruh jaringan tubuh sebagai bahan bakar, sayangnya kemampuan tubuh untuk menyimpan karbohidrat sangat sedikit, sehingga setelah 25 jam sudah dapat terjadi kekurangan. Akibatnya katabolisme protein terjadi setelah beberapa jam dengan menghasilkan asam amino yang segera diubah jadi karbohidrat di hepar dan ginjal. Selam puasa jaringan lemak dipecah menjadi asam lemak, gliserol dan keton bodies. Otot dapat mempergunakan asam lemak dan keton bodies sebagai sumber energi kalau kekurangan makanan ini berjalan menahun. Tubuh akan mempertahankan diri jangan sampai memecah protein lagi seteah kira-kira kehilangan separuh dari tubuh. (Nuuhchsan Lubis an Arlina Mursada, 2002:11).<br /><br />D. MANIFESTASI KLINIK<br />Pada mulanya ada kegagalan menaikkan berat badan, disertai dengan kehilangan berat badan sampai berakibat kurus,dengan kehilangan turgor pada kulit sehingga menjadi berkerut dan longgar karena lemak subkutan hilang dari bantalan pipi, muka bayi dapat tetap tampak relatif normal selama beberaba waktu sebelum menjadi menyusut dan berkeriput. Abdomen dapat kembung dan datar. Terjadi atropi otot dengan akibat hipotoni. Suhu biasanya normal, nadi mungkin melambat, mula-mula bayi mungkin rewe, tetapi kemudian lesu dan nafsu makan hilang. Bayi biasanya konstipasi, tetapi dapat muncul apa yang disebut diare tipe kelaparan, dengan buang air besar sering, tinja berisi mukus dan sedikit. (Nelson,1999).<br />Selain itu manifestasi marasmus adalah sebagai berikut :<br />1. Badan kurus kering tampak seperti orangtua<br />2. Lethargi<br />3. Irritable<br />4. Kulit keriput (turgor kulit jelek)<br />5. Ubun-ubun cekung pada bayi<br />6. Jaingan subkutan hilang<br />7. Malaise<br />8. Kelaparan<br />9. Apatis<br />E. PENATALAKSANAAN<br /><br />1. Keadaan ini memerlukan diet yang berisi jumlah cukup protein yang kualitas biologiknya baik. Diit tinggi kalori, protein, mineral dan vitamin.<br />2. Pemberian terapi cairan dan elektrolit.<br />3. Penatalaksanaan segera setiap masalah akut seperti masalah diare berat.<br />4. Pengkajian riwayat status sosial ekonomi, kaji riwayat pola makan, pengkajian antropometri, kaji manifestasi klinis, monitor hasil laboratorium, timbang berat badan, kaji tanda-tanda vital.<br />Penanganan KKP berat<br />Secara garis besar, penanganan KKP berat dikelompokkan menjadi pengobatan awal dan rehabilitasi. Pengobatan awal ditujukan untuk mengatasi keadaan yang mengancam jiwa, sementara fase rehabilitasi diarahkan untuk memulihkan keadaan gizi.<br />Upaya pengobatan, meliputi :<br />- Pengobatan/pencegahan terhadap hipoglikemi, hipotermi, dehidrasi.<br />- Pencegahan jika ada ancamanperkembangan renjatan septik<br />- Pengobatan infeksi<br />- Pemberian makanan<br />- Pengidentifikasian dan pengobatan masalah lain, seperti kekurangan vitamin, anemia berat dan payah jantung.<br />Menurut Arisman, 2004:105<br />- Komposisi ppemberian CRO (Cairan Rehidrasi Oral) sebanyak 70-100 cc/kg BB biasanya cukup untuk mengoreksi dehidrasi.<br />- Cara pemberian dimulai sebanyak 5 cc/kg BB setiap 30 menit selama 2 jam pertama peroral atau NGT kemudian tingkatkan menjadi 5-10 cc/kg BB/ jam.<br />- Cairan sebanyak itu harus habis dalam 12 jam.<br />- Pemberian ASI sebaiknya tidak dihentikan ketika pemberian CRO/intravena diberikan dalam kegiatan rehidrasi.<br />- Berika makanan cair yang mengandung 75-100 kkal/cc, masing-masing disebut sebagai F-75 dan F-100.<br />Menurut Nuchsan Lubis<br />Penatalaksanaan penderita marasmus yang dirawat di RS dibagi dalam beberapa tahap, yaitu :<br />1. Tahap awal :24-48 jam pertama merupakan masa kritis, yaitu tindakan untuk menyelamatkan jiwa, antara lain mengoreksi keadaan dehidrasi atau asidosis dengan pemberian cairan IV.<br />- cairan yang diberikan adalah larutan Darrow-Glukosa atau Ringer Laktat Dextrose 5%.<br />- Mula-mula diberikan 60 ml/kg BB pada 4-8 jam pertama.<br />- Kemudian 140ml sisanya diberikan dalam 16-20 jam berikutnya.<br />- Cairan diberikan 200ml/kg BB/ hari.<br />2. Tahap penyesuaian terhadap pemberian makanan<br />- Pada hari-hari pertama jumlah kalori yang diberikan sebanyak 30-60 kalori/ kg BB/ hari atau rata-rata 50 kalori/ kg BB/ hari, dengan protein 1-1,5 gr/ kg BB/ hari.<br />- Kemudian dinaikkan bertahap 1-2 hari hingga mencapai 150-175 kalori/ kg BB/ hari, dengan protein 3-5 gr/ kg BB/ hari.<br />- Waktu yang diperlukan untuk mencapai diet TKTP ini lebih kurang 7-10 hari.<br />F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK<br />1. Pemeriksaan Fisik<br />a. Mengukur TB dan BB<br />b. Menghitung indeks massa tubuh, yaitu BB (dalam kilogram) dibagi dengan TB (dalam meter)<br />c. Mengukur ketebalan lipatan kulit dilengan atas sebelah belakang (lipatan trisep) ditarik menjauhi lengan, sehingga lapisan lemak dibawah kulitnya dapat diukur, biasanya dangan menggunakan jangka lengkung (kaliper). Lemak dibawah kulit banyaknya adalah 50% dari lemak tubuh. Lipatan lemak normal sekitar 1,25 cm pada laki-laki dan sekitar 2,5 cm pada wanita.<br />d. Status gizi juga dapat diperoleh dengan mengukur LLA untuk memperkirakan jumlah otot rangka dalam tubuh (lean body massa, massa tubuh yang tidak berlemak).<br />2. Pemeriksaan laboratorium : albumin, kreatinin, nitrogen, elektrolit, Hb, Ht, transferin.<br /><br />G. INTERVENSI KEPERAWATAN<br />1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan tidak adekuat (nafsu makan berkurang). (Wong, 2004)<br />Tujuan :<br />Pasien mendapat nutrisi yang adekuat<br />Kriteria hasil :<br />meningkatkan masukan oral.<br />Intervensi :<br />a. Dapatkan riwayat diet<br />b. Dorong orangtua atau anggota keluarga lain untuk menyuapi anak atau ada disaat makan<br />c. Minta anak makan dimeja dalam kelompok dan buat waktu makan menjadi menyenangkan<br />d. Gunakan alat makan yang dikenalnya<br />e. Perawat harus ada saat makan untuk memberikan bantuan, mencegah gangguan dan memuji anak untuk makan mereka<br />f. Sajikan makansedikit tapi sering<br />g. Sajikan porsi kecil makanan dan berikan setiap porsi secara terpisah<br />2. Defisit volume cairan berhubungan dengan diare. (Carpenito, 2001:140)<br />Tujuan :<br />Tidak terjadi dehidrasi<br />Kriteria hasil :<br />Mukosa bibir lembab, tidak terjadi peningkatan suhu, turgor kulit baik.<br />Intervensi :<br />a. Monitor tanda-tanda vital dan tanda-tanda dehidrasi<br />b. Monitor jumlah dan tipe masukan cairan<br />c. Ukur haluaran urine dengan akurat<br />3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan nutrisi/status metabolik. (Doengoes, 2000).<br />Tujuan :<br />Tidak terjadi gangguan integritas kulit<br />Kriteria hasil :<br />kulit tidak kering, tidak bersisik, elastisitas normal<br />Intervesi :<br />a. Monitor kemerahan, pucat,ekskoriasi<br />b. Dorong mandi 2xsehari dan gunakan lotion setelah mandi<br />c. Massage kulit Kriteria hasilususnya diatas penonjolan tulang<br />d. Alih baring<br />4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh<br />Tujuan :<br />Pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi<br />Kriteria hasil:<br />suhu tubuh normal 36,6 C-37,7 C,lekosit dalam batas normal<br />Intervensi :<br />a. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan<br />b. Pastikan semua alat yang kontak dengan pasien bersih/steril<br />c. Instruksikan pekerja perawatan kesehatan dan keluarga dalam prosedur kontrol infeksi<br />d. Beri antibiotik sesuai program<br /><br /><br />5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang nya informasi (Doengoes, 2004)<br />Tujuan :<br />pengetahuan pasien dan keluarga bertambah<br />Kriteria hasil:<br />Menyatakan kesadaran dan perubahan pola hidup,mengidentifikasi hubungan tanda dan gejala.<br />Intervensi :<br />a. Tentukan tingkat pengetahuan orangtua pasien<br />b. Mengkaji kebutuhan diet dan jawab pertanyaan sesuai indikasi<br />c. Dorong konsumsi makanan tinggi serat dan masukan cairan adekuat<br />d. Berikan informasi tertulis untuk orangtua pasien<br />6. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan melemahnyakemampuan fisik dan ketergantungan sekunder akibat masukan kalori atau nutrisi yang tidak adekuat. (Carpenito, 2001:157).<br />Tujuan :<br />Anak mampu tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya.<br />Kriteria hasil :<br />Terjadi peningkatan dalam perilaku personal, sosial, bahasa, kognitif atau aktifitas motorik sesuai dengan usianya.<br />Intervensi :<br />a. Ajarkan pada orangtua tentang tugas perkembangan yang sesuai dengan kelompok usia.<br />b. Kaji tingkat perkembangan anak dengan Denver II<br />c. Berikan kesempatan bagi anak yang sakit memenuhi tugas perkembangan<br />d. Berikan mainan sesuai usia anak.<br /><br /><br />7. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan gangguan sistem transport oksigen sekunder akibat malnutrisi. (Carpenito, 2001:3)<br />Tujuan :<br />Anak mampu beraktifitas sesuai dengan kemampuannya.<br />Kriteria hasil :<br />Menunjukkan kembali kemampuan melakukan aktifitas.<br />Intervensi :<br />a. Berikan permainan dan aktifitas sesuai dengan usia<br />b. Bantu semua kebutuhan anak dengan melibatkan keluarga pasien<br />8. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan rendahnya masukan protein (malnutrisi). (Carpenio, 2001:143).<br />Tujuan :<br />Kelebihan volume cairan tidak terjadi.<br />Kriteria hasil :<br />Menyebutkan faktor-faktor penyebab dan metode-metode pencegahan edema, memperlihatkan penurunan edema perifer dan sacral.<br />Intervensi :<br />a. Pantau kulit terhadap tanda luka tekan<br />b. Ubah posisi sedikitnya 2 jam<br />c. Kaji masukan diet dan kebiasaan yang dapat menunjang retensi cairan.risda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2674685999395418367.post-71206362514878233322010-02-19T19:57:00.000-08:002010-02-19T19:58:05.993-08:00ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN MORBILI<br />A. Definisi<br />Morbili adalah penyakit virus akut, menular yang ditandai dengan 3 stadium, yaitu stadium prodormal ( kataral ), stadium erupsi dan stadium konvalisensi, yang dimanifestasikan dengan demam, konjungtivitis dan bercak koplik ( Ilmu Kesehatann Anak Edisi 2, th 1991. FKUI ).<br />Morbili adalah penyakit anak menular yang lazim biasanya ditandai dengan gejala – gejala utama ringan, ruam serupa dengan campak ringan atau demam, scarlet, pembesaran serta nyeri limpa nadi ( Ilmu Kesehatan Anak vol 2, Nelson, EGC, 2000 ). <br />Penyakit infeksi virus akut menular yang ditandai dengan 3 stadium, yaitu :<br />a. Stadium Kataral<br />b. Stadium Erupsi, dan<br />c. Stadium Konvalesensi<br />Dimanifestasikan dengan demam, konjungtivitis dan bercak koplik ( Ilmu Kesehatann Anak Edisi 2, th 1991. FKUI ). Morbili adalah penyakit anak menular yang lazim biasanya ditandai dengan gejala-gejala utama ringan, ruam serupa dengan campak ringan atau demam, scarlet, pembesaran serta nyeri limpa nadi ( Ilmu Kesehatan Anak vol 2, Nelson, EGC, 2000 ).<br />B. Etiologi <br />Penyebabnya adalah virus morbili yaitu Rubeola yang terdapat dalam sekret nasofaring dan darah selama masa prodormal sampai 24 jam setelah timbul bercak-bercak. Virus ini berupa virus RNA yang termasuk famili Paramiksoviridae, genus Morbilivirus. virus ini memiliki RNA rantai tunggal, sampai saat ini hanya ada satu serotipe yang diketahui dapat menimbulkan penyakit pada manusia. Cara penularan dengan droplet infeksi.<br /><br /><br />C. Epidemiologi <br />Biasanya penyakit ini timbul pada masa anak dan kemudian menyebabkan kekebalan seumur hidup. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang pernah menderita morbili akan mendapat kekebalan secara pasif (melalui plasenta) sampai umur 4-6 bulan dan setelah umur tersebut kekebalan akan mengurang sehingga si bayi dapat menderita morbili. Bila seseorang wanita menderita morbili ketika ia hamil 1 atau 2 bulan, maka 50% kemungkinan akan mengalami abortus, bila ia menderita morbili pada trimester I, II, atau III maka ia akan mungkin melahirkan seorang anak dengan kelainan bawaan atau seorang anak dengan BBLR, atau lahir mati atau anak yang kemudian meninggal sebelum usia 1 tahun. Morbili dapat ditularkan dengan 3 cara,antara lain :<br />1.percikan ludah yang mengandung virus<br />2.kontak langsung dengan penderita<br />3.penggunaan peralatan makan & minum bersama.<br />Penderita dapat menularkan infeksi dalam waktu 2-4 hari sebelum timbulnya ruam kulit dan selama ruam kulit ada.<br />Kekebalan terhadap campak diperoleh setelah vaksinasi, infeksi aktif dan kekebalan pasif pada seorang bayi yang lahir ibu yang telah kebal (berlangsung selama 1 tahun). Orang-orang yang rentan terhadap campak adalah:<br />1.bayi berumur lebih dari 1 tahun <br />2.bayi yang tidak mendapatkan imunisasi <br />3.Daya tahan tubuh yang lemah<br />4.Belum pernah terkena campak<br />5.Belum pernah mendapat vaksinasi campak.<br />6.remaja dan dewasa muda yang belum mendapatkan imunisasi kedua.<br /><br /><br /><br />D. Patofisiologi<br />Droplet Infection (virus masuk) Berkembang biak dalam RES<br />Keluar dari RES keluar sirkulasi Pirogen :pengaruhi termostat dalam hipotalamus Titik setel termostat meningkat Suhu tubuh meningkat pengaruhi pusatnervus vagus di medula oblongata<br /><br />Muntah, muntah, anorexia, malaise<br /><br />Mengendap pada organ-organ yang secara embriologis berasal dari ektoderm seperti pada :<br />Mukosa mulut infiltrasi sel-sel radang mononuklear pada kelenjar sub mukosa mulut (Koplik`s spot)<br />Kulit Ploriferasi sel-sel endotel kalpiler di dalam korium, Terjadi eksudasi serum dan kadang-kadang eritrsit dalam epidermis (Rash/ ruam kulit)<br />Konjunctiva terjadi reaksi peradangan umum (Konjuctivitis, Fotofobia)<br />mukosa nasofaring dan broncus, infiltrasi sel-sel sub epitel dan sel raksasa berinti banyak<br />Reaksi peradangan secara umum Pembentukan eksudat serosa disertai proliferasi sel monokuler dan sejumlah kecil pori morfonuklear Coriza/ pilek, cough/ batuk<br />Sal. Cerna Hiperplasi jaringan kecepatan mukosa usus teriritasi limfoid terutama pada usus buntu diare pergerakan usus meningkat sekresi bertambah.<br /> <br />E. Patologi Anatomi<br />Pada organ limfoid dijumpai:<br />1. Hiperplasia folikuler yang nyata<br />2. Sentrum germinativum yang besar<br />3. Sel Warthin-Finkeldey<br />4. Sel datia berinti banyak yang tersebar secara acak<br />5. Sel ini memiliki nukleus eosinofilik dan jisim inklusi dalam sitoplasma<br />6. Sel ini merupakan tanda patognomonik campak<br />7. Pada bercak Koplik dijumpai:<br />8. Nekrosis<br />9. Neutrofil<br />10. Neovaskularisasi<br /><br />F. Manifestasi klinis<br />Masa tunas/inkubasi penyakit berlangsung kurang lebih dari 10-20 hari dan kemudian timbul gejala-gejala yang dibagi dalam 3 stadium.<br />1.Stadium kataral (prodormal)<br />Stadium prodormal berlangsung selama 4-5 hari ditandai oleh demam ringa hingga sedang, batuk kering ringan, coryza, fotofobia dan konjungtivitis. Menjelang akhir stadium kataral dan 24 jam sebelum timbul enantema, timbul bercak koplik yang patognomonik bagi morbili, tetapi sangat jarang dijumpai. Bercak koplik berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum dan dikelilingi oleh eritema. Lokalisasinya dimukosa bukalis berhadapandengan molar dibawah, tetapi dapat menyebar tidak teratur mengenai seluruh permukaan pipi. Meski jarang, mereka dapat pula ditemukan pada bagian tengah bibir bawah, langit-langit dan karankula lakrimalis. Bercak tersebut muncul dan menghilang dengan cepat dalam waktu 12-18 jam. Kadang-kadang stadium prodormal bersifat berat karena diiringi demam tinggi mendadak disertai kejang-kejang dan pneumoni. Gambaran darah tepi ialah limfositosis dan leukopenia.<br /><br />2.Stadium erupsi<br />Coryza dan batuk-batuk bertambah. Timbul enantema / titik merah dipalatum durum dan palatum mole. Terjadinya eritema yang berbentuk makula papula disertai dengan menaiknya suhu tubuh. Eritema timbul dibelakang telinga dibagian atas lateral tengkuk, sepanjang rambut dan bagian belakang bawah. Kadang-kadang terdapat perdarahan primer pada kulit. Rasa gatal, muka bengkak. Terdapat pembesaran kelenjar getah bening disudut mandibula dan didaerah leher belakang. Juga terdapat sedikit splenomegali, tidak jarang disertai diare dan muntah. Variasi dari morbili yang biasa ini adalah “Black Measles” yaitu morbili yang disertai perdarahan pada kulit, mulut, hidung dan traktus digestivus.<br /><br />3.Stadium konvalesensi<br />Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua (hiperpigmentasi) yang bisa hilang sendiri. Selain hiperpigmentasi pada anak Indonesia sering ditemukan pula kulit yang bersisik. Hiperpigmentasi ini merupakan gejala patognomonik untuk morbili. Pada penyakit-penyakit lain dengan eritema atau eksantema ruam kulit menghilang tanpa hiperpigmentasi. Suhu menurun sampai menjadi normal kecuali bila ada komplikasi<br /><br />G. Pemeriksaan Diagnostik<br />Ruam kulit pada campak harus dibedakan dari :<br />1. Eksantema subitum – toxoplasmosis<br />2. Rubela – meningokoksemia<br />3. Infeksi virus ekho - demam skarlatina<br />4. Virus koksaki - penyakit riketsia<br />5. Virus adeno - penyakit serum<br />6. Mononukleosus infeksiosa - alergi obat<br />Diagnosa biasanya ditegakkan berdasarkan temuan klinis. Pada tahap awal, sulit untuk menegakkan diagnosa campak. Adanya konjungtivitis merupakan petunjuk berharga dalam upaya pengambilan diagnosa. Bila kita berhasil menemukan bercak Koplik, maka diagnosa dini dapat kita tegakkan.<br />Hal-hal yang membantu penegakan diagnosa:<br />1.Riwayat kontak dengan penderita campak<br />2.Gejala demam, batuk, pilek dan konjungtivitis<br />3.Bercak Koplik (patognomonik)<br />4.Erupsi makulopapula dengan tahap-tahap pemunculan yang khas<br />5.Bercak berwarna kehitaman pada kulit setelah sembuh<br />Pemeriksaan lain yang mungkin perlu dilakukan: <br />• pemeriksaan darah <br />• pembiakan virus <br />• serologi campak.<br />Pada kasus-kasus atipik, dapat dilakukan pemeriksaan serologi untuk memastikannya. Teknik pemeriksaan yang dapat digunakan adalah:<br />• Fiksasi komplemen<br />• Inhibisi hemaglutinasi<br />• Metode antibodi fluoresensi tidak langsung<br /><br />H. Komplikasi<br />Berbagai penyakit dapat terjadi pada penderita campak. Penyakit tersebut antara lain:<br />1. Konjungtivitis<br />2. Stomatitis<br />3. Bronkopnemonia<br />4. Diare<br />5. Otitis media akut<br />6. Laringitis<br />7. Malnutrisi<br />8. Purpura trombositopenia<br />9. Ensefalitis<br />10. Subakut sklerosing panensefalitis<br /><br />Malnutrisi merupakan komplikasi yang tidak boleh dipandang enteng. Malnutrisi dan campak membentuk suatu lingkaran setan. Malnutrisi memudahkan terjadinya sekaligus memperberat campak, sedangkan campak akan menyebabkan penderita mengalami malnutrisi. Campak dapat menyebabkan hal tersebut karena:<br />Penderita (terutama anak) malas makan akibat mulut sakit (akibat stomatitis).<br />Diare menyebabkan turunnya kemampuan penyerapan makanan<br />Demam meningkatkan metabolisme tubuh sehingga energi yang didapat dari makanan akan terbuang.<br />Ensefalitis (infeksi otak) terjadi pada 1 dari 1000 sampai 2000 kasus, ditandai dengan demam tinggi, kejang dan koma. Hal ini biasanya terjadi antara 2 hari sampai 3 minggu setelah ruam muncul. Ensefalitis biasanya berlangsung singkat dan sembuh dalam waktu satu minggu, tapi kadang-kadang bisa berkepanjangan dan mengakibatkan terjadinya kerusakan otak yang serius bahkan kematian.<br />Subakut sklerosing panensefalitis merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi. Keadaan ini disebabkan oleh virus "detektif" yang mengalami hipermutasi. Keadaan ini dapat berkembang bertahun-tahun kemudian, khususnya bila campak terjadi pada usia muda.<br /><br /><br />I. Pencegahan<br />1.Imunisasi aktif<br />Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan vaksin campak hidup yang telah dilemahkan. Vaksin hidup yang pertama kali digunakan adalah Strain Edmonston B. Pelemahan berikutnya dari Strain Edmonston B. Tersbut membawa perkembangan dan pemakaian Strain Schwartz dan Moraten secara luas. Vaksin tersebut diberikan secara subkutan dan menyebabkan imunitas yang berlangsung lama.<br />Pada penyelidikan serulogis ternyata bahwa imunitas tersebut mulai mengurang 8-10 tahun setelah vaksinasi. Dianjurkan agar vaksinasi campak rutin tidak dapat dilakukan sebelum bayi berusia 15 bulan karena sebelum umur 15 bulan diperkirakan anak tidak dapat membentuk antibodi secara baik karena masih ada antibodi dari ibu. Pada suatu komunitas dimana campak terdapat secara endemis, imunisasi dapat diberikan ketika bayi berusia 12 bulan.<br />2.Imunusasi pasif<br />Imunusasi pasif dengan serum oarng dewasa yang dikumpulkan, serum stadium penyembuhan yang dikumpulkan, globulin placenta (gama globulin plasma) yang dikumpulkan dapat memberikan hasil yang efektif untuk pencegahan atau melemahkan campak. Campak dapat dicegah dengan serum imunoglobulin dengan dosis 0,25 ml/kg BB secara IM dan diberikan selama 5 hari setelah pemaparan atau sesegera mungkin.<br /><br />J. Penatalaksanaan Medis<br />Sesungguhnya tidak ada pengobatan yang spesifik untuk mengatasi penyakit campak. Pada kasus yang ringan, tujuan terapi hanya untuk mengurangi demam dan batuk, sehingga penderita merasa lebih nyaman dan dapat beristirahat dengan lebih baik. Dengan istirahat yang cukup dan gizi yang baik, penyakit campak (pada kasus yang ringan) dapat sembuh dengan cepat tanpa menimbulkan komplikasi yang berbahaya.<br />Bila ringan, penderita campak tidak perlu dirawat. Penderita dapat dipulangkan dengan nasehat agar selalu mengupayakan peningkatan daya tahan tubuh, dan segera kontrol bila penyakit bertambah berat.<br />Umumnya dilakukan tindakan-tindakan sebagai berikut :<br />1. Isolasi untuk mencegah penularan<br />2. Tirah baring dalam ruangan yang temaram (agar tidak menyilaukan)<br />3. Jaga agar penderita tetap merasa hangat dan nyaman<br />4. Diet bergizi tinggi dan mudah dicerna. Bila tidak mampu makan banyak, berikan porsi kecil tapi sering (small but frequent)<br />5. Asupan cairan harus cukup untuk mencegah dehidrasi<br />6. Kompres hangat bila panas badan tinggi<br />7. Obat-obat yang dapat diberikan antara lain:<br />8. Penurun panas (antipiretik): Parasetamol atau ibuprofen<br />9. Pengurang batuk (antitusif)<br />10. Vitamin A dosis tunggal<br />Di bawah 1 tahun: 100.000 unit<br />Di atas 1 tahun: 200.000 unit<br />11. Antibiotika<br />Antibiotika hanya diberikan bila terjadi komplikasi berupa infeksi sekunder (seperti otitis media dan pnemonia)<br /><br />Konsep Asuhan Keperawatan Pasien Penderita Morbili<br />I.Pengkajian <br />A.Identitas diri : <br />B.Pemeriksaan Fisik : <br />1. Mata : terdapat konjungtivitis, fotophobia <br />2. Kepala : sakit kepala <br />3. Hidung : Banyak terdapat secret, influenza, rhinitis/koriza, perdarahan hidung (pada stad eripsi). <br />4. Mulut & bibir : Mukosa bibir kering, stomatitis, batuk, mulut terasa<br />pahit.<br />5. Kulit : Permukaan kulit (kering ), turgor kulit, rasa gatal,<br />ruam makuler pada leher, muka, lengan dan kaki (pada stad. Konvalensi), evitema, panas (demam).<br />6. Pernafasan : Pola nafas, RR, batuk, sesak nafas, wheezing, renchi,<br />sputum<br />7. Tumbang : BB, TB, BB Lahir, Tumbuh kembang R/ imunisasi. <br />8. Pola Defekasi : BAK, BAB, Diare <br />9. Status Nutrisi : intake – output makanan, nafsu makanan<br /><br />C.Keadaan Umum : Kesadaran, TTV <br /><br /><br /><br />II.DIAGNOSA KEPERAWATAN <br />1. Gangguan rasa nyaman : peningkatan suhu tubuh b.d proses inflamasi<br />2. Resiko kurang volume cairan b.d kehilangan sekunder terhadap demam<br />3. Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh : asupan makanan yang kurang b.d. anorexia<br />4. Gangguan pola nafas b.d inflamasi saluran nafas<br />5. Intoleransi aktivitas b.d. kelemahan umum<br />6. Gangguan persepsi sensori b.d radang konjungtiva<br />7. Gangguan integritas kulit b.d rash pada seluruh tubuh<br />8. Gangguan istirahat tidur b.d. rash pada seluruh tubuh, deskuamasi rasa gatal<br /><br />B.Perencanaan Asuhan Keperawatan<br />Diagnosa Keperawatan 1<br />Gangguan rasa nyaman : peningkatan suhu tubuh bd proses inflamasi <br />Data Subjektif : <br />• Pasien mengeluh pusing <br />• Pasien mengeluh panas <br />Data Objektif : <br />• Suhu tubuh<br />• Pasien tampak gelisah <br />• Mukosa mulut kering <br />• Keringat berlebihan <br />• Frekuensi pernafasan meningkat <br />• Kejang <br />• Takikardi <br />• Kulit terasa panas <br />Tujuan :<br />Suhu tubuh normal dalam jangka waktu….<br />Kriteria Hasil <br />Suhu tubuh 36,6 – 37,4 0C<br />Bibir lembab <br />Nadi normal <br />Kulit tidak terasa panas <br />Tidak ada gangguan neurologis ( kejang ) <br />Aktivitas sisi kemampuan<br />Intervensi Keperawatan<br />Identifikasi penyebab atau factor yang dapat menimbulkan peningkatan suhu tubuh: dehidrasi, infeksi, efek obat, hipertiroid. <br />Observasi TNSR per ….. <br />Observasi fungsi neurologis : status mental, reaksi terhadap stimulasi dan reaksi pupil. <br />Observasi cairan masuk dan keluar, hitung balance cairan <br />Observasi tanda kejang mendadak <br />Beri cairan sesuai kebutuhan bila tidak kontraindikasi <br />Berikan kompres air hangat <br />Berikan cairan dan karbohidrat yang cukup untuk meningkatkan hipermetabolisme akibat peningkatan suhu. <br />Anjurkan pasien untuk mengurangi aktivitas yang berlebihan bila suhu naik / bedrest total. <br />Anjurkan dan bantu pasien menggunakan pakaian yang mudah menyerap keringat. <br />Kolaborasi : <br />Pemberian anti piretik <br />Pemberian anti biotic <br />Pemeriksaan penunjang <br /><br />Diagnosa Keperawatan 2<br />Resiko kekurangan volume cairan tubuh B. D kehilangan sekunder terhadap demam. <br />Data Subjektif : <br />• Pasien mengeluh haus <br />• Pasien mengeluh lemas <br />• Pasien mengeluh mencret ….x/hr <br />• Pasien mengeluh muntah …x/hr <br />Data Objektif : <br />• TD…mmttg, N..x/mnt, 0S.. C, RR…x/mnt <br />• Turgor kulit jelek <br />• Perubahan produksi urine…cc/ 24 jam <br />• Penurunan pengisian vena ( capillary refill ) <br />• Volume dan tekanan nadi menurun <br />• Denyut nadi meningkat <br />• Demam <br />• Kulit kering <br />• Bibir kering <br />• Mata cekung <br />• Akral dingin <br />Tujuan <br />Tidak terjadi kekurangan volume cairan tubuh dalam jangka waktu …. <br />Kriteria Hasil<br />Turgor baik <br />Produksi urine …cc/jam <0,5 – 1 cc/kg BB/jam <br />Kulit lembab <br />TTV dalam batas normal <br />Mukosa mulut lembab <br />Cairan masuk dan keluar seimbang <br />Tidak pusing pada perubahan posisi <br />Tidak haus <br />Hb, Ht, dbn <br />Intervensi Keperawatan<br />Observasi penyebab kekurangan cairan : muntah, diare, kesulitan menelan, kekurangan darah aktif, diuretic, depresi, kelelahan <br />Observasi TNSR… <br />Observasi tanda – tanda dehidrasi <br />Observasi keadaan turgon kulit, kelembaban, membran mukosa <br />Monitor pemasukan dan pengeluaran cairan bila kekurangan cairan terjadi secara mendadak, ukur produksi urine setiap jam, berat jenis dan observasi warna urine. Catat dan ukur jumlah dan jenis cairan masuk dan keluar per…. <br />Perhatikan : cairan yang masuk, kecepatan tetesan untuk mencegah edema paru, dispneu, bila pasien terpasang infus <br />Timbang BB setiap hari <br />Pertahankan bedrest selama fase akut <br />Ajarkan tentang masukan cairan yang adekuat, tanda serta cara mengatasi kurang cairan <br />Kolaborasi : <br />Pemberian cairan parenteral sesuai indikasi <br />Pemberian obat sesuai indikasi <br />Observasi kadar elektronik, Hb,Ht <br /><br />Diagnosa Keperawatan 3<br />Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh : Asupan makanan yang kurang b.d anorexia<br />Data Subjektif : <br />• Pasien mengatakan mual <br />• Pasien mengatakan tidak nafsu makan<br />Data Objektif : <br />• Bising usus….x/mnt <br />• Mukosa mulut kering <br />• Vomitus ….cc <br />• Porsi makan : …..porsi <br />• Hb …., Albumin….. <br />• Konjungtiva dan selaput lendir pucat <br />• Terdapat bercak – bercak merah pada mukosa mulut <br />Tujuan <br />Pasien dapat memperbaiki status gizi (nutrisi ) dalam jangka waktu <br />Kriteria Hasil <br />BB meningkat <br />Mual berkurang / hilang <br />Tidak ada muntah <br />Pasien menghabiskan makan 1 porsi <br />Nafsu makan meningkat <br />Pasien menyebutkan manfaat nutrisi <br />Pasien mengungkapkan kesediaan mematuhi diit <br />Tidak ada tanda – tanda malnutrisi <br />Nilai Hb, Protein dalam batas normal <br />Intervensi Keperawatan<br />Kaji pola makan pasien <br />Observasi mual dan muntah <br />Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat untuk kesembuhan <br />Kaji kemampuan untuk mengunyah dan menelan <br />Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan atau hilangnya bising usus. <br />Beri posisi semi fowler / fowler saat makan <br />Identifikasi factor pencetus mual , muntah , diare, nyeri abdomen <br />Kaji makanan yang disukai dan tidak disukai sesuai diit <br />Sajikan makanan dalam keadaan hangat dan menarik <br />Bantu pasien untuk makan , catat jumlah makanan yang masuk <br />Hindari makanan dan minuman yang merangsang <br />Lakukan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan. <br />Kolaborasi : <br />Penatalaksanaan diit yang sesuai (dengan ahli gizi) <br />Pemberian nutrisi parenteral <br />Pemberian anti emetik <br />Pemberian multivitamin, cara pemberian makanan / tambahan.<br /><br />Diagnosa Keperawatan 4<br />Gangguan pola nafas b.d inflamasi saluran nafas<br />Subjektif :<br />-Dispnea<br />-Napas pendek<br />Objektif <br />-Perubahan gerakan dada<br />-Mengambil posisi tiga titik<br />-Penurunan tekanan inspirasi/ekspirasi<br />-Penurunan ventilasi semenit<br />-Penurunan kapasitas vital<br />-Napas dalam (dewasa VT 500 mL pada saat istirahat, bayi 6-8<br />mL/k) <br />-Peningkatan diameter anterior-posterior.<br />-Napas cuping hidung<br />-Kecepatan respirasi (usia dewasa 14 tahun atau lebih <11-24<br />[kali per menit], bayi 25-60, usia 1-4 <20-30, usia 5-14 <15<br />25).<br />-Rasio waktu <br />-Penggunaan otot-otot bantu untuk bernapas<br />Tujuan<br />Pasien menunjukkan Status Respirasi: Ventilasi: Pergerakan udara ke dalam dan ke luar dari paru-paru yang normal.<br />Kriteria hasil<br />Menunjukkan pola pernapasan efektif, dibuktikan dengan status pernapasan yang tidak berbahaya: ventulasi dan status tanda vital.<br />Menunjukkan status pernapasan: Ventilasi tidak terganggu, diotandai dengan indikator gangguan sebagai berikut (dengan ketentuan 1-5L ekstrem, kuat, sedang, ringan , tidak).<br />Kedalaman inspirasi dan kemudahan bernapas.<br />Ekspansi dada simetris.<br />Tidak ada penggunaan itot bantu.<br />Bunyi napas tambahan tidak ada.<br />Napas pendek tidak ada.<br />Menunjukkan pernapasan optimal pada saat terpasnag ventilator mekanis;<br />Mempunyai kecepatan dan irama respirasi dalam batas normal;<br />Mempunyai fungsi paru vatas normal untuk pasien;<br />Membutuhkan bantuan pernapasan sata dibutukan;<br />Mampu menggambarkan rencana untuk perawatan di rumah.<br />Intervensi Keperawatan<br />Pantau adanya pucat dan sianosis<br />Pantau efek obat pada status respirasi.<br />Tentukan lokasi dan luasnya krepitasi di tulang dada.<br />Kaji kebutuhan insersi jalan napas.<br />Observasi dan dokumentasikan ekspansi dada bilateral pada pasien dengan ventilator.<br />Pemantauan Pernapasan :<br />Pantau kecepatan, irama, kedalaman dan suaha respirasi; perhatikan pergerakan dada, amati kesimetrisan, penggunaan otot-otot bantu, serta retraksi otot suprakla vikular dan interkostal; pantau respirasi yang berbunyi, seperti mendengar;<br />Pantau pola pernapasa: bradip nea; takipnea; hiperventilasi; pernapasan Kussmaul; pernapasan Cheyne-Stokes; dan apneastik. Biot dan pola ataksik;<br />Perhatikan lokasi trakea;<br />Auskultasi bunyi napas, perhatikan area penurunan /tidak adanya ventilasi dan adanya bunyi napas tambahan ;<br />Pantau peningkatan kegelisahan, ansietasm dan tersengal-sengal; catat perubahan pada SaO2, SvO2, CO2 akhir-tidak, dan nilai gas darah arteri (GDA), dengan tepat.<br />Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang teknik relaksasi untuk meningkatkan pola pernapasan. Spesifikasikan teknik.<br />Ajarkan cara batuk secara efektif.<br />Informasikan kepada pasien/ keluarga bahwa tidak boleh merokok di ruangan<br />Instruksikan kepada pasien/keluarga bahwa mereka harus memberitahu perawat pada saat terjadi ketidakefektifan pola pernapasan.<br />Rujuk kepada ahli terapi pernapasan untuk memastikan keadaan fungsi ventilator mekanis.<br />Laporkan perubahan sensori, bunyi napas, dan pernapasan, nilai GDA, sputum, dan seterusnya, sesuai dengan kebutuhan atau protokol.<br />Berikan tindakan (misalnya, bronkodilator) sesuai dengan priogram atau protokol.<br />Berikan tindakan nebulizer ultrasonik dan udara pelembap atau oksigen sesuai dengan program protokol institusi.<br />Berikan obat nyeri untuk pengoptimalkan pola pernapasan. Spesifikkan jadwal.<br />Hubungkan dan dokumentasikan semua data pengkajian (misalnya, sensori, bunyi naoas, pola pernapasan, nilai Gda, sputum, dan efek obat pada pasien).<br />Bantu pasien untuk menggunakan spirometer insentif, sesuai dengan kebutuhan.<br />Yakinkan kembali pasien selama periode distres pernapasan.<br />Anjurkan napas dalam melalui abdomen selama periode distres pernapasan.<br />Lakukan pengisapan sesuai dengan kebutuhan untuk membersihkan sekresi.<br />Minta pasien untuk berpindah, batuk dan napas dalam setiap <br />Informasikan kepada pasien sebelum memulai prosedur yang dimaksudkan, untuk menurunkan ansietas dan meningkatkan perasaan kontrol.<br />Pertahankan oksigen aliran rendah kanula nasal, masker, sungkup, atau tenda. Spesifikkan kecepatan aliran.<br />Posisikan pasien untuk mengoptimalkan pernapasan. Spefikkan posisi.<br />Sinkronisasikan antara pola pernapasan klien dan kecepatan ventilasi.<br /><br />Diagnosa Keperawatan 5<br />Intoleransi aktivitas b.d. kelemahan umum<br />Subjektif : <br />tdaknyamanan atau dispnea yang membutuhkan pengeragan tenaga.<br />Melaporkan keletihan atau kelemahan secara verbal.<br />Objektif <br />Denyut jantung atau tekanan darah tidak normal sebagai respons terhadap aktivitas.<br />Perubahan EKG selama aktivitas yang menunjukkan aritmia atau iskemia.<br />Faktor yang Berhubungan<br />Tirah baring/imobilitas<br />Nyeri kronis<br />Kelemahan umum<br />Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen<br />Gaya hidup menoton<br />Tujuan/ Kriteria Evaluasi<br />Contoh Penggunaan Bahasa NOC<br />Mentoleransi aktivitas yang biasa dilakukan dan ditunjukkan dengan Daya tahan, penghematan energi, dan perawatan diri: aktivitas kehidupan sehari-hari (dan AKSI).<br />Menunjukkan Penghematan energi, ditandai dengan indikator sebagai berikut (dengan ketentuan 1-5: tidak sama sekali, ringan, sedang, berat , atau sangat berat ).<br />Menyadari keterbatasan energi<br />Menyeimbangkan aktivitas dan istirahat.<br />Tingkat daya tahan adekuat untuk beraktivitas.<br />Contoh lain<br />Pasien akan :<br />Mengidentifikasi aktivitas dan/atau situasi yang menimbulkan kecemasan yang berkonsetribusi oada intoleransi aktivitas;<br />Berpartisipasi dalam aktivitas fisik yang dibuthhkan dengan peningkatan yang memadai pada denwyut jantung, frekuensi respirasi, dan tekanan darah dan pola yang dipantu dalam b atas normal;<br />Mengungkapkan secara verbal pema haman tentang kebiutuhan oksigen, pengobatan, dan / atau peralatan yang dapat meningkatkan toleransi terhadap aktivitas;<br />Menampilkan aktivitas kehidupan sehari-hari (aks0 dengan beberapa bantuan (mislanya, eliminasi dengan bantuan ambulasi untuk ke kamar mandi);<br />Menanmpilakn pengelolaan pemeliharaan di rumah dengan beberapa bantuan (misalnya, membutuhkan bantuan untuk kebersihan stiap minggu).<br /><br />Intervensi Prioritas NIC<br />Terapi Aktivitas: saran tentang dan bantuan dalama aktivitas fisik, kognitif, sosial dan spritual yang spesifiik untuk meningkatkan rentang, frekuensiu atau durasi aktivitas individu (atau kelompok). Pengelolaan Energi: Pengurangan penggunmaan energi untuk merawat atau mencegah kelelahan dan mengoptiomalkan fungsi.<br /><br />Aktivitas Keperawatan<br />Pengakajian<br />Kaji respons emosi, sosial, dan spritual terhadap aktivitas.<br />Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan aktivitas.<br />Pengelolaan Energi (NIC):<br />Tentukan penyebab keletihan (misalnya, karena perawatan, nyeri, dan pengobatan);<br />Pantau respons kardiorespi ratori terhadap aktivitas (mislanya, takikardia, distrimia lain, diaforesis , pucat, tekanan hemadinamik, dan frekuensi respirasi);<br />Pantau respons oksigen (misalnya, nadi, irama, jantung, dan frekuensji respirasi) terhadap aktivitas perawatan diri; pantau asupan nutrisi untuk memastikan keadekuatan sumber-sumber energi;<br />Pantau / dokumentasikan pola istirajat pasien dan lamanya waktu tidur.<br />Pendidikan untuk Pasien / keluarga<br />Instruksikan kepada pasien/keluarga dalam:<br />Penggunaan peralatan, seperti oksigen, selama aktivitas;<br />Penggunaan teknik relaksasi (misalnya, distraksi, visualisasi) selama aktivitas.<br />Pengelolaan Energi (NIC):<br />Ajarkan kepada pasien dan orang yang penting bagi pasien tentang teknik perawatan diri yang akan meminimalkan konsumsi oksigen (misalnya, memantau diri dan teknik berjalan untuk melakukan AKS);<br />Aktivitas Kolaboratif<br />Berikan pengobatan nyeri sebelum aktivita s.<br />Kolaborasikan dengan ahli terapi okupasi, fisik dan/atau rekreasi untuk merencanakan dan memantau program aktivitas, sesuai dengan kebutuhan.<br />Rujuk pada pelayanan kesehatan rumah untuk mendapatkan pelayanan tentang bantuan perawatan rumah, sesuai dengan kebutuhan.<br />Rujuk pada ahli gizi unmtuk merencanakan makanan untuk meningkatkan asupan makanan yang tinggi energi.<br />Aktivitas lain<br />Hindari menjadwalkan aktivitas perawatyan selama periode istirahat.<br />Bantu pasien untuk mengibah posisi secara berkala, bersandar, dudul, berdiri, dan ambulasi yang dapat ditoleransi.<br />Rencanakan aktivitas dengan pasien/keluarga yang meningkatkan kemandirian dan daya tahan. Misalnya :<br />Anjurkan periode alternatif untuk istirahat dan aktivitas; <br />Simpan objek yang sering digunakan pada tempat yang mudah dijangkau;<br />Buat tujuan yang sederhana, realistis, dan dapat dicapai oleh pasien yang meningkatkan kemandirian dan harga diri.<br />Rencana keperawatan untuk bayi/anak untuk meminimalkan kebutuhan oksigen bagi tubuh:<br />Antisipasi kenbutuhan makanan, cairan, kenyamanan, digendong, dan stimulasi untuk mencegah tangisan yang tidak perlu:<br />Hindari lingkungan yang mempunyai konsentrasi oksigen rendah (mislanya, pada daerah dataran tinggi, pesawat terbang yang bertekanan tidak normal);<br />Minimalkan ansietas dan stres;<br />Cegah hipertemia dan hipotermia;<br />Cegah infeksi;<br />Berikan instirahat yang adekuat.<br />Pengelolaan Energi (NIC):<br />Bantu pasien untuk mengidentifikasi pilihan aktivitas; rencanakan aktivitas pada periode pasien mempunyai energi paling banyak;<br />Bantu dengan aktivitas fisik teratur (misalnya, ambulasi, transfer, posisi, dan perawatan personal) sesuai kebutuhan;<br />Batasi rangsangan lingkungan (seperti cahaya dan kebisingan) untuk memfasilitasi relaksasi;<br />Bantu pasien untuk memantau diri dengan membuat dan menggunakan dokumentasi tentang CATATAN asupan kalori dan energi, sesuai kebutuhan.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Hartanto, Huriawati, dr., dkk., Kamus Kedokteran Dorland, Edisi Dua Sembilan, EGC, Jakarta, 2006.<br />Rudolph, Abraham M. , Julien I. E. Hoffman, Colin D. Rudolph.Buku Ajar PediatrikRudolph. Edisi Dua Puluh, Volume 1, EGC, Jakarta, 2006.<br />Betz, Cecity L., Linda A. Sowden, Buku Saku Keperawan Pediatri, EGC, Jakarta, 2002.<br />Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Ilmu Kesehatan Anak 2, Bagian Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1985.<br />H. John, Kamus Ringkas Kedokteran Stedman untuk Profesi Kesehatan, Edisi Empat, EGC, Jakarta, 2005.<br />http://www.litbang.depkes.go.id/aktual/kliping/ginjal250406.htm, di download tanggal 8 Januari 2007, pukul 11.00 am.risda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2674685999395418367.post-66254175045918862062010-02-19T19:54:00.000-08:002010-02-19T19:55:37.278-08:00ASUHAN KEPERAWATAN HEPATITIS<br /><br />A. DEFINISI <br />Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan yang dapat disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan serta bahan-bahan kimia. (Sujono Hadi, 1999).<br />Hepatitis virus merupakan infeksi sistemik oleh virus disertai nekrosis dan klinis, biokimia serta seluler yang khas (Smeltzer, 2001)<br /><br />B. ETIOLOGI <br />1. Virus <br /> Type A Type B Type C Type D Type E<br />Metode transmisi Fekal-oral melalui orang lain Parenteral seksual, perinatal Parenteral jarang seksual, orang ke orang, perinatal Parenteral perinatal, memerlukan koinfeksi dengan type B<br /> Fekal-oral<br />Keparahan Tak ikterik dan asimto- matik Parah Menyebar luas, dapat berkem-bang sampai kronis Peningkatan insiden kronis dan gagal hepar akut<br /> Sama dengan D<br />Sumber virus Darah, feces, saliva Darah, saliva, semen, sekresi vagina Terutama melalui darah Melalui darah Darah, feces, saliva<br /><br />2. Alkohol <br />Menyebabkan alkohol hepatitis dan selanjutnya menjadi alkohol sirosis.<br /><br />3. Obat-obatan <br />Menyebabkan toksik untuk hati, sehingga sering disebut hepatitis toksik dan hepatitis akut.<br /><br />C. TANDA DAN GEJALA <br />1. Masa tunas <br />Virus A : 15-45 hari (rata-rata 25 hari)<br />Virus B : 40-180 hari (rata-rata 75 hari)<br />Virus non A dan non B : 15-150 hari (rata-rata 50 hari)<br />2. Fase Pre Ikterik <br />Keluhan umumnya tidak khas. Keluhan yang disebabkan infeksi virus berlangsung sekitar 2-7 hari. Nafsu makan menurun (pertama kali timbul), nausea, vomitus, perut kanan atas (ulu hati) dirasakan sakit. Seluruh badan pegal-pegal terutama di pinggang, bahu dan malaise, lekas capek terutama sore hari, suhu badan meningkat sekitar 39oC berlangsung selama 2-5 hari, pusing, nyeri persendian. Keluhan gatal-gatal mencolok pada hepatitis virus B.<br />3. Fase Ikterik <br />Urine berwarna seperti teh pekat, tinja berwarna pucat, penurunan suhu badan disertai dengan bradikardi. Ikterus pada kulit dan sklera yang terus meningkat pada minggu I, kemudian menetap dan baru berkurang setelah 10-14 hari. Kadang-kadang disertai gatal-gatal pasa seluruh badan, rasa lesu dan lekas capai dirasakan selama 1-2 minggu. <br />4. Fase penyembuhan <br />Dimulai saat menghilangnya tanda-tanda ikterus, rasa mual, rasa sakit di ulu hati, disusul bertambahnya nafsu makan, rata-rata 14-15 hari setelah timbulnya masa ikterik. Warna urine tampak normal, penderita mulai merasa segar kembali, namun lemas dan lekas capai.<br /><br /><br /><br />D. PATOFOSIOLOGI <br /> Inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan dan bahan-bahan kimia. Unit fungsional dasar dari hepar disebut lobul dan unit ini unik karena memiliki suplai darah sendiri. Sering dengan berkembangnya inflamasi pada hepar, pola normal pada hepar terganggu. Gangguan terhadap suplai darah normal pada sel-sel hepar ini menyebabkan nekrosis dan kerusakan sel-sel hepar. Setelah lewat masanya, sel-sel hepar yang menjadi rusak dibuang dari tubuh oleh respon sistem imun dan digantikan oleh sel-sel hepar baru yang sehat. Oleh karenanya, sebagian besar klien yang mengalami hepatitis sembuh dengan fungsi hepar normal.<br /> Inflamasi pada hepar karena invasi virus akan menyebabkan peningkatan suhu badan dan peregangan kapsula hati yang memicu timbulnya perasaan tidak nyaman pada perut kuadran kanan atas. Hal ini dimanifestasikan dengan adanya rasa mual dan nyeri di ulu hati.<br /> Timbulnya ikterus karena kerusakan sel parenkim hati. Walaupun jumlah billirubin yang belum mengalami konjugasi masuk ke dalam hati tetap normal, tetapi karena adanya kerusakan sel hati dan duktuli empedu intrahepatik, maka terjadi kesukaran pengangkutan billirubin tersebut didalam hati. Selain itu juga terjadi kesulitan dalam hal konjugasi. Akibatnya billirubin tidak sempurna dikeluarkan melalui duktus hepatikus, karena terjadi retensi (akibat kerusakan sel ekskresi) dan regurgitasi pada duktuli, empedu belum mengalami konjugasi (bilirubin indirek), maupun bilirubin yang sudah mengalami konjugasi (bilirubin direk). Jadi ikterus yang timbul disini terutama disebabkan karena kesukaran dalam pengangkutan, konjugasi dan eksresi bilirubin.<br /> Tinja mengandung sedikit sterkobilin oleh karena itu tinja tampak pucat (abolis). Karena bilirubin konjugasi larut dalam air, maka bilirubin dapat dieksresi ke dalam kemih, sehingga menimbulkan bilirubin urine dan kemih berwarna gelap. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat disertai peningkatan garam-garam empedu dalam darah yang akan menimbulkan gatal-gatal pada ikterus.<br /><br />E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK<br />1. Laboratorium<br />a. Pemeriksaan pigmen<br />- urobilirubin direk<br />- bilirubun serum total<br />- bilirubin urine<br />- urobilinogen urine<br />- urobilinogen feses<br />b. Pemeriksaan protein<br />- protein totel serum<br />- albumin serum<br />- globulin serum<br />- HbsAG<br />c. Waktu protombin<br />- respon waktu protombin terhadap vitamin K <br />d. Pemeriksaan serum transferase dan transaminase<br />- AST atau SGOT<br />- ALT atau SGPT<br />- LDH<br />- Amonia serum<br />2. Radiologi<br />- foto rontgen abdomen<br />- pemindahan hati denagn preparat technetium, emas, atau rose bengal yang berlabel radioaktif<br />- kolestogram dan kalangiogram<br />- arteriografi pembuluh darah seliaka<br />3. Pemeriksaan tambahan<br />- laparoskopi<br />- biopsi hati<br /><br />F. KOMPLIKASI<br />Ensefalopati hepatic terjadi pada kegagalan hati berat yang disebabkan oleh akumulasi amonia serta metabolik toksik merupakan stadium lanjut ensefalopati hepatik. Kerusakan jaringan paremkin hati yang meluas akan menyebabkan sirosis hepatis, penyakit ini lebih banyak ditemukan pada alkoholik.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />ASUHAN KEPERAWATAN<br /><br />A. PENGKAJIAN<br />Data dasar tergantung pada penyebab dan beratnya kerusakan/gangguan hati<br />1. Aktivitas<br /> Kelemahan<br /> Kelelahan<br /> Malaise<br />2. Sirkulasi<br /> Bradikardi ( hiperbilirubin berat )<br /> Ikterik pada sklera kulit, membran mukosa<br />3. Eliminasi<br /> Urine gelap<br /> Diare feses warna tanah liat<br />4. Makanan dan Cairan<br /> Anoreksia<br /> Berat badan menurun<br /> Mual dan muntah<br /> Peningkatan oedema<br /> Asites<br />5. Neurosensori<br /> Peka terhadap rangsang<br /> Cenderung tidur<br /> Letargi<br /> Asteriksis<br />6. Nyeri / Kenyamanan<br /> Kram abdomen<br /> Nyeri tekan pada kuadran kanan <br /> Mialgia<br /> Atralgia<br /> Sakit kepala<br /> Gatal ( pruritus )<br />7. Keamanan<br /> Demam<br /> Urtikaria<br /> Lesi makulopopuler<br /> Eritema<br /> Splenomegali<br /> Pembesaran nodus servikal posterior<br />8. Seksualitas<br /> Pola hidup / perilaku meningkat resiko terpajan<br /><br />B. DIAGNOSA KEPERAWATAN <br />Beberapa masalah keperawatan yang mungkin muncul pada penderita hepatitis :<br />1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan, perasaan tidak nyaman di kuadran kanan atas, gangguan absorbsi dan metabolisme pencernaan makanan, kegagalan masukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik karena anoreksia, mual dan muntah.<br />2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan pembengkakan hepar yang mengalami inflamasi hati dan bendungan vena porta.<br />3. Hypertermi berhubungan dengan invasi agent dalam sirkulasi darah sekunder terhadap inflamasi hepar <br />4. Keletihan berhubungan dengan proses inflamasi kronis sekunder terhadap hepatitis <br />5. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan pruritus sekunder terhadap akumulasi pigmen bilirubin dalam garam empedu <br />6. Risiko tinggi terhadap transmisi infeksi berhubungan dengan sifat menular dari agent virus <br /><br />G. INTERVENSI <br />1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan, perasaan tidak nyaman di kuadran kanan atas, gangguan absorbsi dan metabolisme pencernaan makanan, kegagalan masukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik karena anoreksia, mual dan muntah.<br />Hasil yang diharapkan : Menunjukkan peningkatan berat badan mencapai tujuan dengan nilai laboratorium normal dan bebas dari tanda-tanda mal nutrisi.<br />a. Ajarkan dan bantu klien untuk istirahat sebelum makan<br />R/ keletihan berlanjut menurunkan keinginan untuk makan <br />b. Awasi pemasukan diet/jumlah kalori, tawarkan makan sedikit tapi sering dan tawarkan pagi paling sering<br />R/ adanya pembesaran hepar dapat menekan saluran gastro intestinal dan menurunkan kapasitasnya. <br />c. Pertahankan hygiene mulut yang baik sebelum makan dan sesudah makan <br />R/ akumulasi partikel makanan di mulut dapat menambah baru dan rasa tak sedap yang menurunkan nafsu makan.<br />d. Anjurkan makan pada posisi duduk tegak<br />R/ menurunkan rasa penuh pada abdomen dan dapat meningkatkan pemasukan<br />e. Berikan diit tinggi kalori, rendah lemak <br />R/ glukosa dalam karbohidrat cukup efektif untuk pemenuhan energi, sedangkan lemak sulit untuk diserap/dimetabolisme sehingga akan membebani hepar.<br /><br />2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan pembengkakan hepar yang mengalami inflamasi hati dan bendungan vena porta.<br />Hasil yang diharapkan :<br />Menunjukkan tanda-tanda nyeri fisik dan perilaku dalam nyeri (tidak meringis kesakitan, menangis intensitas dan lokasinya)<br />a. Kolaborasi dengan individu untuk menentukan metode yang dapat digunakan untuk intensitas nyeri <br />R/ nyeri yang berhubungan dengan hepatitis sangat tidak nyaman, oleh karena terdapat peregangan secara kapsula hati, melalui pendekatan kepada individu yang mengalami perubahan kenyamanan nyeri diharapkan lebih efektif mengurangi nyeri.<br />b. Tunjukkan pada klien penerimaan tentang respon klien terhadap nyeri<br />- Akui adanya nyeri <br />- Dengarkan dengan penuh perhatian ungkapan klien tentang nyerinya <br />R/ klienlah yang harus mencoba meyakinkan pemberi pelayanan kesehatan bahwa ia mengalami nyeri <br />c. Berikan informasi akurat dan <br />- Jelaskan penyebab nyeri<br />- Tunjukkan berapa lama nyeri akan berakhir, bila diketahui <br />R/ klien yang disiapkan untuk mengalami nyeri melalui penjelasan nyeri yang sesungguhnya akan dirasakan (cenderung lebih tenang dibanding klien yang penjelasan kurang/tidak terdapat penjelasan)<br />d. Bahas dengan dokter penggunaan analgetik yang tak mengandung efek hepatotoksi <br />R/ kemungkinan nyeri sudah tak bisa dibatasi dengan teknik untuk mengurangi nyeri.<br /><br />3. Hypertermi berhubungan dengan invasi agent dalam sirkulasi darah sekunder terhadap inflamasi hepar.<br />Hasil yang diharapkan : <br />Tidak terjadi peningkatan suhu<br />a. Monitor tanda vital : suhu badan <br />R/ sebagai indikator untuk mengetahui status hypertermi <br />b. Ajarkan klien pentingnya mempertahankan cairan yang adekuat (sedikitnya 2000 l/hari) untuk mencegah dehidrasi, misalnya sari buah 2,5-3 liter/hari.<br />R/ dalam kondisi demam terjadi peningkatan evaporasi yang memicu timbulnya dehidrasi<br />c. Berikan kompres hangat pada lipatan ketiak dan femur <br />R/ menghambat pusat simpatis di hipotalamus sehingga terjadi vasodilatasi kulit dengan merangsang kelenjar keringat untuk mengurangi panas tubuh melalui penguapan<br />d. Anjurkan klien untuk memakai pakaian yang menyerap keringat<br />R/ kondisi kulit yang mengalami lembab memicu timbulnya pertumbuhan jamur. Juga akan mengurangi kenyamanan klien, mencegah timbulnya ruam kulit.<br /><br /><br />4. Keletihan berhubungan dengan proses inflamasi kronis sekunder terhadap hepatitis <br />a. Jelaskan sebab-sebab keletihan individu <br />R/ dengan penjelasan sebab-sebab keletihan maka keadaan klien cenderung lebih tenang <br />b. Sarankan klien untuk tirah baring <br />R/ tirah baring akan meminimalkan energi yang dikeluarkan sehingga metabolisme dapat digunakan untuk penyembuhan penyakit.<br />c. Bantu individu untuk mengidentifikasi kekuatan-kekuatan, kemampuan-kemampuan dan minat-minat<br />R/ memungkinkan klien dapat memprioritaskan kegiatan-kegiatan yang sangat penting dan meminimalkan pengeluaran energi untuk kegiatan yang kurang penting<br />d. Analisa bersama-sama tingkat keletihan selama 24 jam meliputi waktu puncak energi, waktu kelelahan, aktivitas yang berhubungan dengan keletihan<br />R/ keletihan dapat segera diminimalkan dengan mengurangi kegiatan yang dapat menimbulkan keletihan <br />e. Bantu untuk belajar tentang keterampilan koping yang efektif (bersikap asertif, teknik relaksasi)<br />R/ untuk mengurangi keletihan baik fisik maupun psikologis<br /><br /><br />5. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan pruritus sekunder terhadap akumulasi pigmen bilirubin dalam garam empedu <br />Hasil yang diharapkan :<br />Jaringan kulit utuh, penurunan pruritus.<br />a. Pertahankan kebersihan tanpa menyebabkan kulit kering <br />- Sering mandi dengan menggunakan air dingin dan sabun ringan (kadtril, lanolin)<br />- Keringkan kulit, jaringan digosok <br />R/ kekeringan meningkatkan sensitifitas kulit dengan merangsang ujung syaraf<br />b. Cegah penghangatan yang berlebihan dengan pertahankan suhu ruangan dingin dan kelembaban rendah, hindari pakaian terlalu tebal<br />R/ penghangatan yang berlebih menambah pruritus dengan meningkatkan sensitivitas melalui vasodilatasi <br />c. Anjurkan tidak menggaruk, instruksikan klien untuk memberikan tekanan kuat pada area pruritus untuk tujuan menggaruk <br />R/ penggantian merangsang pelepasan hidtamin, menghasilkan lebih banyak pruritus<br />d. Pertahankan kelembaban ruangan pada 30%-40% dan dingin <br />R/ pendinginan akan menurunkan vasodilatasi dan kelembaban kekeringan<br /><br />6. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengumpulan cairan intraabdomen, asites penurunan ekspansi paru dan akumulasi sekret.<br />Hasil yang diharapkan :<br />Pola nafas adekuat<br />Intervensi :<br />a. Awasi frekwensi , kedalaman dan upaya pernafasan<br />R/ pernafasan dangkal/cepat kemungkinan terdapat hipoksia atau akumulasi cairan dalam abdomen<br />b. Auskultasi bunyi nafas tambahan<br />R/ kemungkinan menunjukkan adanya akumulasi cairan<br />c. Berikan posisi semi fowler<br />R/ memudahkan pernafasan denagn menurunkan tekanan pada diafragma dan meminimalkan ukuran sekret<br />d. Berikan latihan nafas dalam dan batuk efektif<br />R/ membantu ekspansi paru dalam memobilisasi lemak<br />e. Berikan oksigen sesuai kebutuhan<br />R/ mungkin perlu untuk mencegah hipoksia <br /><br />7. Risiko tinggi terhadap transmisi infeksi berhubungan dengan sifat menular dari agent virus <br />Hasil yang diharapkan : <br /> Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi.<br />a. Gunakan kewaspadaan umum terhadap substansi tubuh yang tepat untuk menangani semua cairan tubuh <br />- Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan semua klien atau spesimen <br />- Gunakan sarung tangan untuk kontak dengan darah dan cairan tubuh <br />- Tempatkan spuit yang telah digunakan dengan segera pada wadah yang tepat, jangan menutup kembali atau memanipulasi jarum dengan cara apapun <br />R/ pencegahan tersebut dapat memutuskan metode transmisi virus hepatitis <br />b. Gunakan teknik pembuangan sampah infeksius, linen dan cairan tubuh dengan tepat untuk membersihkan peralatan-peralatan dan permukaan yang terkontaminasi <br />R/ teknik ini membantu melindungi orang lain dari kontak dengan materi infeksius dan mencegah transmisi penyakit <br />c. Jelaskan pentingnya mencuci tangan dengan sering pada klien, keluarga dan pengunjung lain dan petugas pelayanan kesehatan.<br />R/ mencuci tangan menghilangkan organisme yang merusak rantai transmisi infeksi<br />d. Rujuk ke petugas pengontrol infeksi untuk evaluasi departemen kesehatan yang tepat <br />R/ rujukan tersebut perlu untuk mengidentifikasikan sumber pemajanan dan kemungkinan orang lain terinfeksi <br /> <br />DAFTAR PUSTAKA <br /><br />Carpenito Lynda Jual, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta.<br />Gallo, Hudak, 1995, Keperawatan Kritis, EGC, Jakarta.<br />Hadim Sujono, 1999, Gastroenterologi, Alumni Bandung.<br />Moectyi, Sjahmien, 1997, Pengaturan Makanan dan Diit untuk Pertumbuhan Penyakit, Gramedia Pustaka Utama Jakarta.<br />Price, Sylvia Anderson, Wilson, Lorraine Mc Carty, 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, EGC, Jakarta.<br />Smeltzer, suzanna C, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner dan Suddart. Alih bahasa Agung Waluyo, Edisi 8, jakarta, EGC, 2001.<br />Susan, Martyn Tucker et al, Standar Perawatan Pasien, jakarta, EGC, 1998.<br />Reeves, Charlene, et al,Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa Joko Setiyono, Edisi I, jakarta, Salemba Medika.<br />Sjaifoellah Noer,H.M, 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, edisi ketiga, Balai Penerbit FKUI, jakarta.risda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2674685999395418367.post-44996917105428097242010-02-19T19:52:00.000-08:002010-02-19T19:54:24.210-08:00ASUHAN KEPERAWATAN ANAK KEJANG DEMAM<span style="font-weight:bold;">ASUHAN KEPERAWATAN ANAK KEJANG DEMAM<span style="font-weight:bold;"></span></span><br />A. PENGERTIAN<br />Kejang demam : bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (Rectal di atas 38o C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium (Ngastiyah, 1997: 229)<br />Kejang demam : bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu tubuh rectal di atas 38o C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (Mansjoer, A.dkk. 2000: 434)<br />Kejang demam : kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi yang disebabkan oleh kelainan ekstrakranium (Lumban tobing, 1995: 1)<br />Kejang demam : gannguan sementara yang terjadi pada anak-anak yang ditandai dengan demam (Wong, D.T. 1999: 182)<br />Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memori yang bersifat sementara (Hudak and Gallo,1996).<br />Kejang demam adalah serangan pada anak yang terjadi dari kumpulan gejala dengan demam (Walley and Wong’s edisi III,1996).<br />Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38° c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia A. Price, Latraine M. Wikson, 1995).<br />Dari pengertian diatas dapat disimpulkan kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yaitu 38o C yang sering di jumpai pada usia anak dibawah lima tahun.<br />B. ETIOLOGI<br />Menurut Mansjoer, dkk (2000: 434) Lumban Tobing (1995: 18-19) dan Whaley and Wong (1995: 1929)<br />1. Demam itu sendiri<br />2. Demam yang disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih, kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi.<br />3. Efek produk toksik daripada mikroorganisme<br />4. Respon alergik atau keadaan umum yang abnormal oleh infeksi.<br />5. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit.<br />6. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan, yang tidak diketahui atau enselofati toksik sepintas.<br />Menurut staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI (1985: 50), faktor presipitasi kejang demam: cenderung timbul 24 jam pertama pada waktu sakit demam atau dimana demam mendadak tinggi karena infeksi pernafasan bagian atas. Demam lebih sering disebabkan oleh virus daripada bakterial.<br /><br />C. PATOFISIOLOGI<br />Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel/organ otak diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yaitu glukosa sifat proses ini adalah oksidasi dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sestem kardiovaskuler.<br />Dari uraian di atas, diketahui bahwa sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel yang dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit oleh natrium (Na+) dan elektrolit lainnya kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan ion Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena keadaan tersebut, maka terjadi perbedaan potensial membran yang disebut potesial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na - K Atp – ase yang terdapat pada permukaan sel.<br />Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. Rangsangan yang datangnya mendadak seperti mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya dan perubahan patofisiologi dan membran sendiri karena penyakit atau keturunan.<br />Pada demam, kenaikan suhu 1o C akan mengakibatkan kenaikan suhu 1o C akan mengakibatkan metabolisme basal 10 - 15 % dan kebutuhan O2 meningkat 20 %.<br />Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa (hanya 15%) oleh karena itu, kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion kalium dan natrium melalui membran listrik. Ini demikian besarnya sehingga meluas dengan seluruh sel dan membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang tersebut ”neurotransmitter” dan terjadi kejang.<br />Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 38o C dan anak dengan ambang kejang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40o C atau lebih, kejang yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai apnea. Meningkatnya kebutuhan O2 dan untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, denyut jantung yang tidak teratur dan makin meningkatnya suhu tubuh karena tingginya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otek meningkat. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul oedema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak (Hasan dan Alatas, 1985: 847 dan Ngastiyah, 1997: 229)<br />E. MANIFESTASI KLINIS<br />Kebanyakan kejang demam berlangsung singkat, bilateral, serangan berupa klonik atau tonik-klonik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf. Kejang demam dapat berlangsung lama dan atau parsial. Pada kejang yang unilateral kadang-kadang diikuti oleh hemiplegi sementara (Todd’s hemiplegia) yang berlangsung beberapa jam atau bebarapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiplegi yang menetap. (Lumbantobing,SM.1989:43)<br />Menurut Behman (2000: 843) kejang demam terkait dengan kenaikan suhu yang tinggi dan biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 39o C atau lebih ditandai dengan adanya kejang khas menyeluruh tionik klonik lama beberapa detik sampai 10 menit. Kejang demam yang menetap > 15 menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik selain itu juga dapat terjadi mata terbalik ke atas dengan disertai kekakuan dan kelemahan serta gerakan sentakan terulang.<br />F. PENATALAKSANAAN<br />Menurut Ngastiyah (1997: 232-235) dan Hassan & Alatas (195: 850-854) ada 4 faktor yang perlu dikerjakan :<br />1. Segera diberikan diezepam intravena -->dosis rata-rata 0,3mg/kg<br />atau diazepam rektal ---------------->dosis ≤ 10 kg = 5mg/kg<br />Bila diazepam tidak tersedia langsung memakai fenobarbital dengan dosis awal selanjutnya diteruskan dengan dosis rumat.<br />2.Membebaskan jalan nafas, oksigenasi secukupnya<br />3.Meurunkan panas bila demam atau hipereaksi, dengan kompres seluruh tubuh dan bila telah memungkinkan dapat diberikan parasetamol 10 mg/kgBB/kali kombinasi diazepam oral 0,3 mg/kgBB<br />4.memberikan cairan yang cukup bila kejang berlangsung cukup lama (> 10 menit) dengan IV : D5 1/4, D5 1/5, RL.<br />Ada juga penatalaksanaan yang lain yaitu:<br />a. Bila etiologi telah diketahui pengobatan terhadap penyakit primer segera dilakukan. Bila terdapat hipogikemia, beri larutan glukosa 20 % dengan dosis 2 - 4 ml/kg BB secara intravena dan perlahan kemudian dilanjutkan dengan larutan glukosa 10 % sebanyak 60 - 80 ml/kg secara intravena. Pemberian Ca - glukosa hendaknya disertai dengan monitoring jantung karena dapat menyebabkan bradikardi. Kemudian dilanjutkan dengan peroral sesuai kebutuhan. Bila secara intravena tidak mungkin, berikan larutan Ca glukosa 10 % sebanyak 10 ml per oral setiap sebelum minum susu.<br />b. Bila kejang tidak hilang, harus pikirkan pemberian magnesium dalam bentuk larutan 50% Mg SO4 dengan dosis 0,2 ml/kg BB (IM) atau larutan 2-3 % mg SO4 (IV) sebanyak 2 – 6 ml. Hati-hati terjadi hipermagnesemia sebab gejala hipotonia umum menyerupai floppy infant dapat muncul.<br />c. Pengobatan dengan antikonvulsan dapat dimulai bila gangguan metabolik seperti hipoglikemia atau hipokalsemia tidak dijumpai. Obat konvulsan pilihan utama untuk bayi baru lahir adalah Fenobarbital (Efek mengatasi kejang, mengurangi metabolisme sel yang rusak dan memperbaiki sirkulasi otak sehingga melindungi sel yang rusak karena asfiksia dan anoxia). Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg . kg BB IV berikan dalam 2 dosis selama 20 menit.<br />Banyak penulis tidak atau jarang menggunakan diazepam untuk memberantas kejang pada BBL dengan alasan efek diazepam hanya sebentar dan tidak dapat mencegah kejang berikutnya. Disamping itu pemberian bersama-sama dengan fenobarbital akan mempengaruhi pusat pernafasan karena zat pelarut diazepam mengandung natrium benzoat yang dapat menghalangi peningkatan bilirubin dalam darah<br />G. KLASIFIKASI<br />Menurut Ngastiyah ( 1997: 231), klasikfikasi kejang demam adalah<br />1. Kejang demam sederhana<br />yaitu kejang berlangsung kurang dari 15 menit dan umum. Adapun pedoman untuk mendiagnosa kejang demam sederhana dapat diketahui melalui criteria Livingstone, yaitu :<br />a. umur anak ketika kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun<br />b. kejang berlangsung hanya sebentar, tidak lebih dari 15 menit.<br />c. Kejang bersifat umum<br />d. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbul demam.<br />e. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kjang normal<br />f. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukan kelainan.<br />g. Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali<br /><br />2. Kejang kompleks<br />Kejang kompleks adalah tidak memenuhi salah satu lebih dari ketujuh criteria Livingstone. Menurut Mansyur ( 2000: 434) biasanya dari kejang kompleks diandai dengan kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit, fokal atau multiple ( lebih dari 1 kali dalam 24jam). Di sini anak sebelumnya dapat mempunyai kelainan neurology atau riwayat kejang dalam atau tanpa kejang dalam riwayat keluarga.<br />H. KOMPLIKASI<br />Menurut Lumbantobing ( 1995: 31) Dan Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI (1985: 849-850). Komplikasi kejang demam umumnya berlangsung lebih dari 15 menit yaitu :<br />1. Kerusakan otak<br />Terjadi melalui mekanisme eksitotoksik neuron saraf yang aktif sewaktu kejang melepaskan glutamat yang mengikat resptor MMDA ( M Metyl D Asparate ) yang mengakibatkan ion kalsium dapat masuk ke sel otak yang merusak sel neuoran secara irreversible.<br />2. Retardasi mental<br />Dapat terjadi karena deficit neurolgis pada demam neonatus.<br /><br />I. PENCEGAHAN<br />Menurut Ngastiyah ( 1997: 236-239) pencegahan difokuskan pada pencegahan kekambuhan berulang dan penegahan segera saat kejang berlangsung.<br />1. Pencegahan berulang<br />a. Mengobati infeksi yang mendasari kejang<br />b. Penkes tentang<br />1) Tersedianya obat penurun panas yang didapat atas resep dokter<br />2) Tersedianya obat pengukur suhu dan catatan penggunaan termometer, cara pengukuran suhu tubuh anak, serta keterangan batas-batas suhu normal pada anak ( 36-37ºC)<br />3) Anak diberi obat anti piretik bila orang tua mengetahuinya pada saat mulai demam dan jangan menunggu sampai meningkat<br />4) Memberitahukan pada petugas imunisasi bahwa anaknya pernah mengalami kejang demam bila anak akan diimunisasi.<br />2. Mencegah cedera saat kejang berlangsung kegiatan ini meliputi :<br />a. Baringkan pasien pada tempat yang rata<br />b. Kepala dimiringkan unutk menghindari aspirasi cairan tubuh<br />c. Pertahankan lidah untuk tidak menutupi jalan napas<br />d. Lepaskan pakaian yang ketat<br />e. Jangan melawan gerakan pasien guna menghindari cedera<br /><br />J. PEMERIKSAAN PENUNJANG<br /><br />Menurut Komite Medik RSUP Dr. sardjito ( 2000:193) dan LUmbantobing dan Ismail (1989 :43), pemeriksaannya adalah :<br />1. EEG-->Pemeriksaan EEG dibuat 10-14 hari setelah bebas panas tidak menunjukan kelainan likuor. Gelombang EEG lambat didaerah belakang dan unilateral menunjukan kejang demam kompleks.<br />2. Lumbal Pungsi<br />Tes ini untuk memperoleh cairan cerebrospinalis dan untuk mengetahui keadaan lintas likuor. Tes ini dapaat mendeteksi penyebab kejang demam atau kejang karena infeksi pada otak.<br />- Pada kejang demam tidak terdapat gambaran patologhis dan pemeriksaan lumbal pungsi<br />- Pada kejang oleh infeksi pada otak ditemukan :<br /><br />1)Warna cairan cerebrospinal : berwarna kuning, menunjukan pigmen kuning santokrom<br />2)Jumlah cairan dalam cerebrospinal menigkat lebih dari normal (normal bayi 40-60ml, anak muda 60-100ml, anak lebih tua 80-120ml dan dewasa 130-150ml)<br />3) Perubahan biokimia : kadar Kalium menigkat ( normal dewasa 3.5-5.0 mEq/L, bayi 3.6-5.8mEq/L)<br /><br /><br />Tinjauan Teoritis Keperawatan Kejang Demam<br /><br />1. Pengkajian<br />Menurut Doenges (1993 : 259) dasar data pengkajian pasien adalah :<br />a. Aktifitas / Istirahat<br />Gejala : Keletihan, kelemahan umum<br />Keterbatasan dalam beraktifitas / bekerja yang ditimbulkan oleh diri sendiri / orang terdekat / pemberi asuhan kesehatan atau orang lain.<br />Tanda : Perubahan tonus / kekuatan otot<br />Gerakan involunter / kontraksi otot ataupun sekelompok otot.<br /><br />b. Sirkulasi<br />Gejala : Iktal : Hipertensi, peningkatan nadi sianosis<br />Posiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan.<br /><br />c. Eliminasi<br />Gejala : Inkontinensia episodik.<br />Tanda : Iktal : Peningkatan tekanan kandung kemih dan<br />tonus sfingter.<br />Posiktal : Otot relaksasi yang menyebabkan inkontenensia ( baik urine / fekal ).<br /><br />d. Makanan dan cairan<br />Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang<br />berhubungan dengan aktifitas kejang.<br /><br />e. Neurosensori<br />Gejala : Riwayat sakit kepala, aktifitas kejang berulang, pingsan, pusing. Riwayat trauma kepala, anoksia dan infeksi cerebral.<br /><br />f. Nyeri / kenyaman<br />Gejala : Sakit kepala, nyeri otot / punggung pada periode posiktal.<br />Tanda : Sikap / tingkah laku yang berhati –hati.<br />Perubahan pada tonus otot.<br />Tingkah laku distraksi / gelisah.<br /><br />g. Pernafasan<br />Gejala : Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun / cepat, peningkatan sekresi mukus.<br />Fase posiktal : apnea.<br /><br />2. Diagnosa Keperawatan.<br /><br />Diagnosa keperawatan yang muncul menurut Carpenito ( 1999 : 468 ):<br />a. Resiko terhadap bersihan jalan nafas / pola nafas tidak efektif berhubungan dengan relaksasi lidah sekunder akibat gangguan persyarafan otot.<br />b. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan gerakan tonik / klonik yang tidak terkontrol selama episode kejang.<br />c. Peningkatan suhu tubuh ( hypertermia ) berhubungan dengan proses penyakit.<br />d. Resiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik berhubungan dengan kurang pengetahuan ( orang tua ) tentang kondisi, pengobatan dan aktifitas kejang selama episode kejang.<br /><br />3. Rencana Keperawatan<br />Menurut Carpenito ( 1999 ) , rencana keperawatannya meliputi :<br />a. Resiko terhadap bersihan jalan nafas / pol tidak efektif berhubungan dengan relaksasi lidah sekunder akibat gangguan persyarafan otot.<br />Intervensi :<br />1). Baringkan klien di tempat yang rata, kepala dimiringkan dan pasang tongue spatel.<br />2). Singkirkan benda – benda yang ada disekitar pasien, lepaskan pakaian yang mengganggu pernafasan ( misal : gurita ).<br />3). Lakukan penghisapan sesuai indikasi.<br />4). Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian O2 dan obat anti kejang.<br /><br />b. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan gerakan tonik / klonik yang tidak terkontrol selama episode kejang.<br />Intervensi :<br />1). Jauhkan benda – benda yang ada disekitar klien.<br />2). Kaji posisi lidah, pastikan bahwa lidah tidak jatuh ke belakang, menyumbat jalan nafas.<br />3). Awasi klien dalam waktu beberapa lama selama / setelah kejang.<br />4). Observasi tanda – tanda vital setelah kejang.<br />5). Kolaborasi dnegna dokter untuk pemberian obat anti kejang.<br /><br />c. Peningkatan suhu tubuh ( hypertermia ) berhubungan dengan proses penyakit.<br />Intervensi :<br />1). Observasi tanda vital tiap 4 jam atau lebih.<br />2). Kaji saat timbulnya demam.<br />3). Berikan penjelasan pada keluarga tentang hal-hal yang dapat dilakukan.<br />4). Anjurkan pada keluarga untuk memberikan masukan cairan 1,5 liter / 24 jam.<br />5). Beri kompres dingin terutama bagian frontal dan axila.<br />6). Kolaborasi dalam pemberian terapi cairan dan obat antipiretik.<br /><br />d. Resiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan ( orang tua ) tentang kondisi, pengobatan, aktifitas, kejang selama perawatan.<br />Intervensi :<br />1. Jelaskan pada keluarga tentang pencegahan, pengobatan dan aktifitas selama kejang.<br />2. Jelaskan pada keluarga tentang faktor – faktor yang menjadi pencetus timbulnya kejang, misal : peningkatan suhu tubuh.<br />3. Jelaskan pada keluarga, apabila terjadi kejang berulang atau kejang terlalu lama walaupun diberikan obat, segera bawa klien ke rumah sakit terdekat.<br /><br />4. Evaluasi.<br />Hasil yang diharapkan dari asuhan keperawatan klien dengan kejang demam adalah mencegah / mengendalikan aktifitas kejang, melindungi klien dari cedera, mempertahankan jalan nafas dan pemahaman keluarga tentang pencegahan, pengobatan dan aktifitas selama kejang.risda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2674685999395418367.post-73584513929695779212010-02-19T19:50:00.000-08:002010-02-19T19:52:47.160-08:00ASKEP PNEUMONIAASKEP PNEUMONIA<br />LAPORAN PENDAHULUAN<br />PNEUMONIA<br />1. DEFINISI<br />Pneumonia adalah suatu peradangan atau inflamasi pada parenkim paru yang<br />umumnya disebabkan oleh agent infeksi<br />2. ETIOLOGI<br />Pneumonia dapat disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti:<br />1. Bakteri: stapilokokus, streplokokus, aeruginosa, eneterobacter<br />2. Virus: virus influenza, adenovirus<br />3. Micoplasma pneumonia<br />4. Jamur: candida albicans<br />5. Aspirasi: lambung <br />3. PATOFISIOLOGI<br />Sebagian besar pneumonia didapat melalui aspirasi partikel infektif. Ada beberapa mekanisma yang pada keadaan normal melindungi paru dari infeksi. Partikel infeksius difiltrasi di hidung, atau terperangkap dan dibersihkan oleh mukus dan epitel bersilia di saluran napas. Bila suatu partikel dapat mencapai paru-paru, partikel tersebut akan berhadapan dengan makrofag alveoler, dan juga dengan mekanisme imun sistemik, dan humoral. Bayi pada bulan-bulan pertama kehidupan juga memiliki antibodi maternal yang didapat secara pasif yang dapat melindunginya dari pneumokokus dan organisme-organisme infeksius lainnya. Perubahan pada mekanisme protektif ini dapat menyebabkan anak mudah mengalami pneumonia misalnya pada kelainan anatomis kongenital, defisiensi imun didapat atau kongenital, atau kelainan neurologis yang memudahkan anak mengalami aspirasi dan perubahan kualitas sekresi mukus atau epitel saluran napas. Pada anak tanpa faktor-faktor predisposisi tersebut, partikel infeksius dapat mencapai paru melalui perubahan pada pertahanan anatomis dan fisiologis yang normal. Ini paling sering terjadi akibat virus pada saluran napas bagian atas. Virus tersebut dapat menyebar ke saluran napas bagian bawah dan menyebabkan pneumonia virus.2<br />Kemungkinan lain, kerusakan yang disebabkan virus terhadap mekanisme pertahan yang normal dapat menyebabkan bakteri patogen menginfeksi saluran napas bagian bawah. Bakteri ini dapat merupakan organisme yang pada keadaan normal berkolonisasi di saluran napas atas atau bakteri yang ditransmisikan dari satu orang ke orang lain melalui penyebaran droplet di udara. Kadang-kadang pneumonia bakterialis dan virus ( contoh: varisella, campak, rubella, CMV, virus Epstein-Barr, virus herpes simpleks ) dapat terjadi melalui penyebaran hematogen baik dari sumber terlokalisir atau bakteremia/viremia generalisata.2<br />Setelah mencapai parenkim paru, bakteri menyebabkan respons inflamasi akut yang meliputi eksudasi cairan, deposit fibrin, dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear di alveoli yang diikuti infitrasi makrofag. Cairan eksudatif di alveoli menyebabkan konsolidasi lobaris yang khas pada foto toraks. Virus, mikoplasma, dan klamidia menyebabkan inflamasi dengan dominasi infiltrat mononuklear pada struktur submukosa dan interstisial. Hal ini menyebabkan lepasnya sel-sel epitel ke dalam saluran napas, seperti yang terjadi pada bronkiolitis.2<br />4. MANIFESTASI KLINIK<br />• Secara khas diawali dengan awitan menggigil, demam yang timbul dengan cepat (39,5 ºC<br />sampai 40,5 ºC).<br />• Nyeri dada yang ditusuk-tusuk yang dicetuskan oleh bernafas dan batuk.<br />• Takipnea (25 – 45 kali/menit) disertai dengan pernafasan mendengur, pernafasan cuping<br />hidung,<br />• Nadi cepat dan bersambung<br />• Bibir dan kuku sianosis<br />• Sesak nafas <br />5. KOMPLIKASI<br />• Efusi pleura<br />• Hipoksemia<br />• Pneumonia kronik<br />• Bronkaltasis<br />• Atelektasis (pengembangan paru yang tidak sempurna/bagian paru-paru yang diserang tidak<br />mengandung udara dan kolaps).<br />• Komplikasi sistemik (meningitis) <br />6. PEMERIKSAAN PENUNJANG<br />1. Sinar X: mengidentifikasikan distribusi struktural (misal: lobar, bronchial); dapat juga<br />menyatakan abses)<br />2. Pemeriksaan gram/kultur, sputum dan darah: untuk dapat mengidentifikasi semua<br />organisme yang ada.<br />3. Pemeriksaan serologi: membantu dalam membedakan diagnosis organisme khusus.<br />4. Pemeriksaan fungsi paru: untuk mengetahui paru-paru, menetapkan luas berat penyakit dan<br />membantu diagnosis keadaan.<br />5. Biopsi paru: untuk menetapkan diagnosis<br />6. Spirometrik static: untuk mengkaji jumlah udara yang diaspirasi<br />7. Bronkostopi: untuk menetapkan diagnosis dan mengangkat benda asing<br />7. PENATALAKSANAAN<br />Pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi tapi karena hal<br />itu perlu waktu dan pasien pneumonia diberikan terapi secepatnya:<br />• Penicillin G: untuk infeksi pneumonia staphylococcus.<br />• Amantadine, rimantadine: untuk infeksi pneumonia virus<br />• Eritromisin, tetrasiklin, derivat tetrasiklin: untuk infeksi pneumonia mikroplasma.<br />• Menganjurkan untuk tirah baring sampai infeksi menunjukkan tanda-tanda<br />• Pemberian oksigen jika terjadi hipoksemia.<br />• Bila terjadi gagal nafas, diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup. <br />8. PENGKAJIAN<br />Data dasar pengkajian pasien:<br />• Aktivitas/istirahat<br />Gejala : kelemahan, kelelahan, insomnia<br />Tanda : letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas. <br />• Sirkulasi<br />Gejala : riwayat adanya<br />Tanda : takikardia, penampilan kemerahan, atau pucat <br />• Makanan/cairan<br />Gejala : kehilangan nafsu makan, mual, muntah, riwayat diabetes mellitus<br />Tanda : sistensi abdomen, kulit kering dengan turgor buruk, penampilan kakeksia<br />(malnutrisi) <br />• Neurosensori<br />Gejala : sakit kepala daerah frontal (influenza)<br />Tanda : perusakan mental (bingung) <br />• Nyeri/kenyamanan<br />Gejala : sakit kepala, nyeri dada (meningkat oleh batuk), imralgia, artralgia.<br />Tanda : melindungi area yang sakit (tidur pada sisi yang sakit untuk membatasi gerakan) <br />• Pernafasan<br />Gejala : adanya riwayat ISK kronis, takipnea (sesak nafas), dispnea.<br />Tanda : - sputum: merah muda, berkarat<br />- perpusi: pekak datar area yang konsolidasi<br />- premikus: taksil dan vocal bertahap meningkat dengan konsolidasi<br />- Bunyi nafas menurun<br />- Warna: pucat/sianosis bibir dan kuku <br />• Keamanan<br />Gejala : riwayat gangguan sistem imun misal: AIDS, penggunaan steroid, demam.<br />Tanda : berkeringat, menggigil berulang, gemetar <br />• Penyuluhan/pembelajaran<br />Gejala : riwayat mengalami pembedahan, penggunaan alkohol kronis<br />Tanda : DRG menunjukkan rerata lama dirawat 6 – 8 hari<br />Rencana pemulangan: bantuan dengan perawatan diri, tugas pemeliharaan rumah <br />9. DIAGNOSA KEPERAWATAN<br />1. Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan inflamasi trachea bronchial,<br />pembentukan edema, peningkatan produksi sputum.<br />2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan kapasitas pembawa oksigen<br />darah.<br />3. Resiko tinggi terhadap infeksi (penyebaran) berhubungan dengan ketidakadekuatan<br />pertahanan sekunder (adanya infeksi penekanan imun), penyakit kronis, malnutrisi.<br />4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan<br />oksigen.<br />5. Nyeri (akut) berhubungan dengan inflamasi parenkim paru, batuk menetap.<br />6. Resiko tinggi terhadap nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan peningkatan<br />kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi.<br />7. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan<br />berlebihan, penurunan masukan oral. <br />10. RENCANA KEPERAWATAN<br />1. Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan inflamasi trachea bronchial,<br />peningkatan produksi sputum ditandai dengan:<br />- Perubahan frekuensi, kedalaman pernafasan<br />- Bunyi nafas tak normal<br />- Dispnea, sianosis<br />- Batuk efektif atau tidak efektif dengan/tanpa produksi sputum.<br />Jalan nafas efektif dengan kriteria:<br />- Batuk efektif<br />- Nafas normal<br />- Bunyi nafas bersih<br />- Sianosis<br />Intervensi:<br />- Kaji frekuensi/kedalaman pernafasan dan gerakan dada<br />Rasional : takipnea, pernafasan dangkal dan gerakan dada tak simetris sering terjadi<br />karena ketidaknyamanan.<br />- Auskultasi area paru, catat area penurunan 1 kali ada aliran udara dan bunyi nafas<br />Rasional: penurunan aliran darah terjadi pada area konsolidasi dengan cairan.<br />- Biarkan teknik batuk efektif<br />Rasional : batuk adalah mekanisme pembersihan jalan nafas alami untuk mempertahankan<br />jalan nafas paten.<br />- Penghisapan sesuai indikasi<br />Rasional: merangsang batuk atau pembersihan jalan nafas suara mekanik pada faktor yang<br />tidak mampu melakukan karena batuk efektif atau penurunan tingkat kesadaran.<br />- Berikan cairan sedikitnya<br />Rasional: cairan (khususnya yang hangat) memobilisasi dan mengeluarkan sekret<br />- Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat sesuai indikasi: mukolitik, eks.<br />Rasional: alat untuk menurunkan spasme bronkus dengan mobilisasi sekret, analgetik diberikan untuk memperbaiki batuk dengan menurunkan ketidaknyamanan tetapi harus digunakan secara hati-hati, karena dapat menurunkan upaya batuk/menekan pernafasan. <br />2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan pembawa oksigen darah,<br />gangguan pengiriman oksigen ditandai dengan:<br />- Dispnea, sianosis<br />- Takikardia<br />- Gelisah/perubahan mental<br />- Hipoksia <br />Gangguan gas teratasi dengan:<br />- Sianosis<br />- Nafas normal<br />- Sesak<br />- Hipoksia<br />- Gelisah<br />Intervensi:<br />- Kaji frekuensi/kedalaman dan kemudahan bernafas<br />Rasional: manifestasi distress pernafasan tergantung pada indikasi derajat keterlibatan<br />paru dan status kesehatan umum.<br />- Observasi warna kulit, membran mukosa dan kuku. Catat adanya sianosis perifer (kuku)<br />atau sianosis sentral.<br />Rasional: sianosis kuku menunjukkan vasokontriksi respon tubuh terhadap demam/menggigil namun sianosis pada daun telinga, membran mukosa dan kulit sekitar mulut menunjukkan hipoksemia sistemik.<br />- Kaji status mental.<br />Rasional: gelisah mudah terangsang, bingung dan somnolen dapat menunjukkan hipoksia<br />atau penurunan oksigen serebral.<br />- Tinggikan kepala dan dorong sering mengubah posisi, nafas dalam dan batuk efektif.<br />Rasional: tindakan ini meningkat inspirasi maksimal, meningkat pengeluaran sekret<br />untuk memperbaiki ventilasi tak efektif.<br />- Kolaborasi<br />Berikan terapi oksigen dengan benar misal dengan nasal plong master, master venturi.<br />Rasional: mempertahankan PaO2 di atas 60 mmHg. O2 diberikan dengan metode yang memberikan pengiriman tepat dalam toleransi pe. <br />3. Resiko tinggi terhadap infeksi (penyebaran) berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder (adanya infeksi penekanan imun), penyakit kronis, malnutrisi.<br />Tujuan:<br />Infeksi tidak terjadi dengan kriteria:<br />- waktu perbaikan infeksi/kesembuhan cepat tanpa<br />- penularan penyakit ke orang lain tidak ada<br />Intervensi:<br />- Pantau tanda vital dengan ketat khususnya selama awal terapi<br />Rasional: selama awal periode ini, potensial untuk fatal dapat terjadi.<br />- Tunjukkan teknik mencuci tangan yang baik<br />Rasional: efektif berarti menurun penyebaran/perubahan infeksi.<br />- Batasi pengunjung sesuai indikasi.<br />Rasional: menurunkan penularan terhadap patogen infeksi lain<br />- Potong keseimbangan istirahat adekuat dengan aktivitas sedang. Tingkatkan masukan<br />nutrisi adekuat.<br />Rasional: memudahkan proses penyembuhan dan meningkatkan tekanan alamiah<br />- Kolaborasi<br />Berikan antimikrobial sesuai indikasi dengan hasil kultur sputum/darah misal penicillin, eritromisin, tetrasiklin, amikalin, sepalosporin, amantadin.<br />Rasional: Obat digunakan untuk membunuh kebanyakan microbial pulmonia. <br />4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai<br />dan kebutuhan oksigen ditandai dengan:<br />- Dispnea<br />- Takikardia<br />- Sianosis<br />Intoleransi aktivitas teratasi dengan:<br />- Nafas normal<br />- Sianosis<br />- Irama jantung <br />Intervensi<br />- Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas<br />Rasional: merupakan kemampuan, kebutuhan pasien dan memudahkan pilihan interan.<br />- Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi.<br />Rasional: menurunkan stress dan rangsangan berlebihan, meningkatkan istirahat.<br />- Jelaskan perlunya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan<br />aktivitas dan istirahat.<br />- Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat atau tidur.<br />Rasional: pasien mungkin nyaman dengan kepala tinggi, tidur di kursi.<br />- Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan<br />Rasional: meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan<br />oksigen. <br />5. Nyeri berhubungan dengan inflamasi parenkim varul, batuk menetap ditandai dengan:<br />- Nyeri dada<br />- Sakit kepala<br />- Gelisah<br />Nyeri dapat teratasi dengan:<br />- Nyeri dada (-)<br />- Sakit kepala (-)<br />- Gelisah (-)<br />Intervensi:<br />- Tentukan karakteristik nyeri, misal kejan, konstan ditusuk.<br />Rasional: nyeri dada biasanya ada dalam seberapa derajat pada pneumonia, juga dapat<br />timbul karena pneumonia seperti perikarditis dan endokarditis.<br />- Pantau tanda vital<br />Rasional: Perubahan FC jantung/TD menu bawa Pc mengalami nyeri, khusus bila alasan<br />lain tanda perubahan tanda vital telah terlihat.<br />- Berikan tindakan nyaman pijatan punggung, perubahan posisi, musik tenang /<br />berbincangan.<br />Rasional: tindakan non analgesik diberikan dengan sentuhan lembut dapat menghilangkan<br />ketidaknyamanan dan memperbesar efek derajat analgesik.<br />- Aturkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama episode batuk.<br />Rasional: alat untuk mengontrol ketidaknyamanan dada sementara meningkat keefektifan<br />upaya batuk.<br />- Kolaborasi<br />Berikan analgesik dan antitusik sesuai indikasi<br />Rasional: obat dapat digunakan untuk menekan batuk non produktif atau menurunkan mukosa berlebihan meningkat kenyamanan istirahat umum. <br />6. Resiko tinggi terhadap nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses inflamasi ditandai dengan tujuan:<br />Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dapat diatasi dengan:<br />- Pasien menunjukkan peningkatan nafsu makan<br />- Pasien mempertahankan meningkat BB<br />Intervensi<br />- identifikasi faktor yang menimbulkan mual/muntah, misalnya: sputum, banyak nyeri.<br />Rasional: pilihan intervensi tergantung pada penyebab masalah<br />- Jadwalkan atau pernafasan sedikitnya 1 jam sebelum makan<br />Rasional: menurun efek manual yang berhubungan dengan penyakit ini<br />- Berikan makan porsi kecil dan sering termasuk makanan kering (roti panggang)<br />makanan yang menarik oleh pasien.<br />Rasional: tindakan ini dapat meningkat masukan meskipun nafsu makan mungkin lambat<br />untuk kembali.<br />- Evaluasi status nutrisi umum, ukur berat badan dasar.<br />Rasional: adanya kondisi kronis keterbatasan ruangan dapat menimbulkan malnutrisi,<br />rendahnya tahanan terhadap inflamasi/lambatnya respon terhadap terapi. <br />7. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan<br />berlebihan, demam, berkeringat banyak, nafas mulut, penurunan masukan oral.<br />Kekurangan volume cairan tidak terjadi dengan kriteria: Pasien menunjukkan keseimbangan cairan dibuktikan dengan parameter individual yang tepat misalnya membran mukosa lembab, turgor kulit baik, tanda vital stabil.<br />Intervensi:<br />- Kaji perubahan tanda vital contoh peningkatan suhu demam memanjang, takikardia.<br />Rasional: peningkatan suhu/memanjangnya demam meningkat laju metabolik dan kehilangan<br />cairan untuk evaporasi.<br />- Kaji turgor kulit, kelembapan membran mukosa (bibir, lidah)<br />Rasional: indikator langsung keadekuatan volume cairan, meskipun membran mukosa mulut<br />mungkin kering karena nafas mulut dan O2 tambahan.<br />- Catat laporan mual/muntah<br />Rasional: adanya gejala ini menurunkan masukan oral<br />- Pantau masukan dan keluaran catat warna, karakter urine. Hitung keseimbangan cairan. Ukur<br />berat badan sesuai indikasi.<br />Rasional: memberikan informasi tentang keadekuatan volume cairan dan keseluruhan<br />penggantian.<br />- Tekankan cairan sedikit 2400 mL/hari atau sesuai kondisi individual<br />Rasional: pemenuhan kebutuhan dasar cairan menurunkan resiko dehidrasi.<br />- Kolaborasi<br />Beri obat indikasi misalnya antipiretik, antimitik.<br />Rasional: berguna menurunkan kehilangan cairan<br />Berikan cairan tambahan IV sesuai keperluan<br />Rasional: pada adanya penurunan masukan banyak kehilangan<br />penggunaan dapat memperbaiki/mencegah kekurangan <br />11. IMPLEMENTASI<br />Dilakukan sesuai dengan rencana tindakan menjelaskan setiap tindakan yang akan dilakukan sesuai dengan pedoman atau prosedur teknik yang telah ditentukan. <br />12. EVALUASI<br />Kriteria keberhasilan:<br />- Berhasil<br />Tuliskan kriteria keberhasilannya dan tindakan dihentikan<br />- Tidak berhasil<br />Tuliskan mana yang belum berhasil dan lanjutkan tindakan. <br />13. DAFTAR PUSTAKA<br />1. Doenges, Marilynn, E. dkk. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, 2000. EGC, Jakarta.<br />2. Bare Brenda G, Smeltzer Suzan C. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol. 1, EGC, Jakarta.<br />3. Price Anderson Sylvia, Milson McCarty Covraine, Patofisiologi, buku-2, Edisi 4, EGC, Jakarta.<br />4. Tim Penyusun. Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 3. Volume II, 2001, FKUI.risda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.com46tag:blogger.com,1999:blog-2674685999395418367.post-75264574219904056332010-02-19T19:47:00.000-08:002010-02-19T19:49:40.441-08:00TUMOR MEDIASTINUMTUMOR MEDIASTINUM<br /><br />A. Definisi<br />Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di dalam mediastinum yaitu rongga di antara paru-paru kanan dan kiri yang berisi jantung, aorta, dan arteri besar, pembuluh darah vena besar, trakea, kelenjar timus, saraf, jaringan ikat, kelenjar getah bening dan salurannya.<br />Karena rongga mediastinum tidak dapat diperluas, maka pembesaran tumor dapat menekan organ penting di sekitarnya dan dapat menganjam jiwa. Tumor mediastinum dibagi atas tumor jinak dan tumor ganas.<br /><br />B. Jenis Tumor Mediastinum<br />• Timoma <br />- Stage I : belum invasi ke sekitar<br />- Stage II : invasi s/d pleura mediastinalis<br />- Stage III : invasi s/d pericardium<br />- Stage IV : Limphogen / hematogen<br />• Teratoid <br />- Kista dermoid ( dahak penderita mengandung gigi, tulang, rambut)<br /> - Teratoma ( mesoderm )<br />• Limfoma <br /> - Limfadenopathy, Hepatomegali, Splenomegali<br />• Tumor Tiroid <br />- Tumor berlobus, berasal dari Tiroid<br />• Kista pericardium <br />- Tumor terletak pada sinus cardiofrenicus, dari hasil fluoroskopi: kista berdenyut seirama dengan denyut jantung<br />• Tumor neurogenik <br />- Dari saraf tepi: Neurofibroma, Neurolinoma<br />- Dari saraf simpati: Ganglion neurinoma,Neuroblastoma, Simpatikoblastoma<br />- Dari paraganglion: Phaeocromocitoma, Paraganglioma<br />• Kista Bronkhogenik <br /> - Gejala : Batuk, sesak napas s/d sianosis<br /> - Lokasi tumor di Paratracheal, Carinal, Hilar, Paraesophageus, Miscellanous<br /><br />C. Etiologi<br />Secara umum faktor-faktor yang dianggap sebagai penyebab tumor adalah :<br />a. Penyebab kimiawi.<br /> Di berbagai negara ditemukan banyak tumor kulit pada pekerja pembersih<br />cerobong asap. Zat yang mengandung karbon dianggap sebagai penyebabnya.<br /> b. Faktor genetik (biomolekuler)<br /> Golongan darah A lebih tinggi 20 % berisiko menderita kanker/tumor pada lambung dari pada golongan darah O, selain itu perubahan genetik termasuk perubahan atau mutasi dalam gen normal dan pengaruh protein bisa menekan atau meningkatkan perkembangan tumor.<br /> c. Faktor fisik<br /> Secara fisik, tumor berkaitan dengan trauma/pukulan berulang-ulang baik trauma fisik maupun penyinaran. Penyinaran bisa berupa sinar ultraviolet yang berasal ari sinar matahari maupun sinar lain seperti sinar X (rontgen) dan radiasi bom atom.<br /> d. Faktor nutrisi<br /> Salah satu contoh utama adalah dianggapnya aflaktosin yang dihasilkan oleh jamur pada kacang dan padi-padian sebagai pencetus timbulnya tumor.<br /> e. Penyebab bioorganisme<br /> Misalnya virus, pernah dianggap sebagai kunci penyebab tumor dengan ditemukannya hubungan virus dengan penyakit tumor pada binatang percobaan. Namun ternyata konsep itu tidak berkembang lanjut pada manusia.<br /> f. Faktor hormon<br /> Pengaruh hormon dianggap cukup besar, namun mekanisme dan kepastian peranannya belum jelas. Pengaruh hormone dalam pertumbuhan tumor bisa dilihat pada organ yang banyak dipengaruhi oleh hormone tersebut.<br /><br />D. Patofisiologi <br />Sebab-sebab keganasan pada tumor masih belum jelas, tetapi virus, faktor lingkungan, faktor hormonal dan faktor genetik semuanya berkaitan dengan risiko terjadi tumor. Permulaan terjadinya tumor dimulai dengan adanya zat yang bersifat initiation yang merangsang permulaan terjadinya perubahan sel. Diperlukan perangsangan yang lama dan berkesinambungan untuk memici timbulnya penyakit tumor.<br />Initiati agent biasanya bisa berupa unsur kimia, fisik atau biologis yang berkemampuan beraksi langsung dan merubah struktur dasar dari komponen genetic (DNA). Keadaan selanjutnya akibat keterpaparan yang lama ditandai dengan berkembangnya neoplasma dengan terbentuknya formasi tumor. Hal ini dapat berlangsung lama, minggu bahkan sampai tahunan.<br /><br />E. Gejala Klinis<br /> Sebagian besar pasien tumor mediastinum akan memperlihatkan gejala pada waktu presentasi awal. Kebanyakan kelompok melaporkan bahwa antara 56 dan 65 persen pasien menderita gejala pada waktu penyajian, dan penderita dengan lesi ganas jauh lebih mungkin menunjukkan gejala pada waktu presentasi. <br />Tetapi, dengan peningkatan penggunaan rontgenografi dada rutin, sebagian besar massa mediastinum terlihat pada pasien yang asimtomatik. Adanya gejala pada pasien dengan massa mediastinum mempunyai kepentingan prognosis dan menggambarkan lebih tingginya kemungkinan neoplasma ganas.<br />Massa mediastinum bisa ditemukan dalam pasien asimtomatik, pada foto thorax rutin atau bisa menyebabkan gejala karena efek mekanik local sekunder terhadap kompresi tumor atau invasi struktur mediastinum. Gejala sistemik bisa nin spesifik atau bisa membentuk kompleks gejala yang sebenarnya patogmonik untuk neoplasma spesifik. <br />Keluhan yang biasanya dirasakan adalah :<br />- Batuk atau stridor karena tekanan pada trachea atau bronchi utama.<br />- Gangguan menelan karena kompresi esophagus.<br />- Vena leher yang mengembang pada sindroma vena cava superior.<br />- Suara serak karena tekanan pada nerves laryngeus inferior.<br />- Serangan batuk dan spasme bronchus karena tekanan pada nervus vagus.<br /> Walaupun gejala sistemik yang samar-samar dari anoreksia, penurunan berat badan dan meningkatnya rasa lelah mungkin menjadi gejala yang disajikan oleh pasien dengan massa mediastinum, namun lebih lazim gejala disebabkan oleh kompresi local atau invasi oleh neoplasma dari struktur mediastinum yang berdekatan. <br /> Nyeri dada timbul paling sering pada tumor mediastinum anterosuperior. Nyeri dada yang serupa biasanya disebabkan oleh kompresi atau invasi dinding dada posterior dan nervus interkostalis. Kompresi batang trakhebronkhus biasanya memberikan gejala seperti dispneu, batuk, pneumonitis berulang atau gejala yang agak jarang yaitu stridor. Keterlibatan esophagus bisa menyebabkan disfagia atau gejala obstruksi. Keterlibatan nervus laringeus rekuren, rantai simpatis atau plekus brakhialis masing-masing menimbulkan paralisis plika vokalis, sindrom Horner dan sindrom Pancoast. Tumor mediastinum yang meyebabkan gejala ini paling sering berlokalisasi pada mediastinum superior. Keterlibatan nervus frenikus bisa menyebabkan paralisis diafragma. <br /><br />F. Pemeriksaan Diagnostik<br />• Rontgenografi<br /> Investigasi suatu massa di mediastinum harus dimulai dengan foto dada anterior-superior, lateral, oblik, esofagogram, dan terakhir tomogram bila perlu. Penentuan lokasi yang tepat amat penting untuk langkah diagnostic lebih lanjut. CT scan thorax diperlukan untuk membedakan apakah lesi berasal dari vascular-bukan vascular. Hal ini perlu menjadi pertimbangan bila bioopsi akan dilakukan, selain itu CT scan juga berguna untuk menentukan apakah lesi tersebut bersifat kistik atau tidak. Pada langkah selanjutnya untuk membedakan apakah massa tersebut adalah tumor metastasis, limfoma atau tuberculosis / sarkoidosis maka mediastinoskopi dan biopsy perlu dilakukan. Dasar dari evaluasi diagnostic adalah pemeriksaan rontgenografi. Foto thorax lateral dan posteroanterior standar bermanfaat dalam melokalisir massa di dalam mediastinum. Neoplasma mediastinum dapat diramalkan timbul pada bagian tertentu mediastinum. Foto polos bisa mengenal densitas relative massa ini, apakah padat atau kistik, dan ada atau tidaknya kalsifikasi. <br />• USG<br /> Ultrasonografi bermanfaat dalam menggambarkan struktur kista dan lokasinya di dalam mediastinum. Fluoroskopi dan barium enema bisa membantu lebih lanjut dalam menggambarkan bentuk massa dan hubungannya dengan struktur mediastinum lain, terutama esophagus dan pembuluh darah besar.<br />• USG Germ Cell Mediastinum<br /> Kemajuan dalam teknologi nuklir telah bermanfaat dalam mendiagnosis sejumlah tumor. Sidik yodium radioiotop bermanfaat dalam membedakan struma intratoraks dari lesi mediatinum superior lain. Sidik gallium dan teknesium sangat memperbaiki kemampuan mendiagnosis dan melokalisir adenoma parathyroid. Belakangan ini kemajuan dalam radiofarmakologi telah membawa ke diagnosis tepat. <br />• Tomografi Komputerisasi<br /> Kemajuan terbesar dalam diagnosis dan penggambaran massa dalam mediatinum pada tahun belakangan ini adalah penggunaan sidik CT untuk diagnosis klinis. Dengan memberikan gambaran anatomi potongan melintang yang memuaskan bagi mediastinum, CT mampu memisahkan massa mediastinum dari struktur mediastinum lainnya. Terutama dengan penggunaan materi kontras intravena untuk membantu menggambarkan struktur vascular, sidik CT mampu membedakan lesi asal vascular dari neoplasma mediastinum. Sebelumnya, pemeriksaan angiografi sering diperlukan untuk membedakan massa mediastinum dari berbagai proses pada jantung dan aorta seperti aneurisma thorax dan suni aneurisma Valsava. Dengan perbaikan resolusi belakangan ini, CT telah menjadi alat diagnostic yang jauh lebih sensitive dibandingkan dengan teknik radiografi rutin. CT bermanfaat dalam diagnosis Kista bronkogenik pada bayi dengan infeksi berulang dan timoma dalam pasien myasthenia gravis, kasus yang foto polosnya sering gagal mendeteksi kelainan apapun. Tomografi komputerisasi juga memberikan banyak informasi tentang sifat invasi relative tumor mediastinum. Differensiasi antara kompresi dan invasi seperti dimanifestasikan oleh robeknya bidang lemak mediastinum dapat dibuat dengan pemeriksaan cermat. Tambahan lagi, dalam laporan belakangan ini, diagnosis prabedah pada sejumlah lesi yang mencakup kista pericardial, adenoma paratiroid, kista enteric dan tumor telah dibuat dengan CT karena gambarannya yang khas. <br />• Magnetic Resonance Imaging (MRI)<br /> Magnetic Resonance Imaging (MRI) mempunyai potensi yang memungkinkan diferensiasi struktur vascular dari massa mediastinum tanpa penggunaan materi kontras atau radiasi. Di masa yang akan datang, teknik ini bisa memberikan informasi unggul tentang ada atau tidaknya keganasan di dalam kelenjar limfe dan massa tumor. <br />• Biopsy<br /> Berbagai teknik invasive untuk mendapatkan diagnosis jaringan tersedia saat ini. Perbaikan jelas dalam teknik sitologi telah memungkinkan penggunaan biopsy aspirasi jarum halus untuk mendiagnosis tiga perempat pasien lesi mediastinum. Teknik ini sangat bermanfaat dalam mendiagnosis penyakit metastatic pada pasien dengan keganasan primer yang ditemukan di manapun. Kegunaan teknik ini dalam mendiagnosis tumor primer mediastinum tetap akan ditegaskan. <br />G. Penatalaksanaan Medis<br />a. Pembedahan<br />Tindakan bedah memegang peranan utama dalam penanggulangan kasus tumor. <br />b. Obat-obatan<br />1). Immunoterapi<br />Misalnya interleukin 1 dan alpha interferon<br />2). Kemoterapi<br />Kemoterapi telah menunjukkan kemampuannya dalam mengobati beberapa jenis tumor.<br /><br />c. Radioterapi<br />Masalah dalam radioterapi adalah membunuh sel kanker dan sel jaringan normal. Sedangkan tujuan radioterapi adalah meninggikan kemampuan untuk membunuh sel tumor dengan kerusakan serendah mungkin pada sel normal.<br /><br />G. Pengkajian<br /> a. Riwayat<br /> Perokok berat dan kronis, terpajan terhadap lingkungan karsinogen, penyakit paru kronis sebelumnya yang telah mengakibatkan pembentukan jaringan parut dan fibrosis pada jaringan paru.<br />b. Keadaan umum : lemah, sesak yang disertai dengan nyeri dada.<br /> Kebutuhan dasar : <br /> Pola makan : nafsu makan berkurang karena adanya sekret dan terjadi kesulitan menelan (disfagia), penurunan berat badan.<br /> Pola minum : frekuensi minum meningkat (rasa haus)<br /> Pola tidur : susah tidur karena adanya batuk dan nyeri dada.<br /> Aktivitas : keletihan, kelemahan <br />c. Pemeriksaan fisik <br /> - Sistem pernafasan<br />• Sesak nafas, nyeri dada<br />• Batuk produktif tak efektif<br />• Suara nafas: mengi pada inspirasi<br />• Serak, paralysis pita suara.<br /> - Sistem kardiovaskuler<br />• tachycardia, disritmia<br />• menunjukkan efusi (gesekan pericardial)<br /> - Sistem gastrointestinal<br /> • Anoreksia, disfagia, penurunan intake makanan, berat badan menurun.<br /> - Sistem urinarius<br />• Peningkatan frekuensi/jumlah urine.<br />- Sistem neurologis<br />• Perasaan takut/takut hasil pembedahan<br />• Kegelisahan<br /><br /><br />d. Data Penunjang<br />- Foto dada, PA dan lateral<br />- CT scan/MRI<br />- Bronchoscope<br />- Sitologi<br />- TTB, biopsy kelenjar getah bening leher.risda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-2674685999395418367.post-16995966099335463152010-02-19T03:09:00.000-08:002010-02-19T03:11:10.768-08:00askep kanker payudaraASKEP KLIEN DENGAN KANKER PAYUDARA <br /> <br />1. Defenisi <br />Kanker payudara adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam jaringan payudara. Kanker bisa mulai tumbuh di dalam kelenjar susu, saluran susu, jaringan lemak maupun jaringan ikat pada payudara.<br />2. Penyebab<br />Penyebabnya tidak diketahui, tetapi ada beberapa faktor risiko yang menyebabkan seorang wanita menjadi lebih mungkin menderita kanker payudara.<br />3. Faktor Risiko<br />Beberapa faktor risiko yang berpengaruh adalah :<br />a. Usia.<br />Sekitar 60% kanker payudara terjadi pada usia diatas 60 tahun. Risiko terbesar ditemukan pada wanita berusia diatas 75 tahun.<br />b. Pernah menderita kanker payudara.<br />Setelah payudara yang terkena diangkat, maka risiko terjadinya kanker pada payudara yang sehat meningkat sebesar 0,5-1%/tahun.<br />c. Riwayat keluarga yang menderita kanker payudara.<br />Wanita yang ibu, saudara perempuan atau anaknya menderita kanker, memiliki risiko 3 kali lebih besar untuk menderita kanker payudara.<br />d. Faktor genetik dan hormonal.<br />Pernah menderita penyakit payudara non-kanker.<br />e. Menarke (menstruasi pertama) sebelum usia 12 tahun, menopause setelah usia 55 tahun, kehamilan pertama setelah usia 30 tahun atau belum pernah hamil.<br />f. Pemakaian pil kb atau terapi sulih estrogen.<br />g. Obesitas pasca menopause.<br />h. Pemakaian alkohol.<br />Pemakaian alkohol lebih dari 1-2 gelas/hari bisa meningkatkan risiko terjadinya kanker payudara.<br />i. Bahan kimia.<br />Beberapa penelitian telah menyebutkan pemaparan bahan kimia yang menyerupai estrogen (yang terdapat di dalam pestisida dan produk industri lainnya) mungkin meningkatkan risiko terjadinya kanker payudara.<br />j. DES (dietilstilbestrol).<br />Wanita yang mengkonsumsi DES untuk mencegah keguguran memiliki risiko tinggi menderita kanker payudara.<br />k. Penyinaran.<br />4. Gejala dan Tanda<br />Gejala awal berupa sebuah benjolan yang biasanya dirasakan berbeda dari jaringan payudara di sekitarnya, tidak menimbulkan nyeri dan biasanya memiliki pinggiran yang tidak teratur.<br />Pada stadium awal, jika didorong oleh jari tangan, benjolan bisa digerakkan dengan mudah di bawah kulit. Pada stadium lanjut, benjolan biasanya melekat pada dinding dada atau kulit di sekitarnya. Pada kanker stadium lanjut, bisa terbentuk benjolan yang membengkak atau borok di kulit payudara. Kadang kulit diatas benjolan mengkerut dan tampak seperti kulit jeruk.<br />Gejala lainnya yang mungkin ditemukan adalah benjolan atau massa di ketiak, perubahan ukuran atau bentuk payudara, keluar cairan yang abnormal dari puting susu (biasanya berdarah atau berwarna kuning sampai hijau, mungkin juga bernanah), perubahan pada warna atau tekstur kulit pada payudara, puting susu maupun areola (daerah berwana coklat tua di sekeliling puting susu), payudara tampak kemerahan, kulit di sekitar puting susu bersisik, puting susu tertarik ke dalam atau terasa gatal, nyeri payudara atau pembengkakan salah satu payudara. Pada stadium lanjut bisa timbul nyeri tulang, penurunan berat badan, pembengkakan lengan atau ulserasi kulit.\<br />5. Pencegahan<br />Banyak faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan. Beberapa ahli diet dan ahli kanker percaya bahwa perubahan diet dan gaya hidup secara umum bisa mengurangi angka kejadian kanker. Diusahakan untuk melakukan diagnosis dini karena kanker payudara lebih mudah diobati dan bisa disembuhan jika masih pada stadium dini. Sadari, pemeriksan payudara secara klinis dan mammografi sebagai prosedur penyaringan merupakan 3 alat untuk mendeteksi kanker secara dini.<br />6. Penatalaksanaan<br />Biasanya pengobatan dimulai setelah dilakukan penilaian secara menyeluruh terhadap kondisi penderita, yaitu sekitar 1 minggu atau lebih setelah biopsi. Pengobatannya terdiri dari pembedahan, terapi penyinaran, kemoterapi dan obat penghambat hormon. Terapi penyinaran digunakan untuk membunuh sel-sel kanker di tempat pengangkatan tumor dan daerah sekitarnya, termasuk kelenjar getah bening. Kemoterapi (kombinasi obat-obatan untuk membunuh sel-sel yang berkembangbiak dengan cepat atau menekan perkembangbiakannya) dan obat-obat penghambat hormon (obat yang mempengaruhi kerja hormon yang menyokong pertumbuhan sel kanker) digunakan untuk menekan pertumbuhan sel kanker di seluruh tubuh.<br />B. DIAGNOSA KEPERAWATAN <br />1. Cemas / takut berhubungan dengan situasi krisis (kanker), perubahan kesehatan, sosio ekonomi, peran dan fungsi, bentuk interaksi, persiapan kematian, pemisahan dengan keluarga ditandai dengan peningkatan tegangan, kelelahan, mengekspresikan kecanggungan peran, perasaan tergantung, tidak adekuat kemampuan menolong diri, stimulasi simpatetik. <br />2. Nyeri (akut) berhubungan dengan proses penyakit (penekanan/kerusakan jaringan syaraf, infiltrasi sistem suplay syaraf, obstruksi jalur syaraf, inflamasi), efek samping therapi kanker ditandai dengan klien mengatakan nyeri, klien sulit tidur, tidak mampu memusatkan perhatian, ekspresi nyeri, kelemahan. <br />3. Gangguan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh) berhubungan dengan hipermetabolik yang berhubungan dengan kanker, konsekwensi khemotherapi, radiasi, pembedahan (anoreksia, iritasi lambung, kurangnya rasa kecap, nausea), emotional distress, fatigue, ketidakmampuan mengontrol nyeri ditandai dengan klien mengatakan intake tidak adekuat, hilangnya rasa kecap, kehilangan selera, berat badan turun sampai 20% atau lebih dibawah ideal, penurunan massa otot dan lemak subkutan, konstipasi, abdominal cramping. <br />4. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi, misinterpretasi, keterbatasan kognitif ditandai dengan sering bertanya, menyatakan masalahnya, pernyataan miskonsepsi, tidak akurat dalam mengikiuti intruksi/pencegahan komplikasi. <br />5. Resiko tinggi kerusakan membran mukosa mulut berhubungan dengan efek samping kemotherapi dan radiasi/radiotherapi. <br />6. Resiko tinggi kurangnya volume cairan berhubungan dengan output yang tidak normal (vomiting, diare), hipermetabolik, kurangnya intake<br />7. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh sekunder dan sistem imun (efek kemotherapi/radiasi), malnutrisi, prosedur invasif.<br />8. Resiko tinggi gangguan fungsi seksual berhubungan dengan deficit pengetahuan/keterampilan tentang alternatif respon terhadap transisi kesehatan, penurunan fungsi/struktur tubuh, dampak pengobatan.<br />9. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan efek radiasi dan kemotherapi, deficit imunologik, penurunan intake nutrisi dan anemia.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN <br />NO DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN PERENCANAAN<br />1 Cemas / takut berhubungan dengan situasi krisis (kanker), perubahan kesehatan, sosio ekonomi, peran dan fungsi. Klien dapat mengurangi rasa cemasnya<br />Dengan Kriteria Hasil : <br />Rileks dan dapat melihat dirinya secara obyektif.<br />Menunjukkan koping yang efektif serta mampu berpartisipasi dalam pengobatan. 1. Tentukan pengalaman klien sebelumnya terhadap penyakit yang dideritanya. <br />2. Berikan informasi tentang prognosis secara akurat. <br />3. Beri kesempatan pada klien untuk mengekspresikan rasa marah, takut, konfrontasi. Beri informasi dengan emosi wajar dan ekspresi yang sesuai.<br />4. Jelaskan pengobatan, tujuan dan efek samping. Bantu klien mempersiapkan diri dalam pengobatan. <br />5. Catat koping yang tidak efektif seperti kurang interaksi sosial, ketidak berdayaan dll.<br />6. Anjurkan untuk mengembangkan interaksi dengan support system. <br />7. Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman.<br />8. Pertahankan kontak dengan klien, bicara dan sentuhlah dengan wajar.<br />2 Nyeri (akut) berhubungan dengan proses penyakit (penekanan/kerusakan jaringan syaraf, infiltrasi sistem suplay syaraf, obstruksi jalur syaraf, inflamasi), Klien mampu mengontrol rasa nyeri <br />Kriteria Hasil :<br />1. Klien mampu mengontrol rasa nyeri melalui aktivitas<br />2. Melaporkan nyeri yang dialaminya<br />3. Mengikuti program pengobatan<br />4. Mendemontrasikan tehnik relaksasi dan pengalihan rasa nyeri melalui aktivitas yang mungkin 9. Tentukan riwayat nyeri, lokasi, durasi dan intensitas <br />10. Evaluasi therapi: pembedahan, radiasi, khemotherapi, biotherapi, ajarkan klien dan keluarga tentang cara menghadapinya<br />11. Berikan pengalihan seperti reposisi dan aktivitas menyenangkan seperti mendengarkan musik atau nonton TV<br />12. Menganjurkan tehnik penanganan stress (tehnik relaksasi, visualisasi, bimbingan), gembira, dan berikan sentuhan therapeutik.<br />13. Evaluasi nyeri, berikan pengobatan bila perlu.<br />3 Gangguan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh) berhubungan dengan hipermetabolik yang berhubungan dengan kanker, konsekwensi khemotherapi, radiasi, pembedahan (anoreksia, iritasi lambung, kurangnya rasa kecap, nausea), Klien menunjukkan berat badan yang stabil <br />Kriteria Hasil :<br />1. Klien menunjukkan berat badan yang stabil, hasil lab normal dan tidak ada tanda malnutrisi<br />2. Menyatakan pengertiannya terhadap perlunya intake yang adekuat<br />3. Berpartisipasi dalam penatalaksanaan diet yang berhubungan dengan penyakitnya 14. Monitor intake makanan setiap hari, apakah klien makan sesuai dengan kebutuhannya. <br />15. Timbang dan ukur berat badan, ukuran triceps serta amati penurunan berat badan. <br />16. Kaji pucat, penyembuhan luka yang lambat dan pembesaran kelenjar parotis. <br />17. Anjurkan klien untuk mengkonsumsi makanan tinggi kalori dengan intake cairan yang adekuat. Anjurkan pula makanan kecil untuk klien. <br />18. Kontrol faktor lingkungan seperti bau busuk atau bising. Hindarkan makanan yang terlalu manis, berlemak dan pedas.<br />19. Ciptakan suasana makan yang menyenangkan misalnya makan bersama teman atau keluarga.<br />20. Anjurkan tehnik relaksasi, visualisasi, latihan moderate sebelum makan.<br />21. Anjurkan komunikasi terbuka tentang problem anoreksia yang dialami klien.<br />4 Kurangnya pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi, misinterpretasi, keterbatasan kognitif ditandai dengan sering bertanya, menyatakan masalahnya, pernyataan miskonsepsi, tidak akurat dalam mengikiuti intruksi/pencegahan komplikasi. Klien dapat mengerti kondisi penyakit yang dialaminya <br />Kriteria hasil :<br />1. Klien dapat mengatakan secara akurat tentang diagnosis dan pengobatan pada ting-katan siap.<br />2. Mengikuti prosedur dengan baik dan menjelaskan tentang alasan mengikuti prosedur tersebut.<br />3. Mempunyai inisiatif dalam perubahan gaya hidup dan berpartisipasi dalam pengo- batan.<br />4. Bekerjasama dengan pemberi informasi. 22. Review pengertian klien dan keluarga tentang diagnosa, pengobatan dan akibatnya.<br />23. Tentukan persepsi klien tentang kanker dan pengobatannya, ceritakan pada klien tentang pengalaman klien lain yang menderita kanker.<br />24. Beri informasi yang akurat dan faktual. Jawab pertanyaan secara spesifik, hindarkan informasi yang tidak diperlukan.<br />25. Berikan bimbingan kepada klien/keluarga sebelum mengikuti prosedur pengobatan, therapy yang lama, komplikasi. Jujurlah pada klien.<br />26. Anjurkan klien untuk memberikan umpan balik verbal dan mengkoreksi miskonsepsi tentang penyakitnya.<br />27. Review klien /keluarga tentang pentingnya status nutrisi yang optimal.<br />28. Anjurkan klien untuk mengkaji membran mukosa mulutnya secara rutin, perhatikan adanya eritema, ulcerasi.<br />29. Anjurkan klien memelihara kebersihan kulit dan rambut.<br />5 Resiko tinggi kerusakan membran mukosa mulut berhubungan dengan efek samping kemotherapi dan radiasi/radiotherapi. Membrana mukosa tidak menunjukkan kerusakan <br />Kriteria hasil :<br />1. Membrana mukosa tidak menunjukkan kerusakan, terbebas dari inflamasi dan ulcerasi<br />2. Klien mengungkapkan faktor penyebab secara verbal.<br />3. Klien mampu mendemontrasikan tehnik mempertahankan/menjaga kebersihan rongga mulut. 30. Kaji kesehatan gigi dan mulut pada saat pertemuan dengan klien dan secara periodik.<br />31. Kaji rongga mulut setiap hari, amati perubahan mukosa membran. Amati tanda terbakar di mulut, perubahan suara, rasa kecap, kekentalan ludah.<br />32. Diskusikan dengan klien tentang metode pemeliharan oral hygine.<br />33. Intruksikan perubahan pola diet misalnya hindari makanan panas, pedas, asam, hindarkan makanan yang keras. <br />34. Amati dan jelaskan pada klien tentang tanda superinfeksi oral.<br />Kolaboratif<br />35. Konsultasi dengan dokter gigi sebelum kemotherapi<br />36. Berikan obat sesuai indikasi, analgetik, topikal lidocaine, antimikrobial mouthwash preparation.<br />6 Resiko tinggi kurangnya volume cairan berhubungan dengan output yang tidak normal (vomiting, diare), hipermetabolik, kurangnya intake Klien menunjukkan keseimbangan cairan <br />Kriteria hasil :<br />tanda vital normal, membran mukosa normal, turgor kulit bagus, capilarry refill normal, urine output normal. 37. Monitor intake dan output termasuk keluaran yang tidak normal seperti emesis, diare, drainase luka. Hitung keseimbangan selama 24 jam.<br />38. Timbang berat badan jika diperlukan.<br />39. Monitor vital signs. Evaluasi pulse peripheral, capilarry refil.<br />40. Kaji turgor kulit dan keadaan membran mukosa. Catat keadaan kehausan pada klien.<br />41. Anjurkan intake cairan samapi 3000 ml per hari sesuai kebutuhan individu.<br />42. Observasi kemungkinan perdarahan seperti perlukaan pada membran mukosa, luka bedah, adanya ekimosis dan pethekie.<br />43. Hindarkan trauma dan tekanan yang berlebihan pada luka bedah.<br />Kolaboratif<br />44. Berikan cairan IV bila diperlukan.<br />45. Berikan therapy antiemetik.<br />46. Monitor hasil laboratorium : Hb, elektrolit, albumin<br />7 Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh sekunder dan sistem imun (efek kemotherapi/radiasi), malnutrisi, prosedur invasif. Tidak terdapat tanda-tanda infeksi <br />Kriteria hasil :<br />1. Klien mampu mengidentifikasi dan berpartisipasi dalam tindakan pecegahan infeksi<br />2. Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi dan penyembuhan luka berlangsung normal 47. Cuci tangan sebelum melakukan tindakan. Pengunjung juga dianjurkan melakukan hal yang sama.<br />48. Jaga personal hygine klien dengan baik.<br />49. Monitor temperatur.<br />50. Kaji semua sistem untuk melihat tanda-tanda infeksi.<br />51. Hindarkan/batasi prosedur invasif dan jaga aseptik prosedur.<br />Kolaboratif<br />52. Berikan antibiotik bila diindikasikan.<br />8 Resiko tinggi gangguan fungsi seksual berhubungan dengan deficit pengetahuan/keterampilan tentang alternatif respon terhadap transisi kesehatan, penurunan fungsi/struktur tubuh, dampak pengobatan Klien dapat memahami kondisinya <br />Kriteria Hasil<br />1. Klien dapat mengungkapkan pengertiannya terhadap efek kanker dan therapi terhadap seksualitas<br />2. Mempertahankan aktivitas seksual dalam batas kemampuan 53. Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang proses seksualitas dan reaksi serta hubungannya dengan penyakitnya.<br />54. Berikan advise tentang akibat pengobatan terhadap seksualitasnya.<br />55. Berikan privacy kepada klien dan pasangannya. Ketuk pintu sebelum masuk<br />9 Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan efek radiasi dan kemotherapi, deficit imunologik, penurunan intake nutrisi dan anemia. 1. Klien dapat mengidentifikasi intervensi yang berhubungan dengan kondisi spesifik<br />2. Berpartisipasi dalam pencegahan komplikasi dan percepatan penyembuhan 56. Kaji integritas kulit untuk melihat adanya efek samping therapi kanker, amati penyembuhan luka.<br />57. Anjurkan klien untuk tidak menggaruk bagian yang gatal.<br />58. Ubah posisi klien secara teratur.<br />59. Berikan advise pada klien untuk menghindari pemakaian cream kulit, minyak, bedak tanpa rekomendasi dokter.<br /><br />ASKEP CA. MAMMAE <br />info download, 19 March, 2009 <br />Kanker payudara atau disebut dalam istilah kedokteran carsinoma Mammae adalah suatu penyakit neoplasma yang sangat ditakuti oleh kaum hawa.dibawah ini saya mencoba posting tentang bagaimana cara melakukan asuihan keperawatan pada penderita Ca. Mammae.<br /><br />A. Pengkajian Data<br /><br />Pada saat pre operasi digunakan data subjektif dan objektif.<br /><br />a. Data Subjektif :<br /><br />Klien mengeluh adanya benjolan atau ulkus pada mamma dan kadang-kadang timbul nyeri serta perasaan takut atau cemas.<br /><br />b. Data Objektif :<br /><br />• Karsinoma mamma terdapat adanya borok atau nodul-nodul yang mengeras serta bau tidak enak yang menyengat.<br /><br />• Klien tampak enggan bergaul dan berinteraksi dengan klien lain.<br /><br />• Klien terlihat sedih dan sering melamun.<br /><br />• Observasi gejala kardinal : tensi, nadi suhu dan pernafasan.<br /><br />• Klien sering memegangi payudara dan wajah tampak menyeringan.<br /><br />B. Diagnosa Keperawatan & Tindakan Pada Pasien Dengan Karsinoma Mammaa<br /><br />1. Cemas / takut berhubungan dengan situasi krisis (kanker), perubahan kesehatan, sosio ekonomi, peran dan fungsi, bentuk interaksi, persiapan kematian, pemisahan dengan keluarga ditandai dengan peningkatan tegangan, kelelahan, mengekspresikan kecanggungan peran, perasaan tergantung, tidak adekuat kemampuan menolong diri, stimulasi simpatetik.<br /><br />Tujuan :<br /><br />1. Klien dapat mengurangi rasa cemasnya<br /><br />2. Rileks dan dapat melihat dirinya secara obyektif.<br /><br />3. Menunjukkan koping yang efektif serta mampu berpartisipasi dalam pengobatan.<br /><br />Tindakan :<br /><br />a. Tentukan pengalaman klien sebelumnya terhadap penyakit yang dideritanya.<br /><br />b. Berikan informasi tentang prognosis secara akurat.<br /><br />c. Beri kesempatan pada klien untuk mengekspresikan rasa marah, takut, konfrontasi. Beri informasi dengan emosi wajar dan ekspresi yang sesuai.<br /><br />d. Jelaskan pengobatan, tujuan dan efek samping. Bantu klien mempersiapkan diri dalam pengobatan.<br /><br />e. Catat koping yang tidak efektif seperti kurang interaksi sosial, ketidak berdayaan dll.<br /><br />f. Anjurkan untuk mengembangkan interaksi dengan support system.<br /><br />g. Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman.<br /><br />h. Pertahankan kontak dengan klien, bicara dan sentuhlah dengan wajar.<br /><br />Rasional:<br /><br />a. Data-data mengenai pengalaman klien sebelumnya akan memberikan dasar untuk penyuluhan dan menghindari adanya duplikasi.<br /><br />b. Pemberian informasi dapat membantu klien dalam memahami proses penyakitnya.<br /><br />c. Dapat menurunkan kecemasan klien.<br /><br />d. Membantu klien dalam memahami kebutuhan untuk pengobatan dan efek sampingnya.<br /><br />e. Mengetahui dan menggali pola koping klien serta mengatasinya/memberikan solusi dalam upaya meningkatkan kekuatan dalam mengatasi kecemasan.<br /><br />f. Agar klien memperoleh dukungan dari orang yang terdekat/keluarga.<br /><br />g. Memberikan kesempatan pada klien untuk berpikir/merenung/istirahat.<br /><br />h. Klien mendapatkan kepercayaan diri dan keyakinan bahwa dia benar-benar ditolong.<br /><br />2. Nyeri (akut) berhubungan dengan proses penyakit (penekanan/kerusakan jaringan syaraf, infiltrasi sistem suplay syaraf, obstruksi jalur syaraf, inflamasi), efek samping therapi kanker ditandai dengan klien mengatakan nyeri, klien sulit tidur, tidak mampu memusatkan perhatian, ekspresi nyeri, kelemahan.<br /><br />Tujuan :<br /><br />1. Klien mampu mengontrol rasa nyeri melalui aktivitas<br /><br />2. Melaporkan nyeri yang dialaminya<br /><br />3. Mengikuti program pengobatan<br /><br />4. Mendemontrasikan tehnik relaksasi dan pengalihan rasa nyeri melalui aktivitas yang mungkin<br /><br />Tindakan :<br /><br />1. Tentukan riwayat nyeri, lokasi, durasi dan intensitas<br /><br />2. Evaluasi therapi: pembedahan, radiasi, khemotherapi, biotherapi, ajarkan klien dan keluarga tentang cara menghadapinya<br /><br />3. Berikan pengalihan seperti reposisi dan aktivitas menyenangkan seperti mendengarkan musik atau nonton TV<br /><br />4. Menganjurkan tehnik penanganan stress (tehnik relaksasi, visualisasi, bimbingan), gembira, dan berikan sentuhan therapeutik.<br /><br />5. Evaluasi nyeri, berikan pengobatan bila perlu.<br /><br />Kolaboratif:<br /><br />6. Disusikan penanganan nyeri dengan dokter dan juga dengan klien.<br /><br />7. Berikan analgetik sesuai indikasi seperti morfin, methadone, narcotik dll<br /><br />Rasional:<br /><br />a. Memberikan informasi yang diperlukan untuk merencanakan asuhan.<br /><br />b. Untuk mengetahui terapi yang dilakukan sesuai atau tidak, atau malah menyebabkan komplikasi.<br /><br />c. Untuk meningkatkan kenyamanan dengan mengalihkan perhatian klien dari rasa nyeri.<br /><br />d. Meningkatkan kontrol diri atas efek samping dengan menurunkan stress dan ansietas.<br /><br />e. Untuk mengetahui efektifitas penanganan nyeri, tingkat nyeri dan sampai sejauhmana klien mampu menahannya serta untuk mengetahui kebutuhan klien akan obat-obatan anti nyeri.<br /><br />f. Agar terapi yang diberikan tepat sasaran.<br /><br />g. Untuk mengatasi nyeri.<br /><br />3. Gangguan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh) berhubungan dengan hipermetabolik yang berhubungan dengan kanker, konsekwensi khemotherapi, radiasi, pembedahan (anoreksia, iritasi lambung, kurangnya rasa kecap, nausea), emotional distress, fatigue, ketidakmampuan mengontrol nyeri ditandai dengan klien mengatakan intake tidak adekuat, hilangnya rasa kecap, kehilangan selera, berat badan turun sampai 20% atau lebih dibawah ideal, penurunan massa otot dan lemak subkutan, konstipasi, abdominal cramping.<br /><br />Tujuan :<br /><br />1. Klien menunjukkan berat badan yang stabil, hasil lab normal dan tidak ada tanda malnutrisi<br /><br />2. Menyatakan pengertiannya terhadap perlunya intake yang adekuat<br /><br />3. Berpartisipasi dalam penatalaksanaan diet yang berhubungan dengan penyakitnya<br /><br />Tindakan :<br /><br />a. Monitor intake makanan setiap hari, apakah klien makan sesuai dengan kebutuhannya.<br /><br />b. Timbang dan ukur berat badan, ukuran triceps serta amati penurunan berat badan.<br /><br />c. Kaji pucat, penyembuhan luka yang lambat dan pembesaran kelenjar parotis.<br /><br />d. Anjurkan klien untuk mengkonsumsi makanan tinggi kalori dengan intake cairan yang adekuat. Anjurkan pula makanan kecil untuk klien.<br /><br />e. Kontrol faktor lingkungan seperti bau busuk atau bising. Hindarkan makanan yang terlalu manis, berlemak dan pedas.<br /><br />f. Ciptakan suasana makan yang menyenangkan misalnya makan bersama teman atau keluarga.<br /><br />g. Anjurkan tehnik relaksasi, visualisasi, latihan moderate sebelum makan.<br /><br />h. Anjurkan komunikasi terbuka tentang problem anoreksia yang dialami klien.<br /><br />Kolaboratif<br /><br />i. Amati studi laboraturium seperti total limposit, serum transferin dan albumin<br /><br />j. Berikan pengobatan sesuai indikasi<br /><br />Phenotiazine, antidopaminergic, corticosteroids, vitamins khususnya A,D,E dan B6, antacida<br /><br />k. Pasang pipa nasogastrik untuk memberikan makanan secara enteral, imbangi dengan infus.<br /><br />Rasional:<br /><br />a. Memberikan informasi tentang status gizi klien.<br /><br />b. Memberikan informasi tentang penambahan dan penurunan berat badan klien.<br /><br />c. Menunjukkan keadaan gizi klien sangat buruk.<br /><br />d. Kalori merupakan sumber energi.<br /><br />e. Mencegah mual muntah, distensi berlebihan, dispepsia yang menyebabkan penurunan nafsu makan serta mengurangi stimulus berbahaya yang dapat meningkatkan ansietas.<br /><br />f. Agar klien merasa seperti berada dirumah sendiri.<br /><br />g. Untuk menimbulkan perasaan ingin makan/membangkitkan selera makan.<br /><br />h. Agar dapat diatasi secara bersama-sama (dengan ahli gizi, perawat dan klien).<br /><br />i. Untuk mengetahui/menegakkan terjadinya gangguan nutrisi sebagi akibat perjalanan penyakit, pengobatan dan perawatan terhadap klien.<br /><br />j. Membantu menghilangkan gejala penyakit, efek samping dan meningkatkan status kesehatan klien.<br /><br />k. Mempermudah intake makanan dan minuman dengan hasil yang maksimal dan tepat sesuai kebutuhan.<br /><br />4. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi, misinterpretasi, keterbatasan kognitif ditandai dengan sering bertanya, menyatakan masalahnya, pernyataan miskonsepsi, tidak akurat dalam mengikiuti intruksi/pencegahan komplikasi.<br /><br />Tujuan :<br /><br />1. Klien dapat mengatakan secara akurat tentang diagnosis dan pengobatan pada ting-katan siap.<br /><br />2. Mengikuti prosedur dengan baik dan menjelaskan tentang alasan mengikuti prosedur tersebut.<br /><br />3. Mempunyai inisiatif dalam perubahan gaya hidup dan berpartisipasi dalam pengo- batan.<br /><br />4. Bekerjasama dengan pemberi informasi.<br /><br />Tindakan :<br /><br />a. Review pengertian klien dan keluarga tentang diagnosa, pengobatan dan akibatnya.<br /><br />b. Tentukan persepsi klien tentang kanker dan pengobatannya, ceritakan pada klien tentang pengalaman klien lain yang menderita kanker.<br /><br />c. Beri informasi yang akurat dan faktual. Jawab pertanyaan secara spesifik, hindarkan informasi yang tidak diperlukan.<br /><br />d. Berikan bimbingan kepada klien/keluarga sebelum mengikuti prosedur pengobatan, therapy yang lama, komplikasi. Jujurlah pada klien.<br /><br />e. Anjurkan klien untuk memberikan umpan balik verbal dan mengkoreksi miskonsepsi tentang penyakitnya.<br /><br />f. Review klien /keluarga tentang pentingnya status nutrisi yang optimal.<br /><br />g. Anjurkan klien untuk mengkaji membran mukosa mulutnya secara rutin, perhatikan adanya eritema, ulcerasi.<br /><br />h. Anjurkan klien memelihara kebersihan kulit dan rambut.<br /><br />Rasional:<br /><br />a. Menghindari adanya duplikasi dan pengulangan terhadap pengetahuan klien.<br /><br />b. Memungkinkan dilakukan pembenaran terhadap kesalahan persepsi dan konsepsi serta kesalahan pengertian.<br /><br />c. Membantu klien dalam memahami proses penyakit.<br /><br />d. Membantu klien dan keluarga dalam membuat keputusan pengobatan.<br /><br />e. Mengetahui sampai sejauhmana pemahaman klien dan keluarga mengenai penyakit klien.<br /><br />f. Meningkatkan pengetahuan klien dan keluarga mengenai nutrisi yang adekuat.<br /><br />g. Mengkaji perkembangan proses-proses penyembuhan dan tanda-tanda infeksi serta masalah dengan kesehatan mulut yang dapat mempengaruhi intake makanan dan minuman.<br /><br />h. Meningkatkan integritas kulit dan kepala.<br /><br />5. Resiko tinggi kerusakan membran mukosa mulut berhubungan dengan efek samping kemotherapi dan radiasi/radiotherapi.<br /><br />Tujuan :<br /><br />1. Membrana mukosa tidak menunjukkan kerusakan, terbebas dari inflamasi dan ulcerasi<br /><br />2. Klien mengungkapkan faktor penyebab secara verbal.<br /><br />3. Klien mampu mendemontrasikan tehnik mempertahankan/menjaga kebersihan rongga mulut.<br /><br />Tindakan :<br /><br />a. Kaji kesehatan gigi dan mulut pada saat pertemuan dengan klien dan secara periodik.<br /><br />b. Kaji rongga mulut setiap hari, amati perubahan mukosa membran. Amati tanda terbakar di mulut, perubahan suara, rasa kecap, kekentalan ludah.<br /><br />c. Diskusikan dengan klien tentang metode pemeliharan oral hygine.<br /><br />d. Intruksikan perubahan pola diet misalnya hindari makanan panas, pedas, asam, hindarkan makanan yang keras.<br /><br />e. Amati dan jelaskan pada klien tentang tanda superinfeksi oral.<br /><br />Kolaboratif<br /><br />f. Konsultasi dengan dokter gigi sebelum kemotherapi<br /><br />g. Berikan obat sesuai indikasi, analgetik, topikal lidocaine, antimikrobial mouthwash preparation.<br /><br />h. Kultur lesi oral.<br /><br />Rasional:<br /><br />a. Mengkaji perkembangan proses penyembuhan dan tanda-tanda infeksi memberikan informasi penting untuk mengembangkan rencana keperawatan.<br /><br />b. Masalah dengan kesehatan mulut dapat mempengaruhi pemasukan makanan dan minuman.<br /><br />c. Mencari alternatif lain mengenai pemeliharaan mulut dan gigi.<br /><br />d. Mencegah rasa tidak nyaman dan iritasi lanjut pada membran mukosa.<br /><br />e. Agar klien mengetahui dan segera memberitahu bila ada tanda-tanda tersebut.<br /><br />f. Meningkatkan kebersihan dan kesehatan gigi dan gusi.<br /><br />g. Tindakan/terapi yang dapat menghilangkan nyeri, menangani infeksi dalam rongga mulut/infeksi sistemik.<br /><br />h. Untuk mengetahui jenis kuman sehingga dapat diberikan terapi antibiotik yang tepat.<br /><br />6. Resiko tinggi kurangnya volume cairan berhubungan dengan output yang tidak normal (vomiting, diare), hipermetabolik, kurangnya intake<br /><br />Tujuan :<br /><br />Klien menunjukkan keseimbangan cairan dengan tanda vital normal, membran mukosa normal, turgor kulit bagus, capilarry refill normal, urine output normal.<br /><br />Tindakan :<br /><br />a. Monitor intake dan output termasuk keluaran yang tidak normal seperti emesis, diare, drainase luka. Hitung keseimbangan selama 24 jam.<br /><br />b. Timbang berat badan jika diperlukan.<br /><br />c. Monitor vital signs. Evaluasi pulse peripheral, capilarry refil.<br /><br />d. Kaji turgor kulit dan keadaan membran mukosa. Catat keadaan kehausan pada klien.<br /><br />e. Anjurkan intake cairan samapi 3000 ml per hari sesuai kebutuhan individu.<br /><br />f. Observasi kemungkinan perdarahan seperti perlukaan pada membran mukosa, luka bedah, adanya ekimosis dan pethekie.<br /><br />g. Hindarkan trauma dan tekanan yang berlebihan pada luka bedah.<br /><br />Kolaboratif<br /><br />h. Berikan cairan IV bila diperlukan.<br /><br />i. Berikan therapy antiemetik.<br /><br />j. Monitor hasil laboratorium : Hb, elektrolit, albumin<br /><br />Rasional:<br /><br />a. Pemasukan oral yang tidak adekuat dapat menyebabkan hipovolemia.<br /><br />b. Dengan memonitor berat badan dapat diketahui bila ada ketidakseimbangan cairan.<br /><br />c. Tanda-tanda hipovolemia segera diketahui dengan adanya takikardi, hipotensi dan suhu tubuh yang meningkat berhubungan dengan dehidrasi.<br /><br />d. Dengan mengetahui tanda-tanda dehidrasi dapat mencegah terjadinya hipovolemia.<br /><br />e. Memenuhi kebutuhan cairan yang kurang.<br /><br />f. Segera diketahui adanya perubahan keseimbangan volume cairan.<br /><br />g. Mencegah terjadinya perdarahan.<br /><br />h. Memenuhi kebutuhan cairan yang kurang.<br /><br />i. Mencegah/menghilangkan mual muntah.<br /><br />j. Mengetahui perubahan yang terjadi.<br /><br />7. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh sekunder dan sistem imun (efek kemotherapi/radiasi), malnutrisi, prosedur invasif.<br /><br />Tujuan :<br /><br />1. Klien mampu mengidentifikasi dan berpartisipasi dalam tindakan pecegahan infeksi<br /><br />2. Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi dan penyembuhan luka berlangsung normal<br /><br />Tindakan :<br /><br />a. Cuci tangan sebelum melakukan tindakan. Pengunjung juga dianjurkan melakukan hal yang sama.<br /><br />b. Jaga personal hygine klien dengan baik.<br /><br />c. Monitor temperatur.<br /><br />d. Kaji semua sistem untuk melihat tanda-tanda infeksi.<br /><br />e. Hindarkan/batasi prosedur invasif dan jaga aseptik prosedur.<br /><br />Kolaboratif<br /><br />f. Monitor CBC, WBC, granulosit, platelets.<br /><br />g. Berikan antibiotik bila diindikasikan.<br /><br />Rasional:<br /><br />a. Mencegah terjadinya infeksi silang.<br /><br />b. Menurunkan/mengurangi adanya organisme hidup.<br /><br />c. Peningkatan suhu merupakan tanda terjadinya infeksi.<br /><br />d. Mencegah/mengurangi terjadinya resiko infeksi.<br /><br />e. Mencegah terjadinya infeksi.<br /><br />f. Segera dapat diketahui apabila terjadi infeksi.<br /><br />g. Adanya indikasi yang jelas sehingga antibiotik yang diberikan dapat mengatasi organisme penyebab infeksi.<br /><br />8. Resiko tinggi gangguan fungsi seksual berhubungan dengan deficit pengetahuan/keterampilan tentang alternatif respon terhadap transisi kesehatan, penurunan fungsi/struktur tubuh, dampak pengobatan.<br /><br />Tujuan :<br /><br />1. Klien dapat mengungkapkan pengertiannya terhadap efek kanker dan therapi terhadap seksualitas<br /><br />2. Mempertahankan aktivitas seksual dalam batas kemampuan<br /><br />Tindakan :<br /><br />a. Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang proses seksualitas dan reaksi serta hubungannya dengan penyakitnya.<br /><br />b. Berikan advise tentang akibat pengobatan terhadap seksualitasnya.<br /><br />c. Berikan privacy kepada klien dan pasangannya. Ketuk pintu sebelum masuk.<br /><br />Rasional:<br /><br />a. Meningkatkan ekspresi seksual dan meningkatkan komunikasi terbuka antara klien dengan pasangannya.<br /><br />b. Membantu klien dalam mengatasi masalah seksual yang dihadapinya.<br /><br />c. Memberikan kesempatan bagi klien dan pasangannya untuk mengekspresikan perasaan dan keinginan secara wajar.<br /><br />9. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan efek radiasi dan kemotherapi, deficit imunologik, penurunan intake nutrisi dan anemia.<br /><br />Tujuan :<br /><br />1. Klien dapat mengidentifikasi intervensi yang berhubungan dengan kondisi spesifik<br /><br />2. Berpartisipasi dalam pencegahan komplikasi dan percepatan penyembuhan<br /><br />Tindakan :<br /><br />a. Kaji integritas kulit untuk melihat adanya efek samping therapi kanker, amati penyembuhan luka.<br /><br />b. Anjurkan klien untuk tidak menggaruk bagian yang gatal.<br /><br />c. Ubah posisi klien secara teratur.<br /><br />d. Berikan advise pada klien untuk menghindari pemakaian cream kulit, minyak, bedak tanpa rekomendasi dokter.<br /><br />Rasional:<br /><br />a. Memberikan informasi untuk perencanaan asuhan dan mengembangkan identifikasi awal terhadap perubahan integritas kulit.<br /><br />b. Menghindari perlukaan yang dapat menimbulkan infeksi.<br /><br />c. Menghindari penekanan yang terus menerus pada suatu daerah tertentu.<br /><br />d. Mencegah trauma berlanjut pada kulit dan produk yang kontra indikatif.risda nadeakhttp://www.blogger.com/profile/01703839178729765447noreply@blogger.com0